Menuju konten utama

Duduk Perkara Penganiayaan Arjuna di Masjid Agung Sibolga

Keluarga korban tak percaya almarhum Arjuna berperilaku tidak sopan di masjid dan terhadap para tersangka.

Duduk Perkara Penganiayaan Arjuna di Masjid Agung Sibolga
Konferensi pers pengungkapan kasus penganiayaan di Masjid Agung Sibolga. Foto/Dok. Polres Sibolga.

tirto.id - Melaut ditekuni Arjuna Tamaraya (21) sejak ayahnya meninggal pada April 2025 lalu dan ibunya menikah lagi. Rezeki yang didapatnya tidak hanya dipakai memenuhi kebutuhan perut sendiri, tapi juga untuk membantu biaya kuliah kakak dan adiknya.

Arjuna merupakan pemuda asal Kabupaten Simeulue, Aceh. Dia adalah tulang punggung keluarga yang tewas dianiaya lima orang lelaki lantaran menumpang istirahat di Masjid Agung Sibolga, Sumatera Utara, pada Jumat (31/10/2025) lalu.

“Keluarga saat ini masih terus mengikuti beritanya. Kami mohon agar pelaku dihukum seberat-beratnya,” ujar paman Arjuna, Kausar Amin (38), kepada kontributor Tirto, Rabu (5/11/2025).

Kausar adalah warga Kota Sibolga, Sumatera Utara. Dia terakhir kali berkomunikasi dengan keponakannya itu melalui aplikasi perpesanan. Saat itu, Arjuna mengabarkan bahwa dirinya akan pergi melaut. Kausar tidak menyangka pesan itu menjadi ucapan selamat tinggal dari lelaki yang sudah dia anggap seperti anaknya sendiri.

“Sebelum dia berangkat dua bulan [melaut], sempat dia kirim pesan Messenger. Dia kabari saya bahwa dia mau berangkat, target dua bulan,” ujarnya.

Di mata Kausar, almarhum Arjuna bukan sekadar anak yang santun dan pendiam, tapi juga rela berkorban demi keluarga. Arjuna sendiri merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Sebagai anak laki-laki satu-satunya, status tulang punggung pun tersemat pada Arjuna setelah ayahnya meninggal.

Seperti kedua saudarinya, Arjuna juga punya keinginan mengecap pendidikan tinggi. Namun, keterbatasan finansial membuatnya mengalah.

“Dia sempat mau kuliah. Tapi karena kurang biaya, karena adik dan kakaknya kuliah, makanya dia tidak jadi kuliah. Jadi, memilih cari kerja dia,” ujar Kausar.

Penganiayaan Masjid Sibolga

Konferensi pers pengungkapan kasus penganiayaan di Masjid Agung Sibolga. Foto/Dok. Polres Sibolga.

Arjuna kini telah tiada. Kelima orang lelaki yang terlibat penganiayaannya pun sudah ditahan Polres Sibolga. Mereka adalah Chandra Lubis (38), Rismansyah Efendi Caniago (30), Zulham Piliang (57), Hasan Basri (46), dan Syazwan Situmorang (40).

Kausar tidak percaya pengeroyokan itu terjadi lantaran almarhum berperilaku tidak sopan terhadap para tersangka. Sebab berdasarkan keterangan saksi yang diperoleh pihak keluarga, almarhum sebenarnya sudah meminta izin untuk istirahat di masjid tersebut.

Nyaris sepekan peristiwa tragis itu berlalu. Namun, duka keluarga almarhum Arjuna masih terasa begitu pedih. Mereka berharap aparat penegak hukum menjatuhkan hukuman setimpal bagi para pelaku.

“Kalau pun tidak hukuman mati, ya, seumur hidup,” ujar Kausar.

Kronologi Penganiayaan Arjuna

Menurut Kasihumas Polres Sibolga, AKP Suyatno, tindak penganiayaan berujung meninggalnya Arjuna di Masjid Agung Sibolga terjadi pada Jumat (31/10/2025) siang. Sebelumnya, Arjuna menghampiri Zulham untuk meminta izin menumpang istirahat di area masjid. Permintaan itu lantas ditolak Zulham dengan alasan yang tidak jelas.

Tak lama berselang, Hasan yang saat itu sedang tidur di lantai dua masjid mengaku mendengar teriakan seperti orang kerasukan.

“Lalu, tersangka HBK mengecek dan menemukan korban dalam posisi tidur di teras masjid dan membangunkannya, tapi tidak ada respons. Kemudian, tersangka HBK memanggil tersangka ZPA dengan kode menggunakan senter handphone,” ujar Suyatno saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (4/11/2025).

Melihat kode itu, Zulham bergegas datang dan langsung membangunkan korban. Saat terbangun, Arjuna sempat menatap Hasan sambil mengeluarkan suara seperti mengeram. Setelah itu, dia lanjut tidur.

