tirto.id - TRIGGER WARNING: Artikel ini memuat topik kekerasan berbasis gender dan kekerasan seksual yang berpotensi memicu trauma. Juga terdapat kronologi peristiwa kekerasan yang berpotensi menimbulkan ketidaknyamanan. Redaksi menyarankan pembaca untuk berhati-hati sebelum membaca bila artikel ini dirasa dapat menimbulkan ketidaknyamanan atau mengingatkan pada pengalaman pribadi yang sulit. Prioritaskan kesejahteraan Anda dan cari dukungan jika diperlukan.
==========
Yunus Saputra (22) berjalan tunduk. Dia digiring polisi menuju sel tahanan dengan tangan diborgol. Yunus adalah tersangka kasus kejahatan berlapis. Dari pembunuhan, perampokan, hingga pencabulan. Korbannya adalah DF (15), siswi SMA asal Desa Sikara Kara IV, Kecamatan Natal, Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara.
DF dibunuh di tengah jalan pulang usai latihan Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra) tingkat kecamatan dalam rangka menyambut Hari Ulang Tahun Ke-80 Republik Indonesia, Selasa (29/7/2025). Jasadnya lantas dikubur dalam lubang di kebun sawit dengan kondisi nyaris tanpa busana dan kepala ditutup ember. Sedangkan sepeda motor, ponsel, dan uangnya, diambil pelaku.
Yunus ditangkap tiga hari kemudian setelah sempat berpura-pura ikut mencari keberadaan DF bersama warga dan keluarga korban. Almarhumah DF tak lain adalah tetangganya sendiri.
“Saya melihat dia pulang sendirian. Di situ saya berniat karena saya sudah kenal juga,” ujar Yunus saat dihadirkan pada konferensi pers di Mapolres Mandailing Natal, Senin (4/8/2025).
Yunus sendiri bekerja serabutan. Istrinya tengah mengandung anak pertama. Sejak beberapa tahun terakhir, Yunus tinggal di tempat mertua yang relatif tidak jauh dari rumah DF.
Sore itu, Yunus melihat korban mengendarai sepeda motor seorang diri. Lantaran kenal, dia dengan mudah menghentikannya. Dia lalu berbohong minta tolong diantar ke suatu tempat untuk memperbaiki onderdil kendaraannya yang rusak. DF memenuhi permintaan itu tanpa kecurigaan.
Ketika melintas di area kebun sawit yang sepi di Desa Taluk, Yunus menghentikan sepeda motor. Dia lantas merampas ponsel DF lalu lari kabur. Korban yang kaget spontan teriak histeris dan mengejar pelaku. Yunus kemudian balik badan dan mencekik leher DF sampai lemas.
DF sempat melawan. Dengan tenaga yang tersisa, DF mendorong pelaku hingga jatuh, tapi jilbab dan bajunya ikut ditarik. Korban turut terhempas dan dicekik lagi sampai pingsan. Walau sudah tidak berdaya, Yunus terus memukul kepala DF sebelum menelanjangi lalu menyetubuhinya.
Setelah melampiaskan nafsu bejatnya, Yunus menyeret tubuh DF ke suatu lubang bekas galian alat berat. Di situlah pelaku mengubur separuh badan korban kemudian menutupi kepalanya dengan ember.
“Menurut saya saat itu dia sudah tidak bernyawa,” kata Yunus.
Setelah mengubur DF, Yunus membawa harta korban berupa ponsel, uang tunai, serta sepeda motor. Dia lalu pulang ke rumah mertua dengan kondisi pakaian berlumpur—hal yang kemudian hari menjadi petunjuk penting untuk membongkar kasus ini.
Tatkala Yunus menutupi perbuatannya dengan coba bersikap normal, keluarga korban menanti di rumah dengan penuh gelisah. Karena tak kunjung pulang, mereka melapor ke Polres Mandailing Natal pada Rabu (30/7/2025). Rekaman video ibu kandung DF mencari-cari keberadaan sang buah hati kemudian disebar ke media sosial dan menarik banyak simpati warga.
“Dek, DF. Ini mamak, Dek. Di mana kau, Dek? Mamak kangen ini loh, Dek,” ujar ibu korban dengan lirih.
