tirto.id - Kehebohan terjadi di lima kereta bawah tanah Tokyo pada 20 Maret 1995. Para penumpang mengalami batuk, muntah, lumpuh, bahkan buta setelah menghirup asap menyengat yang membakar mata. Zat beracun itu menyerang dalam hitungan detik dan memakan banyak korban. Japan Timesmelaporkan sebanyak 6.200 orang menderita luka dan 13 orang meninggal akibat kejadian yang dikenal dengan Insiden Kereta Bawah Tanah Sarin atau Chikatetsu Sarin Jiken.
Asap yang dihirup penumpang kereta hari itu adalah gas sarin. Sarin merupakan senyawa organofosfat, zat kimia sintesis yang ada pada pestisida dan berguna untuk membunuh hama. Zat ini berbentuk cair, menguap jika dilepaskan, serta tidak berbau. Sarin memiliki efek ekstrem pada manusia, yaitu melumpuhkan pernapasan dari sistem saraf pusat dan otot-otot sekitar paru-paru.
Menurut NBC News, aksi tersebut merupakan serangan teror terparah di Jepang sejak AS menjatuhkan bom nuklir di Hiroshima dan Nagasaki pada 1945. Segera setelahnya, pemerintah mengumumkan bahwa sekte kiamat Aum Shinrikyo menjadi dalang di balik aksi tersebut.
Puluhan anggota Aum Shinrikyo, termasuk Shoko Asahara, lantas ditangkap beberapa bulan setelah polisi melakukan penggrebekan di ratusan lokasi. CNN melaporkan Asahara yang mempunyai nama asli Chizuo Matsumoto merupakan pemimpin sekaligus pendiri Aum Shinrikyo. Polisi menangkapnya pada Mei 1995. Ia didakwa atas 17 tuduhan, mulai dari pembunuhan hingga membikin senjata ilegal dan obat-obatan terlarang.
Pada akhir tahun 1996, Asahara mengaku bertanggung jawab atas aksi teror gas sarin. Tapi, ia mengatakan bahwa aksinya ini merupakan perintah Tuhan. Setelah delapan tahun proses pengadilan, Asahara akhirnya diputuskan bersalah dan dijatuhi hukuman mati tahun 2004. Pada tahun 2006, dirinya resmi dihukum mati sebab ia tak lagi mengajukan banding.
Selain serangan gas sarin, Washington Postmengatakan bahwa Asahara juga dihukum karena ia turut menjadi otak pembunuhan Tsutsumi Sakamoto. Sakamoto adalah seorang pengacara yang membantu para orang tua membebaskan anak mereka dari pengaruh sekte. Pada tahun 1989, Sakamoto dan keluarganya dibunuh dengan cara dicekik oleh anggota Aum Shinrikyo di rumahnya.
Eksekusi Asahara terus ditunda dikarenakan pihak berwajib masih mengurusi kasus anggota-anggota Aum Shinrikyo lainnya. Ia pun baru menjalani hukuman mati pada tahun 2018. Menurut Reuters, pemerintah Jepang melakukan eksekusi terhadap Asahara dan enam anggota sekte lainnya pada Jumat, (06/07/18).
Meninggalnya Asahara mengundang respons positif dari Kiyoe Iwata, ibu korban tewas teror gas sarin. “Saya jadi tenang. Selama ini saya selalu berpikir mengapa harus anak saya yang dibunuh. Sekarang, saya bisa mengunjungi makamnya dan memberitahunya soal ini,” tuturnya kepada Al-Jazeera.
Organisasi Amnesty International menyesalkan pelaksanaan eksekusi tersebut. Mereka mengatakan bahwa hukuman mati tersebut adalah pelanggaran HAM dan menunjukkan bahwa pemerintah Jepang gagal mewujudkan keadilan.
Sekte Kiamat Aum Shinrikyo
Aum Shinrikyo yang berarti “Kebenaran Tertinggi” merupakan grup spiritual yang berdiri tahun 1984 di Jepang. Menurut BBC, kelompok ini menggabungkan tiga agama, yakni Hindu, Buddha, serta nubuat apokaliptik Kristen. Shoko Asahara, pemimpin Aum Shinrikyo, mengklaim dirinya sebagai gabungan dari Yesus Kristus dan “orang pertama yang tercerahkan” setelah Buddha.
Seperti yang disebutkan oleh Daniel A. Metraux dalam “Terrorism in Japan: The Fatal Appeal of Aum Shinrikyo” (1995), pandangan dunia Aum Shinrikyo berdasarkan pada ajaran Buddha Jepang tentang sejarah kosmik. Menurut ajaran tersebut, manusia hidup di tiga periode waktu berbeda yang lamanya mencapai 1.000 tahun sejak kematian sang Buddha. Seribu tahun pertama disebut periode “hukum yang sempurna” (shoho) di mana manusia masih mengikuti sabda Sang Buddha sehingga mereka hidup damai dan harmonis.
Kurun kedua adalah periode “hukum imitatif” atau (zoho). Pada masa ini, manusia tetap patuh pada ajaran Buddha tapi tidak lagi diikuti dengan iman yang kuat. Terakhir, ajaran sejarah kosmik menyebutkan adanya rentang waktu “degenerasi hukum Buddha” atau “degeneration of Buddha’s law” (mappo). Dalam periode ini, semua orang telah melupakan ajaran Buddha sehingga menyebabkan kesengsaraan total. Aum Shinrikyo percaya kita hidup di periode mappo.
