Menuju konten utama

Gejolak Politik Prancis, PM Mundur Belum Genap 1 Bulan Menjabat

Perdana Menteri Prancis Sébastien Lecornu mengundurkan diri hanya beberapa jam setelah mengumumkan susunan kabinet barunya.

Gejolak Politik Prancis, PM Mundur Belum Genap 1 Bulan Menjabat
Polisi Prancis berpatroli dekat Menara Eiffel di Paris saat hujan salju ketika musim dingin berlanjut di utara Prancis, Jumat (9/2/2018). ANTARA FOTO/REUTERS/Gonzalo Fuentes

tirto.id - Perdana Menteri Prancis Sébastien Lecornu mengundurkan diri pada Senin pagi (6/10/2025), atau hanya beberapa jam setelah mengumumkan susunan kabinet barunya. Keputusan ini disampaikan secara resmi oleh Istana Élysée dan menjadikan Lecornu sebagai perdana menteri dengan masa jabatan terpendek dalam sejarah modern Prancis, yakni hanya 27 hari.

Pengunduran diri Lecornu memperdalam ketidakpastian politik di Prancis yang selama ini membayangi pemerintahan Presiden Emmanuel Macron. Lecornu sendiri ditunjuk oleh Macron pada awal September dalam upaya meredakan krisis politik pasca pemilu legislatif dini. Namun, keputusan Macron yang memilih menunjuk sekutu dekatnya ketimbang merangkul kekuatan politik lain dinilai mempersempit ruang konsensus.

Sebagai konteks, politik dalam negeri Prancis telah mengalami gejolak sejak Macron mengambil langkah berani dengan menggelar pemilu legislatif dini pada Juli 2024. Pemilu dini Macron lakukan dalam upaya mendapatkan mayoritas yang jelas, menyusul kekalahan telak partainya dalam pemilu Parlemen Eropa.

Alih‑alih menghasilkan pemerintahan mayoritas, pemilu itu justru membuat parlemen terbagi ke dalam faksi‑faksi ideologis yang saling berbenturan dan tak mau bekerja sama. Fragmentasi politik terpecah menjadi tiga blok besar, yakni sayap kiri, sayap kanan, dan koalisi tengah yang dipimpin oleh Macron.

Saat itu hasil pemilu menunjukkan bahwa tidak satu pun dari tiga blok utama berhasil meraih 289 kursi untuk menguasai Majelis Nasional yang beranggotakan 577 orang.

Koalisi sayap kir,i New Popular Front memimpin dengan lebih dari 180 kursi, disusul aliansi sentris pimpinan Macron dengan 160 kursi, dan kubu sayap kanan ekstrem, National Rally serta sekutunya di posisi ketiga dengan 140 kursi.

Kronologi Pengunduran Diri Lecornu

Pada Minggu (5/10/2025) malam, beberapa jam sebelum mengundurkan diri, Lecornu mengumumkan susunan kabinet yang hampir sepenuhnya terdiri dari nama-nama lama, termasuk mereka yang pernah menjabat di pemerintahan François Bayrou. Susunan ini segera menimbulkan kekecewaan di kalangan oposisi dan sebagian anggota koalisi, karena dinilai tidak mencerminkan perubahan atau arah baru yang dijanjikan.

Sebelumnya, dalam beberapa pekan terakhir, Lecornu menghadapi tekanan besar karena harus mengupayakan persetujuan parlemen atas rancangan anggaran negara untuk tahun 2026. Parlemen Prancis yang terpecah menjadi tiga blok besar menyulitkan proses pengesahan, terlebih di tengah krisis utang yang belum mereda.

Sebagai mantan Menteri Pertahanan, Lecornu dihadapkan pada tantangan berat: memastikan stabilitas fiskal di tengah situasi keuangan negara yang genting.

Data resmi yang dirilis belum lama ini menunjukkan bahwa rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Prancis telah mencapai 113,9 persen. Angka ini menjadikan Prancis sebagai negara dengan rasio utang tertinggi ketiga di Uni Eropa, setelah Yunani dan Italia. Rasio utang terhadap PDB Prancis juga hampir dua kali lipat dari batas maksimal, 60 persen yang ditetapkan oleh aturan Uni Eropa.

Situasi fragmentasi politik dan perpecahan yang mengakar dalam politik Prancis, membuat siapa pun perdana menterinya akan sulit untuk mendapatkan dukungan yang diperlukan untuk meloloskan Undang-Undang apa pun. Dua pendahulu Lecornu, yakni François Bayrou dan Michel Barnier, sebelumnya juga gagal mempertahankan posisinya setelah parlemen menolak rencana pengeluaran negara yang mereka ajukan.

Bahkan, selama tiga tahun terakhir, tiga anggaran tahunan disahkan tanpa pemungutan suara, menggunakan mekanisme Pasal 49 ayat 3 dalam Konstitusi Prancis. Meskipun sah secara hukum, penggunaan pasal ini mendapat penolakan keras dari oposisi karena dianggap mengabaikan peran legislatif.

