Menuju konten utama
Editorial

Editorial: Tirto Bersama Palestina

#SavePalestina, #TirtoBersamaPalestina, #IndonesiaBelaPalestina, #SavePalestineSaveHumanity, dan banyak lagi menunjukkan perlawanan. Kami bersama mereka.

Editorial: Tirto Bersama Palestina
Header Tirto Bersama Palestina. tirto.id/Ecun

tirto.id - Dunia tersentak. Gaza Palestina, wilayah yang nampak hanya setitik di peta dunia itu kini serupa ladang pembantaian. Serangan barbar Israel menewaskan ribuan warga sipil; bahkan perempuan, lansia dan balita. Militer Israel seperti gelap mata. Ambulans diberondong mortir, rumah sakit dibombardir. Tempat pengungsian pun tak luput jadi sasaran.

Bisa jadi, kebrutalan serangan semacam itulah yang kemudian mengilhami Santo Paus Yohanes Paulus II mengutuk perang: "War is a defeat for humanity (Perang adalah kekalahan bagi kemanusiaan)". Kata-kata satir Santo Paus menghunjam. Ini bisa ditafsirkan bahwa bagi kemanusiaan tidak ada yang menang dalam perang. Anda dan kami semua sejatinya telah kalah ketika anak-anak Gaza bergelimpangan mati dibantai.

Lihat saja angka korbannya. Kantor Urusan Kemanusiaan PBB atau Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA), melansir data gabungan dari sumber Kementerian Kesehatan Gaza dan Pemerintah Israel. Hingga 7 November 2023, lebih dari 10 ribu warga mati akibat konflik ini. Korban terbanyak berada di Jalur Gaza mencapai 10.022 orang, kemudian di Tepi Barat 147 orang. Sementara total korban jiwa dari Israel sekitar 1.430 orang.

Perang juga menyebabkan 25.400 korban luka dari Palestina dan 5.400 korban luka dari Israel. Inilah kenapa perang asimetris—tidak seimbang—antara Israel vs Hamas itu dilabeli kelewat kejam, mengoyak rasa kemanusiaan mereka yang memiliki jiwa dan cinta dari berbagai penjuru dunia.

Dampak luar biasa juga tidak terkira skalanya bagi kehidupan warga Palestina. Nasib mereka kian suram. Bombardir Israel yang meluluhlantakkan kota terang membuat roda perekonomian mati. Ini jelas buruk bagi masa depan warga di sana. Bayang-bayang kemiskinan akut, meningkatnya anak-anak telantar, membludaknya pengangguran, kriminalitas akibat krisis pangan, dan banyak lainnya.

Ada sepenggal kalimat emosional dalam pembukaan Film Black Hawk Down: “hanya orang mati yang melihat akhir perang”. Lalu bagaimana dengan yang fana dalam perang? Jelas, mereka yang masih berjiwa benar-benar tersiksa fisik dan batinnya. Lainnya, hanya menonton dari jauh, ada yang menangis, menjerit menghitung angka demi angka korban kebrutalannya.

Tapi begitulah kenyataannya. Meskipun korban mati terus berjatuhan, kemudian desakan "setop perang" dipekikkan dari berbagai belahan dunia, Israel seolah menutup telinga.

Di Benua Eropa, ribuan warga Jerman tumplek di jalanan, disusul aksi ribuan warga di negara lain: Norwegia, Irlandia, Inggris, Turki dan Prancis. Di Amerika, mereka yang teriris hatinya menggeruduk Gedung Putih menyuarakan "Free Gaza". Di Afrika Selatan pun ada aksi serupa. Di Asia, ribuan warga Malaysia, lalu Indonesia juga terus menyuarakan penghentian perang atas nama kemanusiaan.

Kebrutalan perang Israel-Hamas ini dianggap sudah di luar batas kemanusiaan. Perang tersebut jelas melanggar hukum humaniter internasional atau International Humanitarian Law (HHI). Inilah yang kemudian diprotes berbagai kalangan. Indonesia juga terus menyuarakan dan mengingatkan dunia terkait aturan perang internasional yang disepakati dalam Konvensi Jenewa 1949 (Geneva Convention).

Dalam buku “Pengertian Hukum Humaniter”, Mochtar Kusumaatmadja membagi HHI menjadi dua. Pertama, Jus ad Bellum hukum tentang perang yang mengatur bagaimana suatu negara dibenarkan menggunakan kekerasan senjata. Kedua, Jus in Bello yakni hukum yang berlaku dalam perang, mulai dari ketentuan hukum yang mengatur aturan perang (conduct of war), lalu ketentuan hukum soal perlindungan korban sipil atau militer.

Ada dua ketentuan yang berlaku dalam HHI, yakni: International Armed Conflict (IAC) dan Non-International Armed Conflict (NIAC). Keduanya sama-sama mengacu pada Konvensi Jenewa 1949 atau Protokol Tambahan 1997. Kemudian khusus untuk perlindungan terhadap korban perang ini ada dalam Pasal 52 Hukum Humaniter Internasional.

HHI ini dibuat sebagai upaya mencegah kekejaman perang, tindakan pembunuhan, kekerasan, dan pelecehan. Dan bila menilik aturannya, serangan Israel terhadap Gaza jelas dikategorikan telah melanggar batas dan obyek sasaran militer dalam perang.

Dalam aturan perang, penyerangan hanya boleh dilancarkan kepada seluruh anggota angkatan bersenjata yang terlibat konflik kecuali personel medis dan keagamaan. Kemudian ada pula beberapa larangan: mulai dari penyerangan terhadap warga sipil, tenaga medis dan rumah sakit, tahanan harus diberikan haknya, penyerangan kota dan desa yang tidak dipertahankan, benda cagar budaya, gedung tempat penyimpanan bahan berbahaya seperti nuklir.

Namun, dalam perang Israel-Hamas ini banyak dilanggar: warga sipil tidak bersenjata dibombardir secara kejam. Bahkan rumah sakit dan tenaga medis pun ikut menjadi sasaran.

Oleh sebab itu, kami dari Tirto.id, atas nama kemanusiaan jelas ikut mengutuk kekejaman perang di Gaza itu. #SavePalestina #TirtoBersamaPalestina #IndonesiaBelaPalestina #SavePalestineSaveHumanity

Baca juga artikel terkait KONFLIK ISRAEL PALESTINA atau tulisan lainnya dari Redaksi

tirto.id - Politik
Penulis: Redaksi