Aum Shinrikyo juga mengimani ajaran Sepuluh Dunia atau (lukkai). Berdasarkan ajaran ini, terdapat sepuluh kondisi pikiran yang mendominasi pandangan dunia seseorang, mulai dari alam pikiran mengerikan hingga kebaikan dan cinta murni. Sepuluh kondisi ini hidup berdampingan, tapi satu keadaan akan mendominasi dan mengubah kepribadian orang.
Umat Buddha percaya bahwa kondisi kepribadian seseorang adalah hasil dari karma atau kelakuan yang dilakukan di kehidupan masa lalu. Ajaran Buddha mengajarkan manusia untuk untuk menghilangkan karma sehingga watak Buddha di kepribadian seseorang akan menang. Serupa dengan ajaran Buddha, Aum Shinrikyo mengajarkan bahwa keadaan manusia dan masyarakat saat ini adalah konsekuensi dari perbuatan masa lalu atau karma.
Kombinasi ajaran ini dikabarkan telah diikuti ribuan orang di Jepang dan seluruh dunia. Metraux mengatakan kelompok Aum Shinrikyo mengklaim mempunyai anggota sebanyak 10.000 orang di Jepang serta ribuan lainnya di Rusia dan Amerika.
Dalam “Dramatic Confrontations: Aum Shinrikyo Against The World” (2004), Ian Reader mengatakan bahwa Asahara mendirikan Aum Shinrikyo dengan anggota 15 orang dan kebanyakan masih menjadi anggota saat insiden gas sarin terjadi. Asahara memutuskan mendirikan sekte Aum Shinrikyo setelah sebelumnya bergabung dengan Agonshû, agama yang memadukan Buddhisme, yoga, meditasi, dan asketisme. Ajaran Agonshû, yang mengatakan bahwa dunia sedang menghadapi krisis spiritual, ancaman nuklir, dan bencana alam pada akhir abad 20, rupanya menarik perhatian Asahara. Menurut kepercayaan ini, segala kekacauan tersebut hanya bisa diselesaikan lewat agama dan hal ini sedikit banyak berpengaruh pada pandangan Aum Shinrikyo.
Menurut catatan David G. Bromley dalam “Dramatic Denouements” (2004), Aum Shinrikyo mengalami fase radikalisasi beberapa tahun kemudian, ketika Asahara mulai memprediksi Armagedon atau akhir zaman pada tahun 1993 dalam bentuk perang nuklir. Pada saat bersamaan, anggota sekte ini semakin mengucilkan diri dari masyarakat. Masih menurut Bromley, Aum Shinrikyo waktu itu masih memiliki orientasi yang baik sebab mereka memprediksi bencana bisa dihindari dengan cara menghilangkan karma. Untuk mencapai hal ini, pusat Aum Shinrikyo harus didirikan di seluruh dunia sebelum tahun 1993.
Pada akhir 1980, konflik antara Aum Shinrikyo dan masyarakat meningkat. Keluarga yang anggotanya menjadi pengikut sekte ini mengeluh bahwa Aum Shinrikyo mengambil uang dan membahayakan anggotanya dalam 'ritual pemurnian'. Kelompok tersebut juga sering diprotes lantaran mengadopsi pandangan ekstremis. Mereka menuding pemerintah Jepang dan Amerika Serikat sebagai musuh. Walhasil, sejak itu Aum Shinrikyo sulit mendapat anggota baru.
Konflik antara Aum Shinrikyo dan masyarakat Jepang pun berlanjut pada tahun 1990 dan mencapai puncaknya kala Asahara ikut serta dalam pemilihan umum nasional.
Respon publik itu membuat Asahara tak punya pilihan lain. Di depan para pengikutnya, ia mengatakan bahwa hanya ada dua pilihan untuk bertahan, yakni berperang atau melakukan eksodus. Asahara memilih yang pertama.
Namun, akhir zaman yang dipercaya Aum Shinrikyo tak juga datang. Mereka berulang kali merevisi tanggal Armagedon. Di sisi lain, persiapan perang pun tetap dilakukan. Sebuah Laboratorium dibangun untuk memproduksi dan mengembangkan sistem pengiriman senjata kimia dan biologis.
Reader menyatakan bahwa kejadian gas sarin adalah salah satu perwujudan perang yang dilakukan Aum Shinrikyo. Pada 1994, para pengikut Ashara juga meneror kota Matsumoto dengan gas sarin. Lima orang tewas dan sebanyak 500 orang dilarikan ke rumah sakit.
Menurut BBC, kelompok Aum Shinrikyo kini terbelah dua: Aleph dan Hikari no Wa (Lingkaran Cahaya Pelangi). Fumihiro Joyu, pemimpin Hikari no Wa, mengaku bahwa kelompoknya tak punya hubungan dengan ajaran Asahara. Baik Aleph dan Hikari no Wa legal di Jepang meski ditetapkan sebagai sekte berbahaya sehingga diawasi pemerintah.
Penulis: Nindias Nur Khalika
Editor: Windu Jusuf