Menuju konten utama

Euforia Sepeda Listrik Berhadapan dengan Ancaman Keselamatan

Penyalahgunaan sepeda listrik menunjukkan pemahaman masyarakat yang rendah, diikuti dengan penegakan hukum yang ikut rendah.

Euforia Sepeda Listrik Berhadapan dengan Ancaman Keselamatan
Sejumlah warga menggunakan sepeda listrik di Plaza Balaikota Bogor, Jawa Barat, Jumat (23/9/2022). ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/YU

tirto.id - Pesatnya peminat kendaraan listrik di Indonesia perlu diimbangi dengan penegakan regulasi keselamatan yang ketat. Pasalnya, kecelakaan melibatkan kendaraan listrik (EV) – terutama sepeda listrik – cukup tinggi. Mengacu data Kementerian Perhubungan (Kemenhub), jumlah pertumbuhan kendaraan listrik di Indonesia saat ini lebih dari 28.000 unit, tumbuh pesat dari hanya 1.200 kendaraan pada tahun 2021.

Namun, pada EV Ecosystem Indonesia Forum 2025 di JIExpo, Jakarta, Rabu (21/5/2025), Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub, Aan Suhanan, mengingatkan soal masih tingginya angka kecelakaan kendaraan listrik. Sampai pertengahan 2025, tercatat ada 435 kecelakaan melibatkan kendaraan listrik. Dari jumlah itu, 333 dialami sepeda listrik.

Kendaraan listrik diharapkan meningkatkan keselamatan dalam berkendara. Terlebih, punya misi dalam transformasi ramah lingkungan di Indonesia. Hal itu perlu diiringi payung regulasi berbasis keselamatan yang lebih komprehensif. Dalam periode yang sama tahun 2024, data Korps Lalu Lintas Polri mencatat total 647 kecelakaan melibatkan kendaraan listrik. Artinya rerata ada 100 kejadian insiden melibatkan kendaraan listrik setiap bulan.

Pengamat transportasi, Revy Petragradia, menyatakan kecelakaan kendaraan listrik dapat dibagi menjadi dua subjek: yakni yang melibatkan mobil dan motor listrik serta yang tengah ramai digandrungi anak-anak, sepeda listrik. Untuk sepeda listrik, seharusnya diperuntukan bagi penggunaan jarak dekat dan tidak untuk di jalan raya. Sebab, kata Revy, sepeda listrik tidak memiliki nomor registrasi sebagai kendaraan.

“Namun dengan evoria dan penempatan sepeda listrik dan penjualan sepeda listrik yang menurut masyarakat affordable akhirnya banyak masyarakat membeli. Nah yang menjadi permasalahan, mereka membawa sepeda listrik ke jalan raya,” kata Revy kepada wartawan Tirto, Kamis (29/5/2025).

Ilustrasi: sepeda listrik

Ilustrasi: sepeda listrik. Antara/ Adelia Putri Sukda

Selain itu, pengguna sepeda listrik tidak menggunakan perlengkapan seperti helm ataupun perlengkapan keselamatan lain. Semakin diperparah karena pengguna sepeda listrik saat ini didominasi anak-anak dibawah umur yang memang tidak memahami aspek keselamatan. Ini semakin rumit ketika orang tua yang justru yang mengizinkan dan memfasilitasi mereka.

Sementara untuk mobil atau motor listrik, kata Revy, insiden umumnya karena masyarakat pengguna kurang menyadari akan aspek keselamatan mekanis dari kendaraan. Mesin listrik tidak menggunakan bahan bakar, sehingga akselerasi digerakan oleh motor atau dinamo listrik. Sehingga daya (horse power) kendaraan, percepatan dan kecepatan mobil listrik lebih tinggi dibanding dengan mobil konvensional.

Dengan pengalaman ini, pengguna mobil listrik masih terbiasa menginjak gas lebih dalam yang berakibat pada kecepatan sesaat yang tinggi hingga mengakibatkan hilangnya kendali. Revy menilai hal ini yang kerap terjadi saat terjadi kecelakaan mobil listrik di tol maupun di jalan raya.

Di sisi lain, pihak penjual atau dealer perlu mengedepankan informasi yang lengkap kepada pembeli. Seperti test drive serta penyampaian aspek-aspek keselamatan dalam berkendara. Sebenarnya, kata Revy, kendaraan listrik sangat dapat mengontrol speed limit dan teknologi keselamatannya cukup baik secara otomatis maupun manual.

Sementara untuk sepeda listrik, Revy mendorong adanya ketentuan aspek penjualan serta penegakan regulasi. Dengan harga murah, mestinya dipastikan pemilik dan pemakai adalah orang dewasa yang paham akan penggunaan dan berkendara.

“Pihak kepolisian pun harus tegas melarang penggunaan sepeda listrik di jalan raya umum dikarenakan berbahaya,” tegas Revy.

Aturan Masih Banyak Dilanggar

Dari sisi aturan untuk sepeda listrik, sebetulnya sudah ada Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor PM 45 Tahun 2020 tentang Kendaraan Tertentu dengan Menggunakan Penggerak Motor Listrik. Sayangnya, banyak pengguna yang masih melanggar ketentuan tersebut serta penegakan aturan oleh pemangku kebijakan yang belum maksimal.

Dalam aturan, sepeda listrik kecepatannya dibatasi maksimum cuma 25 kilometer per jam. Penggunaannya juga mestinya hanya di dalam lingkungan, bukan untuk di jalan raya. Selain itu, mesti terpasang lampu utama, lampu belakang, kiri, dan kanan, dan sistem rem hingga klakson/bel yang berfungsi. Pengguna sepeda listrik wajib mengenakan helm dengan usia pengguna minimal 12 tahun serta didampingi orang dewasa.

Pengamat otomotif, Bebin Djuana, menilai secara umum pengguna kendaraan listrik belum terbiasa dengan respons spontan yang menjadi sifat mendasar dari motor penggerak listrik. Ia justru menyoroti aspek sepeda listrik yang dinilai amat mengkhawatirkan yakni kecepatan cukup tinggi dan sunyi.

“Apalagi sekarang yang membuatnya semakin menarik bagi konsumen walau namanya sepeda tapi dapat dikendarai tanpa mengayuh. Apa bedanya dengan naik motor listrik,” ujar Bebin kepada wartawan Tirto, Rabu (28/5/2025).

Dengan alasan memiliki kayuh, sepeda listrik didaftarkan sebagai sepeda dengan kelebihan tidak perlu SIM dan STNK. Padahal, hal itu merupakan celah yang digunakan penjual untuk menarik para pembeli. Alhasil, Bebin menilai tak mengagetkan sepeda listrik justru memiliki angka kecelakaan yang tinggi.

“Andaikan masih seperti dulu dimana sepeda listrik harus dikayuh dan motor listrik hanya sebagai pendukung untuk mengurangi beban (untuk menanjak misal) tentu kondisinya tidak seperti sekarang,” ucap Bebin.

Pengamat transportasi dari Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata, Djoko Setijowarno, menyatakan bahwa Permenhub Nomor PM 45 Tahun 2020 masih banyak dilanggar oleh para pengguna sepeda listrik. Kendaraan tertentu dengan menggunakan penggerak motor listrik merupakan suatu sarana yang digunakan untuk mengangkut orang di wilayah operasi dan/atau lajur tertentu.

Kendaraan tertentu yang dimaksud yakni skuter listrik, hoverboard, sepatu roda satu, otopet, dan sepeda listrik. Menurut Djoko, sepeda listrik adalah kendaraan tertentu yang memiliki roda dua dilengkapi dengan peralatan mekanik berupa motor listrik. Maka, sepeda listrik dan sepeda motor listrik berbeda. Sebab, sepeda dibatasi kecepatan (maksimum) 25 kilometer per jam.

“Penggunaannya hanya dalam lingkungan, bukan jalan raya. Maka dari itu, peran orangtua harus kuat untuk mengatur anaknya berkendara,” kata Djoko.

Selain itu, pengguna tidak diperbolehkan untuk mengangkut penumpang kecuali dilengkapi tempat duduk samping, dilarang melakukan modifikasi daya motor meningkatkan kecepatan, dan memahami serta mematuhi tata cara berlalu lintas.

Memahami dan mematuhi tata cara berlalu lintas yakni menggunakan kendaraan dengan tertib, memperhatikan keselamatan pengguna jalan lain, memberikan prioritas pejalan kaki, menjaga jarak aman dari pengguna jalan lain dan membawa kendaraan penuh konsentrasi.

Sementara itu, wilayah berkendara sepeda listrik meliputi lajur khusus sepeda, lajur kendaraan penggerak motor listrik, permukiman, jalan hari bebas kendaraan bermotor, kawasan wisata, area sekitar sarana angkutan umum massal dengan menggunakan penggerak motor listrik terintegrasi, area perkantoran, serta area di luar jalan dan trotoar dengan memprioritaskan keselamatan pejalan kaki.

Sepeda listrik, kata Djoko, menjadi berisiko menimbulkan kecelakaan di jalan karena banyak pengguna memanfaatkannya sampai ke jalan raya meski trotoar bisa dilewati kendaraan ini. Di sisi lain, trotoar yang tersedia banyak yang tidak cukup buat sepeda.

Dengan begitu, Djoko melihat salah satu cara pengendalian sepeda listrik adalah dari hulu. Saat pembelian dilakukan, pembeli diingatkan bahwa kendaraan ini tak boleh dioperasikan di jalan umum. Penyalahgunaan sepeda listrik menunjukkan pemahaman masyarakat yang rendah, diikuti dengan penegakan hukum yang ikut rendah.

Termasuk sosialisasi Korlantas, Ditlantas, Satlantas, Ditjen Hubdat dan Dinas Perhubungan Provinsi dan Kota/Kabupaten perlu dilakukan secara rutin.

“Pengawasan orangtua terhadap anak harus ditingkatkan. Semua pihak harus berperan, termasuk edukasi di sekolah. Keselamatan tak mengenal ini tugas siapa, tetapi tanggung jawab bersama,” tegas Djoko.

Baca juga artikel terkait SEPEDA LISTRIK atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News Plus
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang