Menuju konten utama

Fajar LGBT di Jepang

Pengakuan terhadap LGBT di masyarakat Jepang meningkat beberapa tahun terakhir. Ini memaksa politikus konservatif untuk turut memikirkan isu tersebut.

Fajar LGBT di Jepang
Demonstrasi di Pengadilan Sapporo di Hokkaido oleh Hokkaido Godo Law Office. Foto/Takehiro Masutomo

tirto.id - 24 Agustus 2015 adalah hari yang cukup sejuk di tengah musim panas di Tokyo. Di Universitas Hitotsubashi, sebuah kampus yang terletak di pinggiran ibu kota, yang penuh oleh pepohonan dan suara kicauan burung, seorang mahasiswa laki-laki dari sekolah hukum elite menerjunkan dirinya dari lantai enam sebuah gedung kuliah. Yuji Takei meninggal pada usia 25 tahun.

Beberapa bulan sebelumnya ia telah didorong perlahan ke jurang kehancuran.

Pada musim semi 2015, Takei mencoba mengajak berkencan teman sekelasnya, seorang pria yang membuatnya jatuh cinta. Segera setelah itu temannya tersebut mengungkapkan homoseksualitas Takei kepada beberapa siswa lain di grup LINE. Sebelumnya Takei hanya mengungkapkan orientasi seksualnya ke beberapa teman, bahkan keluarga tidak tahu tentang itu.

Kondisi mental dan fisik Takei mulai memburuk setelah informasi orientasi seksualnya tersebar. Ia mendatangi psikolog di Universitas Hitotsubashi tapi tidak mendapatkan saran yang tepat. Takei justru diminta pergi ke klinik untuk pengobatan gangguan identitas gender.

Di dalam ruangan kelas yang tertutup dan monoton, Takei tidak bisa menahan rasa mual setiap melihat teman pria yang menyebarkan orientasi seksualnya. Terakhir, ia didiagnosis menderita depresi. Takei, yang dulu suka bermain alat musik selo, tidak lagi tampak ceria dan aktif. Kecemasan Takei bertambah karena ia memikirkan banyak hal, mulai dari kelulusan yang kurang dari setahun lagi hingga kursus dan ujian yang cukup berat.

Sebelum akhirnya memutuskan mengakhiri hidup, pada sore hari, ia masih menyempatkan menghadiri kelas wajib praktek peradilan semu.

Hubungan antara kematian Takei dan orientasi seksualnya akhirnya terungkap satu tahun pascakejadian karena keluarga menggugat si penyebar informasi serta pihak universitas. Media baru seperti BuzzFeed Japan, yang menargetkan kaum muda sebagai pembaca mereka, mengangkat kasus ini dengan kritis dan ekstensif. Media-media baru sejenis bergerak meliput terlebih dahulu sebelum media arus utama akhirnya ikut memberitakan.

“[Kasus ini] terjadi di sebuah universitas nasional yang terkenal. Ini juga menunjukkan bagaimana outing dapat menyebabkan kematian,” jelas Kohei Honda, junior Takei di kampus, mahasiswa pascasarjana berusia 26 tahun, mengenai mengapa insiden itu menarik perhatian masyarakat luas.

Outing merupakan perbuatan menyebarkan orientasi seksual atau identitas gender seseorang kepada pihak lain tanpa persetujuan. Kasus bunuh diri Takei telah membuat istilah outing dikenal luas di Jepang dan mendorong beberapa pemerintah daerah, termasuk Kota Kunitachi, tempat Universitas Hitotsubashi berada, mengeluarkan peraturan yang melarang itu.

Honda secara terbuka mendukung LGBT. Ia membuka ruang konsultasi LGBT di Universitas Hitotsubashi sejak musim semi 2020. Sebuah bendera pelangi kecil terpasang di luar ruangan tersebut. Setiap 24 Agustus ia juga mendirikan stan bunga di kampusnya untuk memperingati kematian Takei.

Apa yang membuat Honda, seorang heteroseksual, melakukan gerakan ini? Ia menjawab, “Dalam hal gender dan orientasi seksual, saya kebetulan termasuk mayoritas. Tapi saya bisa menjadi bagian dari minoritas kapan saja.”

Tempat Takei bunuh diri. Foto/Takehiro Masutomo

Secara historis, homoseksualitas sebenarnya diterima oleh masyarakat Jepang. Selama periode Sengoku dan Edo, ada juga hubungan gay yang disebut nanshoku (meskipun ada unsur hierarki usia di dalamnya). Jepang juga tidak mengkriminalisasi hubungan seks sesama jenis kecuali pada awal periode Meiji.

