tirto.id - Misteri kematian Byron James Dumschat atau Byron Haddow (23) mencuat ke permukaan setelah jenazahnya dipulangkan ke Brisbane, Queensland dengan keadaan tanpa jantung. Temuan mengejutkan tersebut diungkapkan oleh koroner di Queensland kepada orang tua Byron, yakni Robert Allan Haddow dan Chantal Maree Haddow, yang mengatakan bahwa jantung Byron masih tertinggal di Bali.
Byron merupakan warga negara Australia yang meninggal dunia pada 26 Mei 2025 ketika sedang berlibur di Bali. Jenazah lelaki yang bekerja sebagai pekerja tambang FIFO (fly-in-fly-out) di Sunshine Coast itu ditemukan di dalam kolam renang dengan hasil autopsi yang menunjukkan adanya luka-luka berupa memar, pendarahan, dan trauma pada kepala.
Namun, jenazah Byron baru diserahkan kepada keluarga di Australia pada 18 Juni 2025 atau sekiranya empat pekan setelah dia mengembuskan napas terakhir. Setelah itu, pihak Queensland melakukan autopsi kedua kepada jenazah Byron untuk memastikan penyebab kematian dari warga negaranya. Koroner lantas dibuat terkejut karena ketiadaan organ vital di rongga dada Byron.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Australia menghubungi keluarga Haddow dan memberikan bantuan konsuler kepada mereka, tetapi enggan berkomentar lebih lanjut karena kewajiban privasi. Selain itu, sejumlah pejabat senior Australia yang berada di Bali dan Jakarta mengeklaim telah menyampaikan pernyataan kepada pemerintah Indonesia mengenai masalah ini.
“Mereka (juru bicara) hanya menelepon kami untuk menanyakan, apakah kami mengetahui bahwa jantungnya disimpan di Bali. Saya merasa seperti ada sesuatu yang tidak beres. Saya pikir sesuatu telah terjadi padanya sebelum berada di kolam renang,” ungkap Chantal Haddow, ibu dari Byron Haddow, kepada Channel Nine, dikutip pada Kamis (25/09/2025).

Chantal merasa jantung Byron diambil tanpa sepengetahuan dan persetujuan keluarga. Hal tersebut, dia menambahkan, merupakan pukulan yang berat bagi keluarganya. Padahal, kembalinya jenazah Byron ke tanah kelahirannya tersebut merupakan hal yang melegakan karena setidaknya keluarga dapat mengucapkan selamat tinggal dan memakamkannya dengan layak.
“Ini tidak manusiawi, ini benar-benar menghancurkan. Mengetahui jantungnya diambil tanpa sepengetahuan siapa pun, bahkan konsulat di Bali, itu benar-benar mengejutkan,” kata Chantal.
Senada, Malekat Hukum International Law Firm, kuasa hukum dari keluarga, mengungkap hasil autopsi yang menunjukkan adanya memar, pendarahan, dan trauma pada kepala menimbulkan pertanyaan serius dan tidak sejalan dengan penjelasan bahwa korban hanya ditemukan di kolam.
"Itu makin memperkuat keyakinan akan adanya kejanggalan yang kemudian menimbulkan dugaan adanya kematian yang tidak wajar," kata Ni Luh Arie Ratna Sukasari, Founding Partner dari Malekat Hukum, dalam keterangannya, Rabu (24/09/2025).
Arie mengungkap, salah satu kejanggalan yang dirasakan oleh pihak keluarga adalah bahwa kejadian tersebut baru ditindaklanjuti oleh kepolisian pada 30 Mei 2025 atau empat hari setelah korban meninggal dunia. Dalam insiden kematian tersebut pula, terdapat tiga saksi warga Australia lainnya, yakni BPW, KP, dan JL. Namun, ketiganya justru diizinkan meninggalkan Bali tanpa diinterogasi.
“Untuk saat ini, polisi perlu meminta bantuan dari Konsulat Australia untuk mendapatkan pernyataan dari ketiga saksi tersebut. Namun, sangat disayangkan, hingga hari ini konsulat belum memberikan tanggapan,” ungkapnya.