Warga setempat berinisiatif membantu mencari DF dengan ramai-ramai menyusuri jalanan serta perkebunan sawit. Momen ini lantas dimanfaatkan Yunus untuk menyamarkan jejak. Dia muncul lalu pura-pura membantu. Yunus bahkan sempat berkomunikasi dengan keluarga korban dan menanyakan kabar terkini tentang DF.
Titik terang baru terlihat pada Kamis (31/7/2025) sore setelah warga menemukan sepasang sandal di area kebun sawit disertai aroma aneh yang menyengat. Tak jauh dari situ, jasad DF ditemukan dalam kondisi yang memprihatinkan. Badannya terkubur lumpur dan nyaris tanpa busana dengan kepala ditutup ember.
Penemuan ini menghebohkan masyarakat dan disambut histeris oleh keluarga korban. Tak lama berselang, warga yang hendak membakar sarang lebah menemukan sepeda motor DF yang disembunyikan di sekitar lokasi. Kondisinya kotor dan berlumpur.
Dari sinilah kecurigan terhadap Yunus bermula. Beberapa saksi melihat yang bersangkutan pada Selasa (29/7/2025) lalu pulang dengan kondisi penuh lumpur.
Sadar perbuatannya mulai terendus, Yunus memutar otak dan berencana kabur dari kampung pada Kamis (31/7/2025) malam. Di tengah jalan, warga yang sudah kadung curiga coba mengejar pelaku. Mereka menendang sepeda motornya hingga jatuh. Yunus sempat bangkit dan kemudian melarikan diri ke desa sebelah. Dia akhirnya ditangkap di rumah iparnya pada Jumat (1/8/2025) pagi.
Menurut Kapolres Mandailing Natal, AKBP Arie Paloh, Yunus melakukan perbuatannya karena ingin menguasai harta korban berupa sepeda motor, telepon genggam, dan uang senilai Rp250 ribu. Rampasan itu akan dipakai membayar cicilan ponsel.
“Dengan motif, modus berdasarkan hasil penyelidikan serta keterangan para saksi dan tersangka, yaitu tersangka merasa terdesak tunggakan cicilan handphone tersangka dan ingin memiliki barang milik korban,” ujar Arie.
Yunus bukan hanya merampok. Dia juga mencabuli dan membunuh korban. Berdasarkan hasil autopsi, DF meninggal dunia akibat lemas karena udara terhalang masuk ke pernapasan serta trauma pukulan benda tumpul.
“Pelaku merampok, membunuh, dan mencabuli korban,” ujar Arie.
Dalam kasus ini, kepolisian telah mengumpulkan sejumlah barang bukti, antara lain 3 unit sepeda motor, ember, kayu, ponsel, dan beberapa potong pakaian. Sebagian merupakan harta korban yang dirampas pelaku.
Atas perbuatannya, Yunus dijerat pasal berlapis. Mulai dari Pasal 80 Ayat (3) juncto Pasal 76 juncto Pasal 82 Ayat (1) juncto Pasal 79 E Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak hingga Pasal 338 KUHP dan/atau Pasal 365 KUHP dengan ancaman hukuman 15 hingga 20 tahun penjara.
Femisida Jelang HUT RI
Menurut Komisioner Komnas Perempuan, Yuni Asriyanti, tindak kejahatan yang dilakukan Yunus Saputra (22) terhadap almarhumah DF (15) tergolong femisida, bukan kejahatan biasa.
“Ya, kasus tersebut dapat dikategorikan sebagai femisida,” ujar Yuni kepada kontributor Tirto, Sabtu (16/8/2025).
Komnas Perempuan mendefinisikan femisida sebagai pembunuhan terhadap perempuan secara sengaja karena jenis kelamin atau gendernya. Tindakan ini biasa didorong oleh sifat superioritas, dominasi, hegemoni, dan agresi maupun misogini pelaku terhadap perempuan mencakup rasa kepemilikan yang terlalu kuat, ketimpangan relasi kuasa, dan kepuasan sadistik.
Femisida berakar dari diskriminasi gender, ketidaksetaraan, dan kekerasan terhadap perempuan. Dalam konteks ini, termasuk pula kekerasan rumah tangga, kejahatan honour killing, pembunuhan terkait mas kawin (dowry-related killings), mutilasi genital perempuan, trafficking, dan pembunuhan yang disertai kekerasan seksual.
