tirto.id - Dalam dokumenter Netflix Breaking Boundaries: The Science of Our Planet (2021), Johan Rockström, ilmuwan Swedia yang fokus melakukan kajian isu-isu keberlanjutan global, menyebutkan bahwa antara tahun 2020 dan 2030 akan menjadi dekade yang menentukan bagi masa depan umat manusia di Bumi.
Konteks pernyataan Rockström adalah uraiannya mengenai sejumlah perkara yang berpotensi membuat bumi menjadi tidak layak ditinggali: mulai dari perubahan iklim dan kepunahan spesies hingga lapisan ozon dan pengasaman laut. Kita tahu–dan sepakat–bahwa kerusakan lingkungan sudah sedemikian nyata sehingga upaya untuk menjaga kelangsungan bumi harus dilakukan sesegera mungkin oleh seluruh umat manusia.
“Pesan utama dari film ini adalah kita masih punya waktu. Kita adalah spesies yang selalu inovatif. Kerja sama adalah kekuatan super kita. Dan kita mulai melihat tanda-tanda bahwa perubahan besar akan datang. Sains telah dengan jelas menunjukkan apa yang perlu dilakukan umat manusia,” ungkap Rockström.
Profesor Ilmu Lingkungan dari Stockholm Resilience Centre ini menerangkan, ada tiga prioritas yang mesti dilakukan manusia agar bumi masih tetap layak huni, kini dan nanti. Menurunkan gas rumah kaca, melindungi lahan basah, tanah, hutan, dan lautan yang menyerap dampak kerusakan bikinan manusia, serta mengubah pola makan dan cara kita menghasilkan makanan.
“Inilah misinya. Dan semua orang akan diuntungkan. Kita akan hidup di dunia yang lebih bersih, lebih sehat, dan lebih damai.”
Dalam konteks Indonesia, pernyataan Rockström relevan.
Indonesia Menghadapi Tantangan Regional & Global
Temuan sejumlah kementerian dan lembaga tahun 2022 serta Konsorsium Biologi Indonesia (KOBI) tahun 2023 menyebutkan bahwa Indonesia tengah menghadapi triple planetary crisis. Penandanya, kenaikan suhu tahunan berkisar di angka 0,3-1,4 derajat Celcius, keanekaragaman hayati hilang kira-kira 17% atau setara 15.336 spesies, dan dalam perkara negara paling berkontribusi terhadap polusi udara global, Indonesia termasuk golongan 6 besar.
Perubahan yang dinamis dalam aspek kehidupan di tingkat global telah menghadirkan tantangan baru bagi keberlanjutan sumber daya alam. Indonesia sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan penduduk yang pesat menjadi bagian dari perubahan ini. Menurut data BPS tahun 2022, populasi Indonesia mencapai sekitar 275 juta jiwa dan laju pertumbuhan penduduk juga diproyeksikan akan terus meningkat. Hal ini berimplikasi pada peningkatan kebutuhan akan sumber daya alam dan tekanan terhadap lingkungan hidup.
Tren alih fungsi lahan semakin marak terjadi untuk memenuhi kebutuhan penduduk tersebut, mulai dari daerah resapan air atau persawahan yang dikonversi menjadi kawasan permukiman, hingga pembukaan hutan yang dikonversi menjadi tambang atau perkebunan sawit. Sering kali, alih fungsi lahan ini terjadi secara ilegal dan menerabas segala pagar aturan.
Jika kondisi seperti ini tetap berlanjut, ditambah dengan ancaman dan dampak perubahan iklim yang saat ini sudah kita alami, bencana yang lebih besar mengancam keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan penduduk Indonesia.
“Berkaitan dengan kegiatan manusia dalam pemanfaatan SDA yang tidak berkelanjutan, perlu adanya perencanaan dalam pemanfaatan SDA yang diintegrasikan ke dalam perencanaan pembangunan,” ungkap Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK Hanif Faisol Nurofiq, dalam acara Diseminasi Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH) yang diadakan di Jakarta pada Jumat (1/3).
Jawaban atas kebutuhan itu, lanjut Hanif, adalah seperangkat instrumen yang disebut D3TLH—Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup. “D3TLH bertujuan menjadi guideline dalam pemanfaatan SDA,” ujar Hanif.
Jasa Lingkungan Hidup, Kebutuhan Manusia, dan Keberlanjutan
D3TLH sendiri merupakan amanat Pasal 12 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam beleid tersebut dinyatakan bahwa pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan D3TLH dengan memperhatikan: a. keberlanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup; b. keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup; dan c. keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat.
