Menuju konten utama

Upaya DPR Singkirkan Kelompok LGBT: Wajib Lapor & Rehabilitasi

RUU Ketahanan Keluarga bermasalah karena mereka mendiskriminasi kelompok LGBT.

Upaya DPR Singkirkan Kelompok LGBT: Wajib Lapor & Rehabilitasi
Sejumlah warga dan alim ulama melakukan aksi penolakan keberadaan LGBT di depan Masjid Al Ishlah, Depok, Jawa Barat, Rabu (15/1/2020). ah Pemerintah Kota Depok melakukan razia LGBT. ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/hp.

tirto.id - Irfan telah bertahun-tahun menyimpan rahasia. Keluarganya pun tak tahu rahasianya itu. Namun, setelah sekian lama, pada 9 November 2018 lalu, ia akhirnya memberitahukan rahasia terbesarnya ke sang ibu: ia adalah seorang homoseksual.

Irfan sama sekali tidak kaget melihat respons ibunya yang bahkan sampai enggan menatap wajahnya. Si ibu kecewa luar biasa dan merasa anaknya ini harus disembuhkan. Maka berkali-kali sang ibu mengajak Irfan menemui pemuka agama dengan harapan—dengan beragam cara, termasuk diceramahi, diminta mengaji, hingga dirukiah—bisa kembali 'normal'.

Tentu saja, semua ini tak ada gunanya. Irfan mengaku tak ada yang berubah setelah semua itu ia jalani dengan terpaksa.

"Gue jadi hesitant gitu, malas. Akhirnya malas ketemu nyokap karena pasti disuruh-suruh mengaji atau ke ustaz dan lain-lain," kata Irfan kepada reporter Tirto, Minggu (16/2/2020) lalu.

Namun di lubuk hatinya yang terdalam, Irfan tetap berharap bisa kembali dekat dengan keluarganya seperti dulu. Irfan juga tak mau ibunya merasa salah mendidik anak.

"I miss the old daysaja," kata Irfan.

Nasib Yudha (19) relatif lebih baik. Saat ia mengungkapkan orientasi seksualnya kepada sang ayah, di luar dugaan, orangtuanya itu mengerti. Saat ini ayahnya bahkan jadi jauh lebih perhatian dan sering mengajaknya jalan-jalan.

Ayah Yudha bahkan berjanji mengambil cuti untuk mengantar anaknya ke psikiater untuk mengobati trauma masa lalunya—korban pedofilia. "Suicidal thoughts-ku sudah berkurang semenjak dapat support dari ayah. Beban hidup berkurang satu," kata Yudha.

Hal-hal seperti yang dialami Yudha dan Irfan sepertinya sama sekali tak dipahami oleh para anggota DPR. Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga yang oleh anggota dewan dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas 2020, merugikan mereka.

Ada 146 pasal dalam RUU ini, salah satu yang bermasalah terkait 'penyimpangan seksual'. Dalam bab penjelasan, ada empat perbuatan yang dikategorikan sebagai penyimpangan, di antaranya ialah homoseksualitas atau hubungan sesama jenis, juga sadisme, masokisme, dan inses.

Pasal 86 menyebutkan: "Keluarga yang mengalami krisis keluarga karena penyimpangan seksual wajib melaporkan anggota keluarganya kepada badan yang menangani ketahanan keluarga atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan."

Sedangkan pasal 87 menyebut: "Setiap orang dewasa yang mengalami penyimpangan seksual wajib melaporkan diri kepada badan yang menangani ketahanan keluarga atau lembaga rehabilitasi untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan."

Dua pasal ini, ringkasnya: mengharuskan orang-orang yang dianggap melakukan penyimpangan seksual wajib lapor dan wajib pula mendapatkan rehabilitasi.

Pengusul RUU ini adalah Ledia Hanifa dan Netty Prasetiyani dari Fraksi PKS, Sodik Mudjahid dari Gerindra, Endang Maria Astuti dari Golkar, dan Ali Taher dari PAN.

Sodik Mudjahid mengatakan, ia dan para pengusul memasukkan homoseksualitas sebagai penyimpangan seksual, karena itu bertentangan dengan dengan nilai-nilai Pancasila dan rentan mengakibatkan penyakit.

Kepada reporter Tirto, Ahad (17/2/2020), ia bahkan mengatakan homoseksualitas "akan menghancurkan umat umat manusia karena keturunan ada dengan sah, dengan sehat, dan berkualitas hanya karena interaksi dua jenis kelamin."

Ia lantas mengklaim, para pengusul sudah melibatkan psikolog dan ahli lain dalam menyusun draf dan naskah akademik RUU ini.

Sodik mengaku belum tahu apa sanksi apa yang layak dijatuhkan bagi yang melanggar ketentuan wajib lapor. Mantan Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI mengatakan akan merujuk pada peraturan lain. Sementara soal rehabilitasi, ia mengatakan itu bisa berbentuk rehabilitasi sosial, rehabilitasi psikologis, bimbingan rohani, dan/atau rehabilitasi medis.

Dikritik

Peraturan ini bermasalah karena LGBT tak pernah benar-benar aman bahkan ketika ada di rumah.

Berdasar penelitian Arus Pelangi—organisasi nirlaba yang memperjuangkan hak-hak kelompok LGBTIQ— pada tahun 2016, rumah adalah lokasi kekerasan atau diskriminasi terhadap kelompok LGBT terbanyak kedua dengan jumlah kasus mencapai 65. Lokasi terbanyak kekerasan terhadap LGBT adalah tongkrongan.

Untuk kekerasan yang dilakukan secara perorangan, orangtua menjadi pelaku terbanyak urutan ketiga dengan persentase 12 persen, disusul anggota keluarga lainnya sebesar 10 persen.

Penelitian Arus Pelangi dilakukan di 8 provinsi di Indonesia: Aceh, Sumatra Utara, Lampung, Yogyakarta, Jakarta, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan terhadap 185 responden.

Karena maraknya kekerasan oleh keluarga terhadap kelompok LGBT, Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah menilai, justru keluarga yang harus direhabilitasi ketika menyadari ada anggotanya yang merupakan minoritas seksual.

"Orientasi seksual menurut Komnas tidak perlu direhabilitasi. Yang perlu 'direhabilitasi' atau disadarkan adalah pengabaian nilai-nilai kemanusiaan yang kemudian dapat menimbulkan diskriminasi," kata Alimatul saat dihubungi reporter Tirto, Ahad (16/2/2020).

Peneliti Support Group and Resource Center On Sexuality Studies (SGRC) Ferena Debineva khawatir aturan ini akan melanggengkan kekerasan terhadap kelompok LGBT oleh keluarga seperti yang dialami oleh Irfan. Ia juga mempermasalahkan soal rehabilitasi.

Kepada reporter Tirto, Ahad (16/2/2020), ia mengatakan sampai saat ini tak ada praktik yang terstandardisasi dan teruji berhasil mengubah orientasi seksual seseorang. Alih-alih berhasil, upaya 'penyembuhan' ini justru berbahaya sebab potensial dilakukan dengan melibatkan kekerasan fisik dan psikis. Apalagi dalam peraturan ini belum jelas apa bentuk spesifiknya.

"[Potensi] itu justru dilegitimasi lewat praktik-praktik rehabilitasi itu," kata Ferena.

Baca juga artikel terkait RUU KETAHANAN KELUARGA atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Bayu Septianto