Lebih spesifik, terdapat karakteristik tindak kejahatan yang dapat diidentifikasi sebagai femisida. Pertama, kejahatan itu berakar pada relasi kuasa yang tidak adil dan budaya patriarki. Kedua, adanya kekerasan seksual atau penyiksaan sebagai kekerasan penyerta. Ketiga, terdapat motif diskriminatif berbasis gender.
Berikutnya, pelaku umumnya sosok yang dekat dengan korban, meski tidak selalu demikian. Yang terakhir adalah penguasaan dan kontrol pelaku terhadap korban, memiliki relasi kuasa baik emosional, ekonomi, maupun fisik terhadap korban.
Menurut Yuni, perbuatan Yunus telah mencakup sederet karakteristik itu. Misalnya, soal kekerasan seksual yang dilakukan pelaku terhadap korban, rentang usia dan hubungan tetangga di antara keduanya, kemudian upaya Yunus mengubur jasad DF untuk menghilangkan jejak.
Tindakan terakhir di atas sesuai dengan laporan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) dan UN Women 2024 yang menjabarkan sebagian kasus femisida juga dapat disertai tindakan mutilasi setelah kekerasan seksual. Artinya, femisida sering kali tidak hanya sebatas pembunuhan, melainkan juga upaya perusakan atau penyembunyian tubuh korban.
“Ini juga dimensi kuat yang menunjukkan bahwa pembunuhan ini bukan pembunuhan biasa,” ujar Yuni.
Menurut Yuni, terdapat berbagai faktor yang melatarbelakangi terjadinya femisida. Antara lain patriarki dan norma sosial yang melanggengkan relasi kuasa yang timpang, normalisasi tindak kekerasan terhadap perempuan, dan kekerasan struktural ekonomi.
Kemudian, layanan yang tidak responsif dan impunitas terhadap pelaku serta kontrol atas hidup, tubuh, dan seksualitas perempuan. Pada banyak kasus, korban femisida justru sering dicap melanggar norma kesucian, kehormatan keluarga, atau peran gender tradisional.
Berdasarkan hasil media monitoring Komnas Perempuan, tindak femisida di Indonesia cenderung meningkat sejak berapa tahun terakhir. Pada 2020, terpantau 95 kasus kekerasan yang terindikasi femisida. Jumlahnya meningkat menjadi 237 kasus pada 2021, 307 kasus pada 2022, dan 159 kasus pada 2023.
Angka-angka ini belum termasuk tindak femisida yang tidak termonitor Komnas Perempuan.
“Belum ada pemilahan gender data kasus pembunuhan di Indonesia sehingga ini menjadi hambatan untuk pemilahan dan analisis lebih lanjut apakah suatu kasus pembunuhan masuk dalam kategori femisida atau tidak,” ujar Yuni.
Sejauh ini, hukum Indonesia belum mengenal istilah femisida. Meski begitu, menurut Yuni, pasal tentang femisida bukan berarti tidak bisa diterapkan. Hal ini penting sebagai dasar pemberatan pidana dalam kasus pembunuhan atau tindak pidana lain yang menyebabkan kematian.
“Pemberatan ini penting karena femisida merupakan bentuk kekerasan berbasis gender yang paling ekstrem dan berlapis dengan dampak khusus bagi perempuan dan kelompok rentan sebagai korban,” ujar Yuni.
Lebih lanjut, Yuni menyarankan adanya peningkatan kapasitas perspektif aparat hukum dalam memahami dan mengidentifikasi kasus-kasus femisida. Dengan perspektif ini, aparat diharap dapat melihat posisi korban secara utuh lalu menggali fakta di balik kematian perempuan.
“Pentingnya pengarusutamaan isu femisida dalam pendidikan hukum, khususnya pada bidang hukum pidana, hukum acara pidana, kriminologi, viktimologi, dan penologi, guna membangun perspektif gender dan memastikan femisida dipahami sebagai kejahatan serius berbasis diskriminasi gender,” pungkas Yuni.
Penulis: Nanda Fahriza Batubara
Editor: Fadrik Aziz Firdausi
Masuk tirto.id


