Namun, pada 1910-an, homoseksualitas mulai dianggap sebagai “hasrat seksual yang menyimpang”. Lalu, pada 1920-an, kata doseiai atau ‘homoseksualitas’ mulai berakar dalam bahasa Jepang. Ketika militerisme meningkat, buku-buku yang melibatkan seksualitas laki-laki dianggap sebagai konten antipatriotik.

Suasana ideologis yang ketat perlahan hilang setelah Perang Dunia II berakhir dan Jepang mulai diduduki oleh militer Amerika Serikat. Bar-bar gay mulai tumbuh. Kelompok homoseksual mendapat perhatian khusus seiring dengan munculnya AIDS pada akhir 1980-an. Seperti di negara-negara Asia lain, selanjutnya gerakan gay di Jepang pun dimulai.

Saat ini, dari perspektif perlindungan dan legalisasi hak-hak LGBT, kawasan Eropa, Amerika Utara, Amerika Latin, dan Oseania telah lebih maju dibandingkan dengan negara-negara Afrika dan Timur Tengah yang masih menjatuhkan hukuman terhadap perilaku homoseksual. Adapun negara-negara Asia pada dasarnya berada di tengah-tengah kedua poros tersebut. Kecuali legalisasi eksplisit perilaku homoseksual di Taiwan dan Thailand, negara lain, termasuk Indonesia, belum secara aktif melindungi LGBT.

Takashi Kazama, pakar gender dan profesor di Universitas Chukyo, mengatakan terdapat tiga metode kontrol terhadap homoseksualitas yang dilakukan pemerintah negara mana pun, yaitu penganiayaan, diskriminasi, dan toleransi.

Di sejumlah besar negara-negara Eropa dan Amerika homoseksual telah diakui secara hukum. Tetapi menurut Kazama mereka masih mengalami penindasan dan kekerasan yang dilakukan oleh polisi dan sekelompok orang yang mengatasnamakan agama.

Di Jepang, istilah toleransi biasanya memiliki arti positif. Namun, dalam kenyataannya, sikap toleran tetap mencerminkan relasi hierarkis antara yang “toleran” dan yang “ditoleransi”. Dalam logika ini, kelompok mayoritas adalah pemberi toleransi, sedangkan kelompok orientasi seksual minoritas adalah penerima toleransi. Implikasinya, kata Kazama, “Batas toleransi hanya mencapai tempat tertentu, dan sekali batas itu dilintasi, akan dinegasikan.”

Meskipun hukum dan polisi Jepang lebih sedikit menekan komunitas homoseksual daripada di Barat, komunitas ini juga menghadapi jenis kesulitan lain dalam hidup, yaitu sebagai “kelompok yang keberadaannya tidak terlihat.” “Di sekolah, tempat kerja, dan daerah pedesaan, nilai-nilai hidup berdasarkan heteroseksualitas dan jenis kelamin dianggap sebagai norma, dan sulit bagi kelompok orientasi seksual minoritas untuk hidup di luar nilai-nilai tersebut,” papar Kazama.

Namun demikian, sikap masyarakat terhadap kelompok orientasi seksual minoritas semakin bergeser dari menentang menjadi mendukung. Pemahaman mereka tentang kelompok orientasi seksual minoritas juga berlangsung semakin cepat, jauh lebih cepat dari perkiraan para aktivis generasi tua. Menurut laporan OECD pada 2019, penerimaan terhadap kelompok ini dalam masyarakat Jepang telah meningkat dibandingkan dengan tahun 2000-an dan sudah sejajar dengan rata-rata negara OECD pada 2014.

Bagaimana sikap publik terhadap kelompok orientasi seksual minoritas di Jepang, negara dengan ekonomi terbesar ketiga di dunia, berkembang dalam beberapa tahun terakhir? Apa pendorongnya? Lalu, akankah perubahan ini menimbulkan efek domino di negara Asia lain dan menjadi awal dari gelombang terakhir di level global?

Shinjuku 2 Chome, salah satu distrik gay bar. Foto/Takehiro Masutomo

Melunaknya Opini Publik

Shota Kimura (26), yang bermimpi dapat bekerja di departemen Diversity and Inclusion (D&I) di perusahaan asing setelah lulus S2, mengatakan bahwa dia telah melela (coming out) kepada banyak orang. Serial drama asal AS, Glee, telah membantunya meningkatkan “rasa penegasan diri.”

Kimura berperawakan tinggi dan atletis. Garis wajahnya tegas, telinga kirinya bertindik. Saat bertemu dengan saya ia mengenakan kaus berlogo Lacoste.

Tawanya terdengar khas dengan nada yang agak tinggi. Dia mengatakan ia sengaja tertawa seperti itu sebagai pelarian dari kenyataan kejam ketika tumbuh di daerah pedesaan di Prefektur Gunma. Saat sekolah dasar dan menengah, ia dipanggil “waria” hanya karena bergaul dengan teman perempuan. Dia bahkan pernah mencoba mengakhiri hidup.

Mahasiswa yang tinggal di Tokyo ini mengenang bagaimana pandangan anak muda Jepang tentang homoseksualitas telah berubah dengan cepat dalam beberapa tahun terakhir.

Saat bergabung dengan tim sepak bola ala Amerika pada 2014 atau ketika masih berstatus mahasiswa baru, Kimura menyaksikan mahasiswa senior, seorang gay, diintimidasi dan dipaksa untuk menginstal aplikasi kencan khusus gay. Itulah generasi terakhir di komunitas kecil tersebut yang berbuat demikian.

Kimura berspekulasi hal ini terjadi karena faktor teknologi. Generasi yang lahir setelah 1993-1994 telah menggunakan ponsel cerdas sejak dini dan itu memungkinkan mereka memiliki akses terhadap informasi yang relevan. “Saya tidak merasa bahwa anak muda memiliki banyak hal yang perlu dikhawatirkan,” ujarnya. Kimura sendiri mengklasifikasikan generasinya sebagai “generasi transisi”, yang karena keterbatasan informasi “mengalami kekhawatiran di masa kecil mereka.”

Implikasi dari masifnya informasi adalah generasi muda di kota-kota besar relatif umum mengungkapkan orientasi seksualnya. Kimura punya pengalaman langsung soal ini. “Saya cukup terkejut ketika seorang anggota junior di tim yang usianya dua tahun lebih muda dari saya mengumumkan bahwa dia biseksual.”

Asumsi Kimura sejalan dengan survei Dentsu Diversity Lab. Tingkat pengakuan terhadap LGBT dari responden berusia dua puluhan hingga lima puluhan dari 2015 hingga 2018 telah meningkat dari 37,6% menjadi 68,5%, kemudian mencapai 80,1% pada 2020. “Bisa dikatakan bahwa kata ini (LGBT) telah menjadi umum,” kata penanggung jawab Dentsu Diversity Lab. Staf Dentsu Diversity Lab juga mengatakan, “Orang yang lebih muda lebih tertarik untuk memahami dan mendukung orang-orang LGBTQ+.” Untuk profesional yang lebih tua, peningkatannya hanya sedikit.

Selain Kimura, ada pula Ryo, pria berusia 33 tahun. Ia mengungkapkan orientasi seksualnya kepada rekan-rekan kerjanya di taman kanak-kanak pada 2020 setelah menyampaikan presentasi tentang LGBT, HSP (Highly Sensitive Person), dan etnis. Di akhir pemaparan, ia berkata kepada hadirin: “Saya termasuk ke dalam G (gay) ini.” Dia juga melela kepada ibunya.

Ryo berharap dengan melela tempat kerjanya dapat memberinya tugas yang relevan dan menghindarkannya dari budaya perusahaan yang buruk, yaitu ”jika Anda tidak berkeluarga, Anda mungkin tidak akan mendapatkan promosi dan cenderung mudah dimutasi (ke kota lain).”

Di Jepang, hanya perusahaan asing seperti IBM yang memiliki sistem perlindungan LGBT yang lengkap. Beberapa kritikus menganggap ada motif ekonomi di baliknya. Faktanya pasar kelompok LGBT di Jepang cukup besar. Dentsu Diversity Lab memperkirakan angkanya mencapai 5,42 triliun yen atau sekitar Rp672 triliun.

Noritaka Moriyama, lektor kepala di Universitas Waseda dan pakar studi queer, mengemukakan bagaimana budaya populer mendorong pelaziman terhadap LGBT. Beberapa tahun terakhir, boys' love, genre karya kreatif yang menggambarkan hubungan antarpria yang pada awalnya menyasar konsumen perempuan, menjadi lebih populer di kalangan gay. Serial televisi Ossan’s Love yang tayang pada 2018, menggambarkan relasi cinta sesama pria sebagai hal yang umum tanpa menyebutkan konsep homoseksualitas, pun demikian. Moriyama memandang serial ini menghilangkan perbedaan antara heteroseksualitas dan homoseksualitas.

Serial lain yang sejenis adalah What Did You Eat Yesterday? yang tayang pada 2019 dan menceritakan aktivitas kuliner sepasang gay. Moriyama menganggap serial ini penting sebab sebelumnya penggambaran tentang hubungan antara pria terlalu fokus pada seks. Drama ini menjauh dari pandangan diskriminatif tersebut dan menggambarkan kehidupan sehari-hari dengan baik.