“Kemudian, melihat korban kembali tidur, tersangka ZPA memanggil tersangka lainnya yang berada di depan masjid, yakni SSJ, REC, dan CLI. Ketiga tersangka tersebut ketika dipanggil langsung masuk ke dalam masjid,” ujar Suyatno.

Kedatangan Syazwan dkk membawa petaka bagi Arjuna. Mereka membangunkan korban dengan menarik bajunya hingga posisi berdiri. Korban lalu diseret sejauh 3 meter dan penganiayaan brutal akhirnya terjadi.

“Menurut tersangka, saat itu korban hendak melawan. Maka tersangka SSJ secara tiba-tiba menendang korban ke arah kepala sebanyak 2 kali hingga korban terjatuh. Lalu, tersangka JBK menendang sebanyak 1 kali ke arah kepala korban,” tutur Suyatno.

Tersangka Syazwan menginjak kepala dan perut korban satu kali. Dia menarik kaki kanan korban, kemudian menyeretnya keluar masjid hingga kepala bagian belakang terbentur anak tangga dan berdarah.

Sesampainya di luar masjid, Syazwan merogoh saku celana korban dan mencuri uang Rp10 ribu. Dia kemudian memukul wajah Arjuna dengan sendal sebanyak tiga kali, lalu melemparkan buah kelapa ke arah kepalanya.

Penyiksaan belum berakhir. Arjuna kembali diseret ke tepi jalan, diinjak, dan disiram air oleh para pelaku. Dengan nafas yang tersisa, Arjuna sempat bangkit dan mencoba duduk. Namun, para pelaku kembali memukulinya di bagian kepala hingga tersungkur.

Chandra memukuli wajah Arjuna, sedangkan Rismansyah dan Zulham memijak kepalanya berkali-kali. Setelah tidak berdaya oleh penyiksaan demi penyiksaan, korban ditelantarkan begitu saja di tepi jalan sebelum dilarikan ke rumah sakit oleh pengurus Masjid Agung Sibolga.

“Setelah dihampiri, melihat ada pemuda dengan keadaan tidak sadarkan diri dengan kondisi luka di bagian dahi mengeluarkan darah tergeletak di halaman parkiran Masjid Agung Sibolga. Selanjutnya, warga sekitar memanggil pihak kepolisian dan pihak kepolisian dan korban dibawa ke rumah sakit,” kata Suyatno.

Atas tindakan penganiayaan berujung kematian Arjuna, lima tersangka itu dijerat Pasal 338 subsider Pasal 170 Ayat 3 KUHP terkait pembunuhan. Khusus Syazwan, polisi menambahkan Pasal 365 Ayat 3 KUHP karena mengambil uang korban sebesar Rp10 ribu.

Pandangan Antropolog

Video penyiksaan yang dilakukan oleh Chandra, Rismansyah, Zulham, Hasan, dan Syazwan terhadap Arjuna di Masjid Agung Sibolga kemudian viral di media sosial. Tak ayal, kasus itu pun menuai sorotan dari masyarakat luas.

Bukan cuma lantaran aksi para pelaku yang tergolong sadis dan latar belakang korban, warganet juga menyoroti lokasi penganiayaan itu berlangsung. Bagaimana mungkin tindakan brutal semacam itu bisa terjadi di masjid yang notabene adalah tempat ibadah?

Menurut Antropolog asal Universitas Sumatera Utara, Fikarwin Zuska, tindakan para pelaku terhadap korban menunjukkan mereka sedang “terlepas” dari nilai-nilai kemanusiaan. Para pelaku merasa berkuasa atas orang asing yang dianggapnya melawan.

Fikarwin sendiri menduga para pelaku bukan orang yang sangat “dekat” dengan masjid. Boleh jadi, dengan “menindak” korban yang dianggapnya tak sopan, para pelaku merasa telah membela masjid dan memperoleh pahala.

“Melawan larangan tidur di masjid. Masjid dalam konteks ini justru dapat lebih memperkuat kemarahannya. ‘Tempat suci orang kami, yang tak bisa dijadikan tempat tidur, malah kau tiduri’, begitu kira-kira pandangan mereka. Sehingga, meledaklah kebiadaban itu,” ujar Fikarwin.

Menurut Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada, Prof Paschalis Maria Laksono, tindakan bengis para pelaku bisa jadi didorong oleh anggapan keliru serta faktor-faktor lainnya.

“Karena orang merasa di garis depan peradaban. Polisi mangkir, aturan mangkir, dan orang merasa sendirian menegakkan benang basah kehidupan bersama,” ujar Maria.

Baca juga artikel terkait KASUS PENGANIAYAAN atau tulisan lainnya dari Nanda Fahriza Batubara

tirto.id - News Plus
Kontributor: Nanda Fahriza Batubara
Penulis: Nanda Fahriza Batubara
Editor: Fadrik Aziz Firdausi