Namun, berbeda dari para pendahulunya, Lecornu sempat menyatakan niat untuk tidak lagi mengandalkan mekanisme yang sama dan berkomitmen melibatkan parlemen secara penuh dalam pembahasan anggaran. Ia pun sempat mengungkap tiga faktor utama yang membuatnya memilih mengundurkan diri.

Pertama, ia menyoroti beberapa partai politik yang berpura-pura tidak melihat perubahan besar yang dia lakukan dengan tidak menggunakan Pasal 49 ayat 3 Konstitusi Prancis. Artinya, seharusnya tidak ada lagi alasan untuk mengajukan mosi tidak percaya secara pre-emptif.

“Setidaknya, para anggota parlemen tidak lagi punya alasan untuk menolak melaksanakan tugas mereka: membahas, mengamandemen, dan memutuskan Undang-Undang,” ujarnya dikutip dari Le Monde.

Kedua, ia menyoroti partai-partai politik yang masih bersikap seolah-olah mereka memiliki mayoritas absolut di Majelis Nasional. Hal ini berlaku baik di dalam koalisi maupun di oposisi.

“Mereka semua menyatakan tidak ingin membentuk koalisi besar (broad coalition), dan memilih membiarkan perdebatan terbuka,” ujar Lecornu lagi.

Ketiga, upaya membentuk pemerintahan dalam koalisi basis bersama tidak berjalan dengan baik imbas ambisi partai, yang tidak sepenuhnya terpisah dari persiapan pemilu presiden 2027 yang akan datang.

Sébastien Lecornu

Sébastien Lecornu, saat tiba untuk menghadiri KTT Koalisi yang Bersedia, di Istana Kepresidenan Elysee di Paris, pada 4 September 2025. Presiden Prancis Macron telah menunjuk Menteri Pertahanan Sébastien Lecornu sebagai Perdana Menteri untuk Matignon, sebagaimana diumumkan Istana Kepresidenan Elysee pada 9 September 2025. (Foto oleh Ludovic MARIN / AFP)

Apa Dampak Pengunduran Diri Lecornu terhadap Kondisi Politik Dalam Negeri Prancis?

Seperti yang dilansir dari Reuters, Presiden Macron sempat meminta Lecornu, yang telah mengundurkan diri, untuk mengadakan pembicaraan terakhir dengan partai‑partai politik lain guna mencari jalan keluar dari krisis, Senin (6/10/2025). Macron memberi Lecornu waktu 48 jam dan akan memulai pertemuan dengan partai‑partai pada Selasa pagi.

Lecornu sendiri menyatakan bahwa ia menerima permintaan Presiden itu. “Ia telah dipercayakan oleh presiden untuk melakukan negosiasi terakhir hingga Rabu malam dalam rangka merumuskan platform aksi dan stabilitas bagi negara,” kata Istana Élysée dalam pernyataan resmi.

Pengumuman pengunduran diri Lecornu yang mengejutkan telah memicu dampak yang instan pada ekonomi, di antaranya penurunan tajam pada pasar saham dan Euro.

Krisis politik ini juga berdampak langsung pada pasar keuangan. Indeks utama bursa Paris, CAC 40, merosot lebih dari 1,3 persen pada Senin(6/10/2025), menjadi indeks dengan performa terburuk di Eropa hari itu. Nilai tukar euro turut melemah 0,2 persen terhadap dolar AS.

Sebagai konteks, dua perdana menteri sebelum Lecornu juga tumbang karena tidak mampu memperoleh dukungan parlemen untuk mengesahkan anggaran. Kini Prancis menghadapi tekanan fiskal serius. Fragmentasi politik di parlemen membuat pemerintahan sulit mengambil langkah strategis.

Situasi Unjuk Rasa Prancis

Seorang pengunjuk rasa memegang plakat bertuliskan 'Sistem hukum Prancis menganiaya anak-anak' dalam unjuk rasa 'Ibu-Ibu yang Marah' di Place de la Republique, Paris, pada 9 September 2025. AFP/Ian LANGSDON

Kini, pilihan politik bagi Macron semakin sempit. Ia dapat menunjuk perdana menteri baru, namun sosok dari lingkaran dalamnya tampaknya tidak mampu menjaring dukungan lintas partai.

Di sisi lain, Macron belum menunjukkan keinginan untuk menunjuk perdana menteri dari kalangan kiri yang selama ini menuntut pembatalan reformasi pensiun dan penerapan pajak terhadap kelompok kaya

Gelombang desakan politik pun semakin keras. Dari kubu kanan, pemimpin National Rally, Marine Le Pen, menyebut situasi ini sebagai, “sandiwara yang harus segera diakhiri.” Sementara itu, Mathilde Panot dari partai sayap kiri, France Unbowed menyatakan, “hitungan mundur telah dimulai, dan Macron harus pergi.”

Namun tidak semua pihak menginginkan pembubaran parlemen atau pengunduran diri presiden. Partai Sosialis, misalnya, menyuarakan preferensi pada jalan tengah, yakni mendesak Macron agar menunjuk perdana menteri dari kalangan kiri—tanpa perlu menggelar pemilu baru atau memicu krisis konstitusional lebih lanjut.