Kampanye juga berperan penting. Hal ini misalnya dilakukan oleh Kemio, pemengaruh (influencer) yang aktif di situs jejaring sosial seperti Youtube dan sangat populer di kalangan anak muda. Pada 2019 lalu ia pernah mengunggah cuitan di Twitter dengan gaya humor yang khas: “Dulu aku punya pacar perempuan. Omong-omong, sekarang aku gay… Memberi label ‘aneh’ pada wanita atau pria yang sedang jatuh cinta dengan seseorang dari jenis kelamin apa pun adalah hal yang tidak benar. Zaman yang melesat cepat akan segera meninggalkan label itu.” Unggahan tersebut disukai hampir 100 ribu pengguna.

Aktivis FtM, Tomoya Asanuma (23), juga berkampanye secara luring dengan menyelenggarakan parade transgender pertama Jepang di Shinjuku, Tokyo, pada November 2021. Selain menyerukan lebih banyak perlindungan hak bagi orang-orang transgender, dengan acara ini ia juga ingin menekankan adanya kesulitan ekonomi akibat pandemi.

Menurutnya, kondisi ekonomi kelompok transgender tidak hanya jauh lebih buruk daripada heteroseksual, tetapi juga lebih buruk daripada gay dan lesbian. Parahnya lagi, sebagai transgender, banyak biaya pengobatan yang diperlukan setelah operasi harus ditanggung sendiri tanpa asuransi kesehatan. Hal ini menyebabkan banyak transgender yang jatuh miskin.

Menurut Asanuma, hambatan pekerjaan bagi kelompok transgender masih sangat tinggi meski kolom jenis kelamin di daftar riwayat hidup sudah lama dihilangkan. Ia sendiri mengalami banyak sekali pelecehan dari rekan-rekannya. Hal itu membuatnya berganti pekerjaan hingga enam kali, termasuk menjadi pekerja seks di Kabukicho, sebuah red-light district di Tokyo.

Tujuan lain menyelenggarakan parade adalah untuk menyeimbangkan isu gay yang menurutnya terlalu menonjol dalam gerakan LGBT. Soal ini, menurut Noritaka Moriyama, terjadi karena ketika konsep LGBT diperkenalkan orang-orang di Jepang tidak peduli dengan perbedaan antara kategori di dalamnya. “Jepang perlu bekerja sama atas dasar pemahaman perbedaan,” katanya.

Hal lain yang juga signifikan adalah putusan-putusan hukum.

Pada 17 Maret 2021, hakim di Pengadilan Distrik Sapporo, Hokkaido, telah bersiap di ruang 802 sejak pukul 11.00 untuk menyampaikan sebuah putusan penting. Hakim menyatakan kegagalan pemerintah Jepang untuk mengakui pernikahan bagi pasangan sesama jenis adalah inkonstitusional.

“Saat itu, para penggugat dan pengacara menangis,” kenang Takeharu Kato, salah satu pengacara dalam kasus tersebut yang turut hadir dalam pembacaan putusan. “Ketika hakim ketua akan membuat putusan penting ini, suaranya serak dan ekspresinya menjadi tegang. Sangat jarang bagi seorang hakim untuk membuat putusan bahwa suatu perkara adalah inkonstitusional.”

Putusan tersebut mengakui bahwa orientasi seksual tidak dapat dipilih atau diubah oleh kehendak sendiri. Dengan pertimbangan tersebut, beberapa kondisi saat ini dikategorikan sebagai perbuatan diskriminatif dan melanggar Pasal 14 Konstitusi–yang menjamin kesamaan hak di mata hukum. Saat ini, seseorang, karena orientasi seksualnya, bisa jadi tidak berhak atas hal-hal yang hanya dapat diperoleh melalui pernikahan seperti hak waris dan pengurangan pajak.

Ini merupakan putusan pertama dalam gugatan kolektif yang diajukan oleh pasangan sesama jenis di Sapporo, Tokyo, Nagoya, Osaka, dan Fukuoka. Kato mengungkapkan para penggugat yang terdiri dari beberapa pasangan sesama jenis memang memutuskan untuk mengajukan gugatan kepada pemerintah di berbagai kota pada waktu yang sama. Mereka sengaja mengajukan gugatan pada hari Valentine untuk menarik perhatian media.

Putusan inkonstitusional memang tidak mengharuskan parlemen segera mengambil tindakan, namun mereka tidak dapat sepenuhnya abai. Apabila parlemen mengabaikan putusan tersebut, pengadilan dapat menuntut kompensasi dari pemerintah atas kerugian penggugat di masa depan. Untuk mewujudkan pernikahan sesama jenis, Jepang perlu mengamandemen UU Pencatatan Rumah Tangga dan UU Hukum Perdata.

Kato, yang berusia 47 tahun, mengungkapkan bahwa ia juga seorang homoseksual di pengadilan pada Oktober 2020. Ia melakukan itu untuk membuat hakim sadar bahwa “ada banyak homoseksual atau orang di ‘sisi itu’ di antara orang-orang yang ia anggap sebagai ‘sisi ini’. Saya ingin dia menyadari, ‘Anda tidak bisa melihat mereka (yang berada di ‘sisi itu') saja’.”

Ada latar belakang khusus yang mendorong pengacara ini untuk mengadvokasi hak-hak LGBT. Pada 1990, Kato, yang saat itu masih siswa sekolah menengah, terkejut begitu mengetahui bahwa asrama umum di Tokyo menolak untuk melayani kelompok gay. Kasus tersebut kemudian berkembang menjadi gugatan hukum. Pengadilan Tinggi Tokyo akhirnya memutuskan mendukung penggugat di seluruh tingkatan, menyatakan bahwa pemerintah perlu memberi perhatian yang cermat kepada kelompok orientasi seksual minoritas.

Kasus tersebut dikenal sebagai insiden Fuchu Youth House, yang juga dianggap sebagai titik awal gerakan LGBT di Jepang.

Kato berharap putusan inkonstitusional akan memberikan kekuatan kepada kalangan LGBT yang sering disebut memiliki harga diri yang rendah, sebagaimana ia sendiri didorong oleh putusan Pengadilan Tinggi Tokyo di masa lalu.

Apa yang terjadi di ranah hukum saat ini sebenarnya merupakan akumulasi dari upaya para aktivis.

Pada November 2015, “sistem kemitraan sesama jenis” diluncurkan untuk pertama kalinya di Shibuya, sebuah distrik di ibu kota yang terkenal dengan budaya popnya. Sistem yang cukup unik tersebut mengakui hubungan yang setara dengan pernikahan antara orang-orang berjenis kelamin sama.

Penggagas sistem in adalah anggota dewan Shibuya, Ken Hasebe, pada 2012. Ia mengusulkan ini agar Shibuya menjadi kota internasional. “Kalau mau cari uang, cukup pergi ke Singapura atau Shanghai. Tapi kalau mau belajar industri kreatif, harus ke Tokyo, dan itulah postur Tokyo abad 21 yang harus kita kejar,” katanya.

Sistem ini direplikasi di tempat lain. Menurut survei gabungan pemerintah Shibuya dan organisasi nirlaba Rainbow Diversity, jumlah kota yang telah meluncurkan sistem sertifikasi bagi pasangan sesama jenis di seluruh Jepang menjadi 131 pada pertengahan Oktober 2021 (sebanyak 41,1% populasi tinggal di kota-kota tersebut). Hingga September 2021, jumlah total pasangan yang terdaftar sebanyak 2.277, membuat kelompok orientasi seksual minoritas semakin “terlihat”.

Seorang pejabat lokal mengatakan kepada saya bahwa sertifikat yang diperoleh dari sistem tersebut saat ini dapat digunakan untuk mengurus tempat tinggal di perumahan di bawah yurisdiksi pemerintah. Pemerintah Shibuya juga berencana untuk memperluas fungsi sertifikat itu.

Olimpiade Tokyo, yang diadakan pada pertengahan musim panas 2021 di tengah pandemi Covid-19, juga memberikan angin segar bagi kelompok orientasi seksual minoritas.

Pada 2013, tahun ketika Tokyo memenangkan hak untuk menjadi tuan rumah Olimpiade 2020, Rusia mengesahkan undang-undang yang membatasi aktivitas gay dan lesbian. Hal ini memicu protes di beberapa negara terhadap Olimpiade Musim Dingin Sochi 2014. Kasus ini juga berujung pada revisi Piagam Olimpiade yang secara eksplisit melarang diskriminasi berdasarkan orientasi seksual.

Olimpiade Tokyo 2020 menetapkan mitra transaksi harus menghormati hak-hak kelompok minoritas seperti LGB ketika membeli barang dan jasa. Lalu, pada upacara pembukaan yang digelar 23 Juli 2021, penyanyi terkenal Jepang, MISIA, mengenakan kostum berwarna pelangi yang melambangkan hak-hak kelompok orientasi seksual minoritas saat menyanyikan lagu kebangsaan Jepang.

Di Olimpiade Tokyo, yang mengusung konsep “keberagaman dan harmoni”, terdapat 183 atlet yang merupakan LGBTQ atau kelompok orientasi seksual minoritas lain. Angka tersebut merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah Olimpiade. Kebanyakan dari atlet tersebut berasal dari Amerika Utara dan Eropa Barat. Di antara mereka terdapat atlet Inggris Thomas Daley yang secara terbuka menyatakan bahwa ia adalah gay. Daley berhasil mendapat medali emas dalam cabang olahraga lompat tinggi sinkronisasi putra. Ia menjadi populer di Jepang dengan julukan “Pangeran Rajut”. Laurel Hubbard juga menjadi atlet transgender pertama dalam sejarah Olimpiade yang terdaftar dengan jenis kelamin kelahirannya.

