tirto.id - Disahkannya Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 2017 lalu soal kenaikan jumlah tunjangan bagi anggota DPRD menuai kritik dari sejumlah lembaga. Menurut peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI), Lucius Karus, kenaikan tunjangan ini bisa menjadi akal-akalan bagi anggota DPRD untuk mendapatkan uang tambahan.
“Bagi politisi seperti DPRD di Jakarta ini memang potensial menjadi bahan bancakan jika pada saat yang sama mereka tidak punya komitmen untuk pembangunan di DKI. Memang gampang jadi kaya sebagai politisi di DKI Jakarta,” kata Lucius di kantor Sekretariat FITRA, Jakarta, Senin (24/7/2017).
Menurut Lucius, kenaikan tunjangan ini semata-mata hanya karena melihat banyaknya anggaran di daerah ibukota atau DKI Jakarta. Lucius memaparkan bahwa anggaran di Jakarta memang sudah besar semenjak dipimpin oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai gubernur, tetapi begitu Ahok tidak menjabat lagi, banyak yang melihat bahwa dana tersebut bisa dialokasikan untuk tunjangan anggota DPRD daripada pembangunan Jakarta.
Bagi Lucius, kehidupan sebagai anggota DPRD sudah sangat sejahtera tanpa ada PP Nomor 18 Tahun 2017 ini. Ia menambahkan banyaknya kelompok elit atau terbilang mapan di daerah-daerah kabupaten rata-rata merupakan anggota dari DPRD.
”Jadi saya kira bohong besar jika alasan mereka (DPRD meminta kenaikan jumlah tunjangan) karena kekurangan,” jelasnya.
Lucius melanjutkan bahwa kekurangan dana yang dialami oleh anggota DPRD adalah karena mereka sibuk menghamburkan uang untuk meraup suara pemilih. Ia menegaskan uang yang mereka dapat dari hasil kerja sebagai anggota DPRD diputar kembali sebagai ongkos demokrasi pada pemilihan selanjutnya. Alasan inilah yang menjadi dasar untuk meminta kepada negara. Jadi, Lucius menuturkan bahwa tidak masuk akal bagi anggota DPRD untuk meminta kenaikan tunjangan, karena uang yang diperoleh mereka sekarang juga lebih dari cukup.
Seharusnya, kenaikan tunjangan bagi anggota DPRD baru beralasan apabila DPRD memang terbukti bekerja secara baik. Ada sekitar 30 rancangan peraturan daerah (raperda) yang telah disiapkan dalam program legislasi daerah (prolegda), tapi tidak diketahui mana saja yang sudah selesai dan menjadi prioritas anggota DPRD.
Lebih jauh, Lucius juga menegaskan bahwa perda yang selesai juga tidak menyelesaikan masalah yang sehari-hari terjadi di Jakarta, contohnya reklamasi dan penggunaan trotoar oleh sepeda motor. “Itu kan tidak bekerja apa-apa,” protesnya.
Memangkas Hubungan Antar Daerah
Aturan PP No.18 Tahun 2017 juga tidak serta merta mengatur besarnya kenaikan tunjangan yang diberikan kepada daerah. Berdasar peraturan tersebut, pemerintah daerah boleh saja mengajukan peningkatan tunjangan dengan mempertimbangkan Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah (APBD) tersebut. Hal ini tentu bisa menyebabkan ketimpangan dan renggangnya hubungan antar daerah.
Seperti diketahui, besaran APB D di setiap daerah tentu tidak sama. Jakarta misalnya, memiliki APBD sebesar Rp70,19 triliun dan tentu sangat berbeda dengan Palembang yang hanya memiliki APBD sebesar Rp3,1 triliun. Jakarta mungkin bisa saja mengajukan kenaikan tunjangan 4 kali lipat dari uang representasi, tetapi tentu Palembang tidak demikian.
“Dan itu akan membuat DPRD-DPRD di daerah menuntut tunjangan dari pusat ke daerah,” jelas Lucius kepada Tirto.
“Saya kira itu yang tidak baik-baik dipikirkan oleh kebijakan ini. Tidak memikirkan daerah. Kebijakan ini sangat merepotkan. Ini yang membuat perda yang mengalokasikan sesuatu yang tidak seharusnya mereka alokasikan,” tambahnya.
Jakarta, dikatakan Lucius, mengajukan kenaikan tunjangan sebesar 4 kali lipat dari uang representasi sebesar Rp 2,6 juta. Menurut Lucius, hal ini tidak masuk akal karena kinerja DKI Jakarta sendiri melempem. Seharusnya, kenaikan 1 kali lipat saja sudah cukup besar.
Pemerintah daerah seharusnya mengkaji lebih matang terkait kebijakan ini karena tidak mungkin semua daerah menerapkan tunjangan semaunya. Hal ini bisa memicu renggangnya hubungan antar daerah. Lucius menilai, seharusnya perda terkait kenaikan tunjangan tidak sepatutnya masuk dalam prolegda karena tidak ada urgensi untuk menaikkan tunjangan.
“Urgensi apaan? Yang disebut urgensi oleh lembaga negara itu urgen untuk kepentingan negara, untuk kepentingan publik, bukan untuk kepentingan sendiri,” tegasnya. “Mereka (DPRD) tidak akan peduli daerah ini miskin dan anggarannya terbatas karena ada aturan yang memperbolehkan peningkatan anggaran.”
Sekretaris Jenderal FITRA, Yenny Sucipto menambahkan bahwa PP Nomor 18 Tahun 2017 ini baru akan berlaku dalam jangka waktu 3 bulan setelah ditetapkan. Pada Agustus 2017 mendatang akan segera berlaku, setiap daerah sudah bisa menggunakan anggaran baru dengan mempertimbangkan kenaikan tunjangan berdasar peraturan ini. Itu juga sebabnya pemerintah daerah buru-buru mengerjakan perda yang mengatur kenaikan tunjangan karena RAPBD juga akan dilaksanakan pada sekitar bulan Agustus.
Padahal, menurut Yenny, pemerintah daerah, terutama daerah yang tingkat belanja daerahnya rendah, sudah tidak mempunyai dana untuk alokasi di bidang kenaikan tunjangan anggota DPRD. Sehingga, FITRA berpendapat bahwa bukan tidak mungkin sektor kesehatan dan pendidikan akan mengalami pemotongan untuk alokasi tunjangan.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Maya Saputri