Sebagai sebuah konsep, D3TLH mengadopsi Social-Ecological System (SES) Framework yang dikembangkan Elinor Ostrom, pemikir berkebangsaan Amerika penerima Nobel bidang Ekonomi Tahun 2009. Dalam teorinya, Ostrom menunjukkan betapa kebutuhan manusia sangat bergantung pada pasokan jasa lingkungan hidup dan pada saat bersamaan menjadi tantangan utama untuk mencapai keberlanjutan. Adapun yang termasuk komponen jasa lingkungan hidup antara lain adalah ketersediaan air, lahan prima, habitat keanekaragaman hayati, hingga material galian.
“D3TLH dikembangkan dengan kajian saintifik, (KLHK) bekerjasama dengan berbagai pihak di antaranya Perkumpulan Program Studi Ilmu Lingkungan Hidup (PEPSILI), Badan Kerjasama Pusat Studi Lingkungan (BKPSL), dan Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Indonesia,” ujar Hanif.
Secara prinsip, konsep D3TLH dirumuskan berdasarkan human-carrying capacity yang mengacu pada Biophysical Capacity dan Social Capacity. Setelah dilakukan penyesuaian untuk konteks kebijakan lingkungan, D3TLH didefinisikan sebagai “Jumlah populasi optimum yang hidup sejahtera secara mandiri dan berkelanjutan (Social Capacity) dan didukung oleh kapasitas lingkungan hidup dalam satuan unit ekoregion (Biophysical Capacity).”
Hanif menerangkan, pada dasarnya konsep D3TLH digunakan untuk mengukur keseimbangan antara penyediaan (supply) dari sisi lingkungan dengan pemenuhan (demand) kebutuhan dasar manusia. Hubungan antara kedua komponen tersebut berpengaruh terhadap ambang batas (threshold) D3TLH suatu kawasan.
Dengan hasil perhitungan yang dilakukan KLHK pada 2023, Pulau Jawa tercatat sebagai satu-satunya pulau di Indonesia yang statusnya melampaui ambang batas D3TLH. Dengan jumlah penduduk 154 juta jiwa pada 2022, jasa lingkungan pulau Jawa secara mandiri sebetulnya hanya sanggup mendukung pemenuhan kebutuhan dasar 109 juta jiwa.
“Karenanya, pemenuhan kebutuhan hidup orang-orang yang tinggal di Pulau Jawa mesti disokong supply dari pulau lain, termasuk impor. Efeknya adalah biaya hidup yang semakin lama semakin tinggi," ujar Hanif.
Peran & Manfaat D3TLH untuk Keberlanjutan Peradaban
Mengapa D3TLH penting dan mendesak untuk diterapkan?
Sebagaimana pernyataan Johan Rockström, periode 2020-2030 akan menjadi dekade yang menentukan bagi masa depan umat manusia di Bumi, dan sains memberi petunjuk jelas tentang hal apa saja yang mesti dilakukan bersama.
Di Indonesia, terhitung sejak Oktober 2024 nanti, kepemimpinan baru akan berlaku dari tingkat nasional hingga kabupaten/kota. Sebab itu, penting untuk menjadikan D3TLH sebagai rujukan perencanaan kebijakan rencana wilayah dan sektor masing-masing pimpinan. Dengan demikian, regulasi yang disusun wajib berpedoman pada D3TLH.
Sebagai guideline pemanfaatan SDA, tim perumus D3TLH menyimpulkan bahwa pendayagunaan informasi D3TLH dapat dapat digunakan ke dalam berbagai kebijakan. Mulai dari kebijakan lingkungan, sosial, dan ekonomi; kebijakan penataan ruang; perencanaan pembangunan; kebijakan sektor pangan, air, energi; kegiatan usaha; hingga pengendalian pembangunan.
Meski demikian, kajian D3TLH yang saat ini sudah dirampungkan KLHK belum menyentuh aspek pemanfaatan udara dan laut. Untuk diketahui, KLHK fokus pada pemanfaatan 5 SDA, yakni air, lahan, keanekaragaman hayati, udara, dan laut.
Kajian D3TLH tentang udara dan laut belum ada sebab di negara lain pun metodologi pengukuran untuk dua aspek tersebut masih terus dikembangkan.
"Kami telah menyusun D3TLH pada tiga fokus tersebut di 38 provinsi. Materi teknis D3TLH juga sudah selesai. Harapan kami, ini bisa menjadi keputusan gubernur, bupati, atau walikota bila menetapkan D3TLH di daerah," pungkas Hanif.
Singkat kata, dengan menerapkan D3TLH, keinginan untuk membuat masa depan yang lebih layak huni dan berkelanjutan makin bisa diikhtiarkan–sepanjang ada komitmen mewujudkannya dengan kesungguhan.[]
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis