Menuju konten utama

Ekshibisionis: Mereka yang Gemar Pamer Alat Kelaminnya

Ekshibisionis mendapat kesenangan dan kepuasan dari aksi tersebut.

Ekshibisionis: Mereka yang Gemar Pamer Alat Kelaminnya
Ilustrasi Eksibisionis. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Guyuran hujan pada Senin, 11 Februari 2019 sore menjadi hari yang buruk bagi Kiky (bukan nama sebenarnya, 16 tahun). Pulang sekolah, pada pukul 16.00, Kiky memilih ojek online untuk mengantarkannya ke rumah.

Di tengah perjalanan, sepeda motor yang ia tumpangi mogok. “Terus [ojek itu] berhentilah sebelum masuk kompleks saya, kebetulan suasana sepi, hujan, dan banjir,” ujar MWJ (43 tahun), ibu dari Kiky.

Pengemudi ojek online itu jongkok dan memperbaiki mesinnya. Namun, saat berdiri, si pengemudi tersebut menunjukkan penis dari celananya. Wajah pengemudi itu hampir tanpa ekspresi, seakan tak ada masalah apa pun.

Sebenarnya, Kiky tak ingin menumpang pengemudi itu lagi. Kondisi jalan yang sepi membuat Kiky tak punya pilihan lain. Kiky pun pura-pura tak melihat, meski isi pikirannya tak karuan. Kiky takut terjadi sesuatu pada dirinya di jalan.

“Akhirnya [Kiky] turun di ujung gang, langsung dilempar semua, uang, helm, dia lari masuk ke rumah,” kata MJW.

Sesampainya di rumah, Kiky tak berhenti menangis. Karena trauma, Kiky juga enggan menggunakan jasa ojek online lagi ketika bepergian.

Sebagai orangtua, MWJ tak tinggal diam. Ia lantas melaporkan tindakan pengemudinya kepada pihak perusahaan. Laporan itu ditindaklanjuti dengan tindakan suspend akun pengemudi serta pemutusan kemitraan dengan pengemudi tersebut.

Apa itu Ekshibisionisme?

Bisa jadi hal yang dialami Kiky pernah Anda atau orang sekitar Anda alami. Ada orang tanpa rasa malu mempertontonkan alat kelaminnya kepada orang lain yang dikenal sebagai ekshibisionis. Ekshibisionisme merupakan salah satu dari banyak jenis gangguan perilaku seksual.

Dalam The Encyclopedia of Sexual Behaviour yang disunting oleh Albert Ellis dan Albert Abarbanel (1961), dicatat tentang maraknya perilaku tersebut di Australia dan Selandia Baru kala itu. Kejadian-kejadian itu banyak ditemui di kereta.

“Ekshibisionis termasuk salah satu gangguan kepribadian di mana orang yang bersangkutan mendapatkan kesenangan dan kepuasan dengan menunjukkan alat kelaminnya kepada orang lain di muka umum,” ujar psikolog klinis Nirmala Ika kepada Tirto.

Kevin L. Nadal dalam The SAGE Encyclopedia of Psychology and Gender (2017) memaparkan umumnya pelaku ekshibisionis adalah pria, dengan mayoritas korban adalah perempuan. Namun, disebut pula bahwa perempuan juga bisa memiliki kecenderungan menjadi ekshibisionis.

American Psychiatric Association menyatakan seksual ekshibisionis termasuk dikategorikan sebagai parafilia. Penyimpangan perilaku seksual ini merupakan gangguan melalui interaksi non-fisik.

Gangguan seksual tersebut kerap dilakukan oleh 2-4 persen populasi pria dan sangat jarang dilakukan oleh perempuan. Nadal pun membeberkan bahwa sekitar sepertiga hingga setengah dari perempuan pernah menjadi korban ekshibisionisme.

Seperti yang dialami Kiky, korban ekshibisionisme biasanya akan merasa ketakutan, kaget, serta marah. Di antara mereka juga ada yang mengalami trauma, meski ada pula yang bersikap biasa saja setelah dilecehkan.

Di Afrika, lebih dari 30 persen pelaku ekshibisionis akan melanjutkan aksi mereka menjadi aksi kejahatan seksual atau kekerasan seksual. Ada kemungkinan pula ekshibisionisme yang mereka lakukan itu digunakan untuk menguji reaksi korban terhadap serangan seksual fisik.

Dalam situsweb Psychology Today, disebutkan bahwa kita bisa mewaspadai terjadinya gangguan seksual ekshibisionisme pada orang-orang di sekitar kita. Contohnya jika seseorang dalam kurun waktu setidaknya enam bulan kerap berfantasi, berperilaku, atau mendapat dorongan yang membangkitkan gairah seksual dengan mempertontonkan alat kelaminnya kepada orang lain.

Biasanya, perilaku ini akan mengganggu kehidupan sosial seseorang, khususnya di lingkungan pertemanannya.

Gangguan ekshibisionis memiliki subtipe yang beragam. Ada orang yang lebih suka mengekspos alat kelamin mereka kepada anak-anak praremaja, orang dewasa, maupun keduanya. Umumnya, gejala ini muncul pada masa remaja akhir atau dewasa awal dan biasanya akan berkurang seiring bertambahnya usia.

Infografik Pamer alat kelamin

Infografik Pamer alat kelamin

Terapi bagi Ekshibisionis

Psikolog klinis Nirmala Ika menyebutkan terapi yang bisa dilakukan untuk menyembuhkan gangguan seksual ekshibisionisme. “Dengan bantuan obat dan terapi yang tepat, mungkin perilaku ini bisa dikurangi,” kata Ika.

Merujuk dari The SAGE Encyclopedia of Psychology and Gender (2017), terapi untuk ekshibisionis sangat penting karena perempuan menganggap bahwa perilaku tersebut berbahaya.

Dalam buku itu, disebutkan tentang terapi perilaku kognitif (CBT) yang menjadi pengobatan paling efektif untuk ekshibisionisme. Terapi ini berfokus pada cara untuk memenuhi keintiman dan kebutuhan emosional. Terapi ini juga menyertakan pentingnya empati bagi para korban, serta mengidentifikasi pikiran dan perasaan yang memicu perilaku ekshibisionis.

Jika pelaku sudah bisa mengidentifikasi pikirannya, psikolog atau psikiater akan membantu mereka untuk mengelola dorongan seksual tersebut.

Selain itu, artikel Psychology Today menyebutkan pendekatan psikoterapi lain yang bisa digunakan untuk menyembuhkan ekshibisionis. Misalnya pelatihan relaksasi, pelatihan empati, pelatihan keterampilan koping, dan restrukturisasi kognitif. Terapi lainnya adalah terapi obat-obatan, seperti penggunaan obat yang bisa menghambat hormon seksual dan mengakibatkan penurunan hasrat seksual.

Untuk korban ekshibisionis, Nirmala Ika menyebutkan bentuk terapi yang bisa digunakan untuk menyembuhkan trauma, salah satunya dengan terapi bermain, jika korbannya anak-anak.

“Tapi akan lebih baik anak ini ditangani oleh profesional ahli yang sudah terbiasa menangani kasus pelecehan seksual, sehingga dapat digunakan treatment yang tepat dan tidak memperburuk trauma yang dialaminya,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait PENYIMPANGAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Widia Primastika

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Widia Primastika
Penulis: Widia Primastika
Editor: Maulida Sri Handayani