Keluarga juga menyoroti adanya transaksi keuangan yang terjadi sebelum kematian korban. Transaksi tersebut mengarah ke rekening bank sebuah toko tato dan dua saksi perempuan yang merupakan Warga Australia. Hal tersebut dipandang sebagai informasi penting yang perlu ditelusuri lebih lanjut untuk memahami rangkaian kejadian yang berujung pada kematian Byron.
"Penting bagi aparat penegak hukum untuk menelusuri aliran dana tersebut, mengidentifikasi pihak-pihak yang terlibat, dan mengaitkannya dengan keterangan saksi yang ada. Keluarga juga berharap agar rekaman CCTV yang tersedia dapat diperiksa secara forensik, sehingga kejanggalan-kejanggalan yang ada dapat terjawab," tegas kuasa hukum.

Dalam proses penyelidikannya, polisi telah menerima hasil autopsi resmi dari Instalasi Kedokteran Forensik dan Pemulasaran Jenazah di RSUP Prof Ngoerah dengan keterangan bahwa pemeriksaan luar telah dilakukan pada 30 Mei 2025 pukul 22.14 WITA dan pemeriksaan dalam pada 04 Juni 2025 pukul 10.43 WITA.
Kuasa hukum menjelaskan, rumah sakit RSUP Prof. Ngoerah merupakan salah satu rumah sakit di Bali yang memiliki kewenangan melakukan autopsi. Oleh sebab itu, jenazah dipindahkan dari Bali International Medical Centre (BIMC) menuju RSUP Prof. Ngoerah atas permintaan penyidik dikarenakan temuan bahwa kematian Byron cukup mencurigakan.
“Belum jelas apa yang menyebabkan kematian Byron, kini orang tua korban yang merupakan klien kami, kembali dikejutkan dengan penemuan fakta dari The Queensland Coroners Court bahwa jantung almarhum telah diambil dan ditahan di Bali tanpa sepengetahuan maupun persetujuan keluarga. Fakta ini baru terungkap setelah jenazah dipulangkan ke Australia, hampir empat minggu setelah kematiannya,” jelas Arie.
Pihak keluarga, melalui tim kuasa hukum, lantas bersurat ke RSUP Prof Ngoerah dan pihak-pihak terkait pada tanggal 07 Agustus 2025. Dari upaya tersebut, mereka berhasil mendapatkan keterangan dari Asia Pacific Medical Centre selaku tim medis yang pertama kali menangani korban, serta BIMC selaku rumah sakit yang menyatakan dan menerbitkan surat keterangan kematian korban.
Sedangkan, pihak RSUP Prof. Ngoerah sebagai rumah sakit yang melakukan autopsi, serta Rumah Sakit Umum Dharma Yadnya yang mengurus jenazah korban tidak kunjung memberikan tanggapan.
"RSUP Prof Ngoerah, tanpa menanggapi surat kami, justru langsung mengatur pengembalian jantung tanpa adanya klarifikasi yang patut, bahkan meminta klien kami menanggung biaya tambahan sebesar AUD700 untuk proses repatriasi organ tersebut. Jantung tersebut akhirnya dikembalikan ke Queensland pada 11 Agustus 2025, lebih dari dua bulan setelah kematian putra klien kami," beber Arie.
Saat ini, jantung Byron yang telah dikembalikan sedang dilakukan uji DNA untuk memastikan bahwa itu benar merupakan jantung korban. Menurut kuasa hukum, pihak keluarga berhak mengetahui kebenaran, mendapatkan penjelasan yang jujur, serta diperlakukan dengan hormat. Mereka juga menyampaikan, kejadian Byron menimbulkan pertanyaan serius mengenai praktik medis di Bali.

"Klien kami dengan penuh kekecewaan menyampaikan bahwa perlakuan terhadap putra mereka setelah kematiannya adalah tindakan yang tidak manusiawi dan menambah penderitaan yang sudah sangat berat," ungkapnya.
Berdasarkan keterangan dari pihak kuasa hukum, Polres Badung masih melakukan penyelidikan terhadap kasus Byron. Pada tanggal 13 Agustus 2025, polisi mengatakan pada pihak kuasa hukum bahwa mereka akan mengundang dokter forensik dari RSUP Prof. Ngoerah dan mengirim surat ke Konsulat Australia untuk mengundang ketiga saksi yang datang ke Bali agar memberikan pernyataan dan menjalani pemeriksaan di Polres Badung.
“Kerugian dari klien kami tidak bisa dinilai dengan uang. Itulah sebabnya kami hanya mengajukan kasus ini untuk ranah pidana. Semoga RSUP Prof. Ngoerah dan Polres Badung melihat apa yang dibutuhkan oleh keluarga untuk penyelidikan dan klarifikasi,” tutup Arie.
Kronologi Kematian Byron Haddow Versi Polisi
Polres Badung mengungkap bahwa Byron pada awalnya menginap bersama temannya, BPW, di sebuah vila di kawasan Kerobokan Kelod, Kuta Utara, Badung. Pada Senin (26/05/2025) pukul 08.00 WITA, Byron dinyatakan meninggal dunia oleh Rumah Sakit BIMC. Namun, kematian tersebut baru dilaporkan ke Polsek Kuta Utara pada Jumat (30/05/2025) pukul 12.45 WITA.
“Di malam sebelum Byron ditemukan meninggal dunia, BPW dan Byron keluar dari vila, lalu bertemu dan mengajak dua orang perempuan. Sekembalinya ke vila, mereka berempat minum-minum di dekat kolam renang. Saat itu, BPW mengatakan bahwa dirinya mendahului untuk tidur dan meninggalkan Byron bersama dua perempuan tersebut di area kolam renang,” jelas Pejabat Sementara Kasubsipenmas Sihumas Polres Badung, Aiptu Ni Nyoman Ayu Inastuti, dalam keterangan tertulis, Rabu (24/09/2025).
Ketika BPW terbangun keesokan paginya, dia menemukan Byron telah terapung di kolam renang. Sementara itu, kedua perempuan yang mereka bawa ke vila telah menghilang. Di sisi lain, berdasarkan keterangan manajer vila berinisial IA, dia melihat Byron dalam posisi tidur dengan kepala berada di utara dan kaki berada di selatan, bercelana pendek, dan tanpa mengenakan baju.
“Berdasarkan rekaman CCTV, pada jam 10.03 WITA, dari pihak Asia Pacific Medical Clinic terlihat datang dan masuk ke dalam vila. Namun, secara pasti, saksi (manajer vila) tidak mengetahui siapa kedua perempuan tersebut. Menurut penjelasan dari BPW kepada saksi, kedua perempuan tersebut adalah teman mereka yang berasal dari Melbourne, Australia,” kata Ayu.
Setelah kematian Byron, yakni pada Selasa (27/05/2025), Saksi IA bersama dengan house keeping dari vila mengumpulkan semua barang-barang milik Byron. Barang-barang tersebut, termasuk pakaian perempuan yang ditemukan di dalam kamar Byron, lantas dimasukkan ke dalam tas jinjing.
Sementara itu, jenazah Byron dibawa ke Rumah Duka RS Dharma Yadnya untuk disemayamkan. Saksi IA dan Saksi BPW lantas pergi ke RS BIMC untuk mengurus dan mengambil administrasi surat kematian atas nama Byron James Dumschat pada Senin (26/05/2025). Kedua saksi tersebut menyusul datang ke RS Dharma Yadnya untuk mengurus administrasi rumah duka.
Namun, karena ada permintaan lebih lanjut untuk autopsi, jenazah dipindahkan ke Instalasi Kedokteran Forensik dan Pemulasaran Jenazah di RSUP Prof. Ngoerah. Jenazah tersebut diterima oleh petugas administrasi berinisial IKPW pada Jumat (30/05/2025) pukul 20.00 WITA, lengkap bersama dengan dokumen Surat Keterangan Kematian.
Dalam keterangannya kepada polisi, Dokter Penanggung Jawab Forensik, Nola Margaret Gunawan, menjelaskan bahwa kematian Byron diduga kuat karena intoksikasi etanol (keracunan alkohol). Penyebab kematian tersebut disimpulkan dari seluruh temuan (positive findings) yang ditemukan pada pemeriksaan dalam dan pemeriksaan penunjang.
“Hal ini didasari oleh adanya etanol dalam jumlah besar pada seluruh sampel yang diambil, ditambah pula adanya duloxetine (obat golongan antidepresan) membuat kemungkinan penekanan sistem saraf pusat, serta gangguan kognitif menjadi sangat besar. Ini berpotensi pula menyebabkan Byron tidak mampu mengeluarkan dirinya dari air,” terangnya.

Hasil pemeriksaan luar menunjukkan adanya memar pada dahi kiri, kelopak mata kanan, serta lutut kanan akibat kekerasan benda tumpul. Ditemukan pula luka lecet pada kelopak mata kanan dan punggung kaki kanan.
Berdasarkan pemeriksaan dalam, pemeriksaan dalam oleh tim forensik menemukan resapan darah pada kulit kepala bagian dalam, dari sisi puncak kepala kanan, yang disebabkan karena kekerasan tumpul. Temuan tersebut terkonfirmasi pada pemeriksaan patologi anatomi dengan adanya ekstravasasi (kebocoran) eritrosit (sel darah merah) pada jaringan hipodermis.
“Pada pemeriksaan patologi anatomi selaput keras otak, ditemukan ekstravasasi eritrosit yang mengindikasikan terjadinya pendarahan. Pendarahan ini dapat disebabkan oleh kekerasan tumpul di kepala atau pecahnya pembuluh darah akibat bendungan pembuluh darah, yang merupakan konsekuensi dari kekurangan oksigen,” jelasnya.
Pemeriksaan toksikologi yang dilakukan mengungkap keberadaan etanol dalam kadar yang cukup tinggi pada darah dari atrium kanan, urine, dan isi lambung. Menurut Nola, kadar alkohol dalam darah Byron sudah mencapai level yang menimbulkan gangguan fisiologis berupa euforia, penurunan konsentrasi, kurangnya kemampuan dalam pengambilan keputusan, peningkatan impulsivitas, gangguan keseimbangan yang ringan, dan reaksi pupil yang lambat.
“Adanya kekerasan tumpul pada kepala Byron memang tidak bersifat mematikan, tetapi melihat kadar alkohol dalma tubuh Byron, ditambah dengan kemungkinan sinergisme dengan duloxetine, maka adanya kekerasan tumpul di kepala tersebut bisa saja makin melemahkannya,” ungkapnya.
Nola juga mengungkap keberadaan kristal dan jamur pada pemeriksaan getah paru yang mengindikasikan Byron masih bernapas pada saat dia berada di dalam air. Namun, dengan adanya kadar alkohol dalam darah yang mencapai tahap menimbulkan gangguan fisiologis, Byron bisa saja tidak dapat keluar dari dalam air.
“Namun, hal ini juga perlu dibandingkan dengan keadaan dan kedalaman air tempat dia ditemukan. Tidak dapat disingkirkan meninggalnya korban akibat intoksikasi etanol yang potensial bersinergi dengan duloxetine yang mengakibatkan depresi sistem saraf pusat sehingga mengakibatkan mati lemas,” tutupnya.
Saat ini, polisi masih menunggu konfirmasi dari Australian Federal Police (AFP) untuk menghadirkan dua perempuan berinisial KP dan JL, serta rekan korban yang berinisial BPW, untuk dimintai keterangan lebih lanjut. Pemeriksaan juga akan dilakukan kepada pihak Asia Pacific Medical Clinic yang pertama kali datang ke tempat kejadian.
“Rumah Sakit BIMC itu hanya melakukan pemeriksaan awal pada jenazah dan korban dinyatakan meninggal dunia. Selanjutnya, mereka mengeluarkan surat keterangan meninggal dunia dan mengantarkan jenazah ke RS Prof. Ngoerah,” ungkap Ayu.
RSUP Prof. Ngoerah Klaim Autopsi Sesuai Prosedur
Pihak RSUP Prof. Ngoerah, sebagai rumah sakit yang melakukan autopsi terhadap korban, menepis anggapan bahwa terjadi pencurian atau transaksi organ. Mereka mengungkap, Byron telah meninggal selama lima hari ketika jenazahnya sampai di RSUP Prof. Ngoerah. Sementara, syarat untuk donor organ adalah donor hidup atau belum meninggal.
Direktur Medik Keperawatan dan Penunjang RS Prof Ngoerah, I Made Darmajaya, membeberkan autopsi forensik terhadap jenazah Byron pada 4 Juni 2025. Tindakan itu atas permintaan resmi dari penyidik di Kepolisian Sektor (Polsek) Kuta Utara. Hasil pemeriksaan lantas dicatat dalam laporan autopsi ataupun visum et repertum.
Menurut standar operasional prosedur (SOP), autopsi dilakukan untuk mengambil organ tubuh, sampel organ jaringan, serta cairan tubuh untuk pemeriksaan penunjang. Proses tersebut dilakukan dengan membuka organ dalam tubuh untuk melihat secara langsung kondisi organ tersebut.
Setelahnya, jika diperlukan, organ-organ tersebut dirujuk untuk pemeriksaan mikroskopis jaringan, patologi anatomi, dan analisis toksikologi. Pada kasus tertentu, Darmajaya menerangkan, jantung atau organ-organ perlu diambil secara utuh untuk menentukan anomali yang ada di dalamnya.
“Mengeraskan atau fiksasi jaringan utuh jelas membutuhkan waktu lebih panjang daripada sampel organ. Proses ini kemudian berlanjut hingga organ atau sampel organ dapat dilihat di bawah mikroskop dan dianalisis," ungkap Direktur Medik Keperawatan dan Penunjang RS Prof Ngoerah, I Made Darmajaya, dalam konferensi pers, Rabu.
Proses fiksasi tersebut memerlukan waktu hingga maksimal satu bulan, mulai dari pemeriksaan pertama hingga diterbitkannya laporan autopsi atau visum et repertum. Setelahnya, barulah akan dilakukan repatriasi atau pengembalian jantung ke Australia. Namun, proses repatriasi tersebut ditanggung oleh perusahaan jasa pemakaman, bukan rumah sakit.
"Jadi jenazah beliau duluan. Jantungnya baru disusulkan setelah pemeriksaan jantungnya komplit. Hal ini disebabkan karena waktu lebih panjang diperlukan untuk memproses jantung yang bersangkutan sampai mencapai syarat untuk dilakukan pemeriksaan patologis. Jadi itu kita tidak ada maksud lain," terang Darmajaya.
Kepala Instalasi Forensik RSUP Prof. Ngoerah, Kunthi Yulianti, menjelaskan bahwa komunikasi mengenai jantung Byron sudah dilakukan dengan pihak konsulat dan keluarga. Pada saat rumah sakit menjelaskan, Kunthi mengeklaim, kedua pihak tersebut sudah mengerti penjelasan rumah sakit. Pihak Konsulat Australia pun berupaya membantu untuk menjembatani komunikasi dengan keluarga Byron.

Jantung Byron diserahkan kepada pihak jasa pemakaman (funeral service) pada 21 Juli 2025, sementara tubuh Byron sudah diberangkatkan terlebih dulu pada 12 Juni 2025. Kunthi mengungkap, pihak jasa pemakaman pula yang telah membantu pengurusan jenazah Byron dari awal, hingga kepulangannya di Australia.
"Memang tidak ada kepentingan rumah sakit untuk menahan jantung, sebetulnya. Kepentingan kami adalah dalam rangka pemeriksaan sesuai dengan amanah undang-undang, yang mana diminta oleh Polsek Kuta Utara," tegasnya.
Kunthi kembali menjelaskan, kepulangan jenazah merupakan hak dari keluarga dan rumah sakit tidak dapat menahannya. Pada kasus Byron, tidak ada keluarga yang berada di Indonesia untuk menerima, sehingga terdapat orang yang dikuasakan oleh pihak keluarga dan jasa pemakaman yang mengatur kedatangan dan kepulangan jenazah. Oleh karena komunikasi sudah dilakukan, Kunthi merasa bingung mengapa kasus kembali mencuat di bulan September 2025.
“Kami dititipi jenazah ini. Jenazah dibawa ke sini bukan kami yang meminta, tetapi dikirim oleh jasa pemakaman itu. Dia juga meminta atas permintaan keluarga untuk memulangkan jenazah secepatnya, yang mana pemeriksaan patologi anatomi masih belum selesai dilakukan, Mungkin ada hal yang kurang jelas, karena di laporan autopsinya sudah ada penjelasannya. Mungkin itu yang tidak dipahami karena kendala bahasa dan sebagainya dari pihak keluarga,” terang Kunthi.