Gelombang Perubahan Berembus ke Politik

Dari bidang sosial dan budaya, tekanan untuk mengakui hak-hak kelompok orientasi seksual minoritas mulai memasuki area politik.

Partai Demokrat Konstitusional Jepang, partai oposisi terbesar, mulai menempatkan isu LGBT dan keberagaman dalam agenda utama mereka. Sementara partai berkuasa, Partai Demokrat Liberal (LDP), masih cukup terpecah dalam memandang masalah gender.

Salah satu kader Partai Demokrat Konstitusional Jepang yang terpilih sebagai anggota parlemen Jepang pada 2017, Kanako Otsuji, bahkan tercatat dalam sejarah sebagai legislator pertama yang melela kepada publik. Ia melakukan itu pada 2005, saat itu menjadi anggota dewan Prefektur Osaka.

Otsuji jago bermain softball sejak kecil. Hal itu membuatnya lekat dengan citra sebagai seorang tomboi dan sering diejek sebagai laki-laki. Ia diintimidasi karena citranya tersebut. Otsuji mulai menghadiri pertemuan lesbian saat berusia 24. Dari pertemuan itu, perlahan ia menyadari bahwa lesbian mendapat upah yang rendah. Upah perempuan hanya sekitar 70% dari upah laki-laki, dan lebih dari setengah perempuan terlibat dalam pekerjaan tidak tetap.

Beberapa dari mereka bahkan terpaksa menikah dengan pria karena alasan finansial, termasuk mantan kekasih Otsuji pada 2003. Saat itu mantan pasangannya mengeluh, “Jika ada pernikahan atau sistem kemitraan sesama jenis, saya tidak akan [menikah dengan pria].” Otsuji menangis mendengarnya.

Semua ini mendorong Otsuji untuk memasuki dunia politik dan menjadi aktivis kesetaraan gender. Ketika ditanya mengapa menjadi aktivis pelopor, ia berkata, “Singkatnya, masalah pribadi adalah masalah sosial.”

Ia menjelaskan bahwa di Jepang diskriminasi terhadap homoseksual adalah hal yang tabu. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada yang membenci homoseksual, namun sebagian besar tidak diungkapkan secara terbuka.

Satu tonggak penting dari advokasi LGBT di Jepang terjadi pada 2015, ketika LGBT Law Alliance, kelompok advokasi legislatif untuk kelompok orientasi seksual minoritas, didirikan. Ada lebih dari 100 kelompok yang terhimpun di dalamnya. Orang-orang bahkan menyebut 2015 adalah “tahun pertama LGBT” karena legislatif Jepang mulai membahas kebijakan tentang perlindungan kelompok orientasi seksual minoritas.

Advokasi tanpa lelah yang mereka lakukan akhirnya membuahkan hasil. Setelah melalui proses diskusi selama enam tahun, pada awal 2021, parlemen Jepang membuat keputusan penting mengenai LGBT. Aliansi non-partisan anggota parlemen dari partai penguasa dan oposisi mencapai kesepakatan dan memutuskan untuk meloloskan undang-undang yang mendorong percepatan pemahaman LGBT (UU LGBT) sebelum Olimpiade Tokyo digelar. UU LGBT mengharuskan pemerintah membuat rencana dasar untuk meningkatkan pemahaman mengenai LGBT melalui pendidikan dan komunikasi publik.

Namun demikian, dalam UU ini tidak ada mekanisme hukuman untuk perilaku diskriminatif. Selain itu, frasa “diskriminasi berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender tidak dapat diterima” yang tertulis dalam rancangan UU tersebut menimbulkan pertentangan antaranggota parlemen yang konservatif di internal LDP.

Koji Shigeuchi, satu-satunya penasihat LDP di aliansi non-partisan yang mendukung UU LGBT, mengatakan maksud dari UU ini sangat unik. Ia menyebut UU ini seperti pengobatan Cina yang menggunakan herbal dan ramuan, bukan operasi bedah modern. Menurutnya, menetapkan larangan diskriminasi dalam undang-undang bukanlah solusi yang tepat sebab itu seperti mengambil mentah-mentah yang ada di Barat padahal terdapat perbedaan besar antara keduanya. Jepang, misalnya, tidak memiliki tradisi kekristenan sehingga masalah diskriminasi tidak begitu serius.

Shigeuchi juga mengkritik pemikiran aktivis LGBT radikal. “Ketika ada hal-hal yang berbeda antara Jepang dan AS, mereka hanya meminta Jepang untuk melakukan apa yang dilakukan AS tanpa memedulikan latar belakang sejarah, budaya, atau adat istiadat. Pendekatan ini tidak cocok untuk karakter nasional [Jepang].”

Pada akhirnya, UU tersebut tidak disahkan akibat adanya ketidaksetujuan dari para pemimpin senior LDP. Seorang reporter Asahi Shimbun mengisyaratkan dalam sebuah artikel bahwa mantan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe memainkan peran penting di balik layar dalam menentang UU tersebut.

Di ujung lain dari upaya advokasi hak-hak LGBT ini ada kelompok konservatif dalam politik Jepang. Ada kelompok di internal partai LDP—partai yang berkuasa—dan anggota parlemen yang setuju dengan perlindungan kelompok LGBT, tetapi mayoritas terkonsentrasi di kalangan anggota muda. Salah satunya adalah Shinjiro Koizumi, yang menyatakan dukungannya pada pernikahan sesama jenis di Jepang pada Maret 2021. Shinjiro Koizumi adalah anggota partai yang sedang naik daun di LDP, dan merupakan putra mantan Perdana Menteri Junichiro Koizumi.

Survei gabungan oleh Asahi Shimbun dan Universitas Tokyo pada akhir 2021 menemukan 43% anggota LDP setuju untuk meloloskan UU LGBT sesegera mungkin. Sementara hasil survei terbaru yang dilakukan oleh Marriage For All Japan menemukan hanya sekitar 10% dari anggota kongres LDP yang mendukung agar Jepang mengizinkan pernikahan sesama jenis.

Hasil survei tersebut mengindikasikan terdapat perbedaan besar antara pendapat para politikus di LDP dengan pendapat masyarakat. Sebuah survei yang dilakukan oleh Takashi Kazama dengan dibantu oleh beberapa pihak menemukan bahwa pada 2015 sebanyak 51,2% responden mendukung pernikahan sesama jenis. Empat tahun kemudian, angka ini naik menjadi 64,8%. Kebanyakan dari responden yang menyatakan setuju masih berusia muda. Sekitar 80% responden berusia dua puluhan dan tiga puluhan tahun mendukung hal ini, sedangkan tingkat persetujuan responden berusia tujuh puluhan tahun kurang dari 50%.

Apa argumen para penentang pernikahan sesama jenis? Salah satunya adalah menurunnya angka kelahiran dan populasi. Mio Sugita, salah satu anggota LDP, dalam artikel tentang LGBT di majalah Shincho 45 edisi Agustus 2018, menulis, “Apakah ada orang yang mendukung penggunaan pajak untuk membantu pasangan LGBT? Mereka tidak memiliki anak, yang berarti mereka tidak ‘produktif’. Apakah menginvestasikan hasil penerimaan pajak pada mereka adalah sebuah gagasan yang baik?” Artikel ini mengundang banyak kritik. Penerbit Shincho 45 akhirnya memutuskan untuk menghentikan usahanya dua bulan kemudian.

Saya mencoba mewawancarai Sugita untuk mengetahui apakah gagasannya telah berubah atau belum. Tapi ia menolak. Sekretarisnya hanya menerangkan, “Sebagai seorang anggota parlemen, ia berharap dapat tulus berpartisipasi dalam diskusi yang relevan di dalam partai.”

Alasan penolakan juga sempat dikemukakan Masateru Shiraishi (79), anggota dewan Adachi, Tokyo. Menurutnya jika undang-undang yang melindungi kelompok homoseksual yang tidak akan memiliki anak tersebut disahkan, maka “Kota Adachi akan mati.”

Namun ada pula politikus yang mendukung. Mantan Menteri Pertahanan Tomomi Inada, yang mewakili LDP dalam mendukung UU tersebut, berpendapat, “Ini bukan waktunya untuk berpura-pura tidak melihat orang-orang yang nyata-nyata menderita.”

Sentimen terhadap kebijakan perlindungan LGBT juga sering berakar dari nilai-nilai keluarga tradisional.

Dalam sebuah publikasi sayap kanan, politikus LDP, Shoji Nishida, misalnya, menulis: “Sepanjang sejarah Jepang, keluarga selalu menjadi unit sosial, bukan individu. ... Jika kita menghancurkan keluarga sebagai fondasi, masyarakat dan negara akan mudah dihancurkan.”

Tsunehira Furuya mengatakan citra keluarga ideal yang dipegang oleh kaum konservatif dapat ditelusuri hingga tahun 1930-an, ketika Jepang sedang mempersiapkan diri menghadapi perang total. Di bawah sistem patrilineal Konfusianisme, orang-orang agaknya berpikir, “Jika bukan anak sulung saya yang mengurus, siapa yang akan mengurus kuburan kita?” Sementara agama tradisional menurutnya tidak memainkan peran penting sebagaimana Eropa dan Amerika. Furuya percaya bahwa Budha lebih toleran terhadap homoseksualitas.