Hingga kini, Macron menolak menunjuk sosok dari kubu kiri karena mereka ingin membatalkan reformasi pensiun dan memberlakukan kebijakan pajak tinggi, sedangkan perdana menteri dari kalangan kanan sebelumnya gagal meraih dukungan cukup.

Di sisi lain, Macron juga memiliki pilihan untuk membubarkan parlemen dan mengadakan pemilu mendadak, atau bahkan mengundurkan diri.

Kerentanan Poros Tengah Ala Macron

Pengamat Hubungan Internasional dari Fakultas Humaniora, Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor, Sofi Mubarok, menyebut krisis politik yang tengah berlangsung di Prancis tidak bisa dipahami sebagai akibat dari satu faktor tunggal. Ia menjelaskan, instabilitas tersebut merupakan akumulasi dari berbagai tekanan global yang saling berkaitan.

“Situasi global yang ekstrem, seperti covid-19, perang Rusia-Ukraina maupun Israel-Palestina, juga ketegangan ekonomi yang diakibatkan oleh kebijakan tarif Donald Trump, memaksa setiap negara untuk memperkuat pertahanannya. Baik dari sisi militer, ekonomi, maupun kohesi sosial, untuk paling tidak bisa bertahan dalam kondisi yang sulit ini,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (7/10/2025).

Dalam konteks Prancis, Sofi menilai akar persoalan terletak pada komposisi kekuasaan yang dinilai tidak ideal secara teoritis. Sejak kemenangan Emmanuel Macron pada 2017, terjadi pergeseran ideologis besar dalam lanskap kepartaian Prancis modern.

Partai baru bentukan Macron pada 2016, La République En Marche! (LREM) yang kemudian berganti nama menjadi Renaissance muncul sebagai kekuatan politik baru berhaluan tengah, menggantikan polarisasi tradisional antara Partai Sosialis di kiri dan Partai Republik di kanan.

Infografik Macron Menang Lagi

Infografik Macron Menang Lagi. tirto.id/Sabit

Namun, kekuatan politik baru ini, menurut Sofi, tidak memiliki basis pengikut yang kuat dan emosional sebagaimana yang dimiliki oleh partai sayap kanan dengan solidaritas primordial (ashabiyah) yang mengakar, maupun oleh partai sayap kiri dengan ideologi yang solid.

“Kelompok baru ini dibentuk oleh solidaritas instrumental, kepentingan sesaat, yang kemudian mendapat banyak dukungan dan harapan. Koalisi semacam ini cenderung memiliki umur politik yang pendek setelah mencapai tujuannya, karena Ashabiyah instrumental tidak memiliki fondasi psikologis dan sosial yang mendalam,” ujarnya.

Menurutnya, ketika koalisi semacam ini berhadapan dengan tekanan ganda dari sayap kanan dan kiri yang ekstrem, pemerintah pun kesulitan untuk mengambil posisi moderat. Akibatnya, kestabilan politik menjadi semakin rapuh, dan kemampuan negara untuk merespons tantangan dengan kebijakan yang solid pun ikut terhambat.

Dampak Ketidakstabilan Politik Dalam Negeri Prancis terhadap Dunia Global

Sofi menilai dengan kondisi politik domestik yang tidak stabil dan komposisi parlemen yang terfragmentasi, Prancis berada dalam posisi yang sangat rapuh untuk menghadapi tekanan serta krisis global yang terus berlangsung

“Jika ini berlanjut, krisis di Perancis akan semakin parah ke depannya. Karena, dengan komposisi parlemen seperti sekarang, pemerintah akan sangat sulit bergerak dan membuat kebijakan yang taktis,” ujarnya.

Situasi ini semakin diperumit oleh posisi politik luar negeri Prancis yang tegas mendukung kemerdekaan Palestina. Apa pun tujuannya—murni atas dasar kemanusiaan atau untuk memperkuat posisi tawar di panggung internasional—dukungan ini berpotensi mendatangkan tekanan eksternal yang lebih kuat, terutama dari negara-negara seperti Israel dan Amerika Serikat.

Dampak dari krisis politik di Prancis juga berpotensi beresonansi luas ke tingkat regional. Sebagai salah satu kekuatan utama dalam Uni Eropa, baik secara ekonomi maupun diplomatik, ketidakstabilan di Paris menjadi perhatian besar.

Sofi menekankan bahwa terdapat dua risiko utama yang harus diantisipasi. Pertama adalah contagion effect atau efek penularan, yakni potensi meluasnya krisis politik dan ekonomi ke negara-negara Eropa lain yang juga menghadapi tekanan fiskal berat seperti Italia dan Spanyol.

“Kedua, akan melemahkan diplomasi Uni Eropa di panggung global seperti kebijakan perdagangan dengan AS dan konflik geopolitik seperti perang Ukraina-Rusia,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait INTERNASIONAL atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - News Plus
Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Alfons Yoshio Hartanto