Sementara itu, Dokter Penanggung Jawab Pasien, Nola Margaret Gunawan, mengungkap bahwa dirinya sudah menuliskan perihal pengambilan jantung Byron untuk pemeriksaan patologi anatomi di laporan autopsi. Pada laporan tersebut, sudah dituliskan mengenai pemeriksaan patologi dan apa saja temuan di organ tersebut.
"Kalau di laporan untuk dokumen yang dikirimkan ke Australia, itu memang tidak bisa dituliskan karena terkait dengan rahasia kedokteran. Kalau dibaca di laporan autopsinya, sebenarnya bisa disimpulkan bahwa jantungnya masih belum selesai untuk pemeriksaan," bebernya.
Senada dengan Kunthi, Nola mengatakan pihak keluarga memang meminta jenazah Byron dipulangkan setelah autopsi selesai dilakukan. Namun, saat itu proses patologi anatomi dan toksikologi belum selesai dilakukan dan masih memerlukan proses yang panjang. Kedua prosedur tersebut harus dilakukan untuk menentukan sebab kematian dari Byron.
“Prosedur (untuk jantung), itu terserah dari pihak keluarga. Apakah mau diminta kembali atau repatriasi, atau diproses sesuai dengan SOP Dispose Medical Waste di rumah sakit ini. Kasus ini merupakan autopsi forensik, sehingga dalam hal ini, sebenarnya keluarga tidak punya pilihan untuk tidak melakukan pemeriksaan tertentu,” ungkapnya.
Sementara itu, Nola juga menyebut proses autopsi ulang yang dilakukan oleh otoritas Queensland merupakan hal yang sah, mengingat Byron adalah warga negara mereka. Pihaknya juga sudah menerima permintaan bahwa jenazah akan diautopsi ulang di Australia.
"Saya sudah menerima permintaan itu, termasuk permintaan cairan tubuh atau analisis toksikologi. Saya juga tidak punya hak untuk menghalangi mereka mendapatkan haknya,” kata Nola.
Komunikasi Antara Pihak-Pihak Jadi Sorotan
Kriminolog dari Universitas Udayana (Unud), Gde Made Swardhana, menilai proses komunikasi antara pihak keluarga Byron, rumah sakit, dan pihak-pihak terkait, mengalami kendala. Dia melihat, dalam kasus ini dan untuk mencegah kasus serupa terulang kembali, diperlukan koordinasi yang lebih intens antara pihak imigrasi, kedutaan, maupun pemerintah daerah dalam menjembatani proses komunikasi tersebut.
“Ketika hendak diadakan operasi atau autopsi, diperlukan permintaan dari penyidik dan persetujuan keluarga. Tentang operasi tubuh dan organ tubuh, seharusnya ada persetujuan juga. Saya sedikit janggal melihat kalau sampai ada organ yang tertinggal,” ungkap Swardhana ketika dihubungi oleh Tirto, Kamis (25/09/2025).
Untuk keperluan menganalisis organ tubuh demi kepentingan forensik, selayaknya dalam kasus Byron, Swardhana menilai diperlukan pembicaraan dari pihak rumah sakit secara langsung kepada keluarga atau pihak yang menjembatani mengenai alasan ekstraksi organ tersebut, termasuk apa yang akan diperiksa dan berapa lama durasi pemeriksaannya.
Swardhana melihat, seharusnya permasalahan ini tidak sampai mencuat ke permukaan apabila pihak dari sisi Indonesia, seperti kepolisian dan rumah sakit, telah menjelaskan kepada pihak di Australia mengenai pengiriman jenazah dan keberadaan organ yang masih diteliti untuk keperluan patologi anatomi. Penjelasan tersebut dapat disampaikan melalui kedutaan atau konsulat.
“Diperlukan penjelasan, sama-sama mengonfirmasi tentang apa yang terjadi, baik di sini (Bali) maupun di Australia. Ketika dilakukan autopsi, pihak keluarga akan dihubungi untuk menjelaskan alasan dilakukannya autopsi, yakni untuk meyakinkan penyebab korban meninggal. Biasanya pun tidak perlu waktu sampai berbulan-bulan,” jelasnya.
Penulis: Sandra Gisela
Editor: Farida Susanty
Masuk tirto.id


