Spektrum generasi juga turut mewarnai kontroversi seputar hak-hak LGBT di Jepang. Generasi yang lebih tua menganggap homoseksualitas sebagai patologis untuk sebagian besar hidup mereka. Furuya menjelaskan, “Toshihiro Nikai (Mantan Sekretaris Jenderal LDP) dan Taro Aso (mantan Wakil Perdana Menteri dan Menteri Keuangan) bahkan tidak menentang ideologi konservatif/progresif, tetapi sama sekali tidak memahami apa itu LGBT.”

Terlepas dari argumen penolakan, menurutnya bagi kaum konservatif masalah LGBT memang bukanlah prioritas utama yang harus diselesaikan. Isu yang paling penting bagi mereka adalah amandemen konstitusi, kuil Yasukuni, sudut pandang sejarah, dan teritorial dengan negara tetangga. Ditambah lagi ada faktor Konferensi Jepang, kelompok lobi sayap kanan yang didominasi oleh kelompok Shinto, yang masih berhati-hati tentang masalah LGBT. Tidak menutup kemungkinan sebagian anggota LDP akan terkekang oleh kelompok ini.

Pada akhir Agustus 2021, Perdana Menteri Fumio Kishida menggelar konferensi pers untuk mengumumkan pencalonan dirinya sebagai presiden LDP. Ketika itu saya bertanya bagaimana ia memandang UU LGBT. Ia hanya mengatakan bahwa ia perlu berpikir lebih banyak dan tidak menjelaskan pandangan pribadinya.

Adakah Masa Depan Lebih Baik?

Pengacara Kato berharap parlemen akan membuat keputusan tentang pernikahan sesama jenis sebelum 2024, setelah putusan pengadilan lokal di daerah lain dan Mahkamah Agung Jepang keluar.

Pakar gender Takashi Kazama percaya bahwa UU LGBT dan legalisasi pernikahan sesama jenis masih sulit dicapai selama partai yang berkuasa masih menduduki lebih dari setengah kursi di parlemen. Tetapi ia juga menyatakan bahwa apabila pemerintah daerah yang mengadopsi sistem kemitraan sesama jenis telah mencakup 50% dari total populasi, pemerintah pusat akan semakin sulit untuk mengabaikan hak-hak pasangan sesama jenis (Gubernur Tokyo Yuriko Koike menyatakan pada 7 Desember 2021 bahwa ia bermaksud memperkenalkan sistem sertifikasi untuk pasangan sesama jenis pada tahun fiskal 2022).

Kritikus Tsunehira lebih optimistis. Ia memperkirakan jika Perdana Menteri Fumio Kishida, yang tergolong konservatif menengah, dapat membawa LDP untuk menang pada pemilihan tahun 2022, kabinet yang lebih kuat dapat memberi lampu hijau untuk undang-undang terkait LGBT.

Para aktivis percaya begitu Jepang menerapkan sistem pernikahan sesama jenis, hal tersebut pasti akan memengaruhi pergerakan negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara.

Infografik LGBT di Jepang

Infografik LGBT di Jepang. tirto.id/Fuad

Dalam surel yang dikirim kepada saya untuk menolak permintaan wawancara, saudara perempuan mendiang Yuji Takei menulis orang tuanya tidak pernah melupakan apa yang terjadi. Hal tersebut menyebabkan mereka sakit cukup lama. Mereka berjuang keras agar kembali sembuh dan melanjutkan hidup.

Walaupun menolak permintaan wawancara, ia tidak keberatan berbagi kisah tentang kepribadian kakaknya. Ia mengatakan Takei tergolong aktif dalam kegiatan yang berhubungan dengan hukum. Ia pernah pergi ke Miyagi, daerah bencana gempa 2011, sebagai sukarelawan hukum. “Saya pikir tekadnya menjadi pengacara [saat itu] mulai terbentuk," tulisnya.

Seandainya Takei masih hidup, ia mungkin hadir di gedung Pengadilan Distrik Tokyo, terletak di Kasumigaseki, sebuah kawasan pusat administrasi pemerintahan, tidak jauh dari gedung parlemen. Di dalam arsip di gedung tersebut terdapat tumpukan dokumen tentang Takei, dari mulai kronologi kejadian yang menyebabkan ia mengakhiri hidup hingga potretnya dengan senyum lebar saat berlibur dengan keluarga. Arsip tersebut dapat diakses oleh masyarakat umum.

Di paragraf terakhir surat wasiat yang ditemukan di komputer, Takei menulis bahwa ia berharap ibunya bisa memeluk cucunya dan berkeinginan anak-anaknya kelak belajar di Amerika Serikat, tempat saudara perempuannya tinggal. Kemudian ia menambahkan, “Saya ingin menjadi pengacara dan membantu orang yang membutuhkan.”

Baca juga artikel terkait LGBT atau tulisan lainnya dari Takehiro Masutomo

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Takehiro Masutomo
Editor: Rio Apinino