tirto.id - Felix Juanardo Winata, 20 tahun, seorang mahasiswa semester 5 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, melayangkan gugatan terkait UU No. 13/2012 tentang Keistimewaan DI Yogyakarta ke Mahkamah Konstitusi.
Permohonan gugatan itu telah diterima panitera MK dengan tanda terima nomor 1926/PAN.MK/XI/2019 tanggal 15 November 2019.
Ia mendalilkan legal standing atau posisinya pada dua hal, yakni: Pertama, sebagai WNI keturunan Tionghoa yang lahir di Jakarta, dan tinggal di Tangerang Kota, Provinsi Banten. Kedua, hak konstitual dia untuk dapat memiliki tanah di DIY telah dilanggar oleh UU Keistimewaan.
Dalam permohonan, Felix menyebut pengaturan tanah di Pasal 7 ayat (2) huruf d dalam UU Keistimewaan telah melegitimasi aturan lama, yakni Instruksi Wakil Kepala Daerah DIY Nomor K.898/I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak Atas Tanah Kepada Seorang WNI Non-Pribumi.
Dalam Instruksi 1975 ini, tiga golongan warga non-pribumi yang dilarang punya kepemilikan tanah yakni “Europeanen” (Eropa, kulit putih); “Vreemde Oosterlingen” (Timur Asing) yang meliputi orang Tionghoa, Arab, India maupun non-Eropa lain.
Aturan tersebut tak hanya melarang WNI keturunan Tionghoa, tapi juga India, dan Arab.
Padahal, Pasal 7 ayat (2) huruf d tentang pertanahan bertentangan dengan Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 21 ayat (1) UU 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
“Bahwa UU 5/1960 menyebut tanah di Indonesia memiliki sebuah fungsi sosial, di mana penataan, penguasaan, tanah oleh negara diarahkan agar dalam pemanfaatannya dapat mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” sebut Felix dalam gugatannya [PDF].
Felix keturunan Tionghoa ‘Benteng’, saat ini tak dapat memiliki tanah di DIY yang merupakan imbas UU Keistimewaan.
“Instruksi 1975 [...] merupakan suatu perlakuan diskriminatif atas dasar ras dan suku terhadap WNI berketurunan Tionghoa karena tidak dimungkinkannya untuk menguasai hak milik atas tanah di DIY,” sebut Felix.
Ia juga menilai Pasal 7 ayat (2) huruf d tentang pertahanan dalam UU Keistimewaan bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Dewi Kartika mendukung penuh langkah Felix menggugat ke MK. Hal ini didorong kenyataan, kepemilikan tanah sesuai UU Pokok Agraria tak memandang ras, suku dan gender.
"Kasus Felix kembali membuka kotak pandora isu ketidakadilan agraria di Yogyakarta. Isu sensitif. Saya mendukung siapa pun yang memperjuangkan hak konstitusi agrarianya dari ketidakadilan," kata Dewi saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (22/11/2019).
Menurut Dewi, UU Keistimewaan DIY menyebabkan UU 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang dikenal UUPA menjadi tidak berlaku di Yogyakarta.
UU Keistimewaan DIY, kata dia, seperti memberi pengecualian bagi pemerintah Yogyakarta dalam mengurus agraria, utamanya pertanahan, karena telah memberi "keistimewaan" itu.
"Singkatnya, sebagai akibat UUPA tidak berlaku di Yogyakarta," ungkap Dewi.
Dewi melanjutkan, mengapa seolah UU Pokok Agraria tak berlaku, karena UU Keistimewaan DIY memberi kewenangan selain soal pengaturan Gubernur dan Wakil Gubernur, kelembagaan pemda, tata ruang, juga memberi kewenangan tersendiri mengatur pertanahan.
"Inilah konsekuensi hukum dari berlakunya UU 13/2012. Selanjutnya UU tersebut memberi legitimasi kepada pemda untuk tetap memberlakukan regulasi lama terkait penyeragaman kebijakan tentang hak atas tanah kepada WNI non-pribumi," kata dia.
Bukan Kali Pertama
Gugatan larangan WNI non-pribumi memiliki tanah di DIY bukan kali pertama. Felix juga menulis upaya lain yang sudah ditempuh pihak lain dalam dokumen permohonan yang diajukan ke MK.
Pada 2015, Handoko WNI keturunan Tionghoa juga menggugat Instruksi Wakil Kepala Daerah Nomor K.898/I/A/1975 ke PTUN Yogyakarta dan Mahkamah Agung.
Gugatan itu ditolak oleh kedua institusi, karena Instruksi 1975 bukan kewenangan diskresi PTUN Yogyakarta. Sedangkan MA mengaku tak memiliki kewenangan untuk uji materi atas keputusan tersebut, karena Instruksi 1975 bukan bagian dari undang-undang.
Upaya lain mempertanyakan Instruksi 1975 ini, yakni: ada aduan ke BPN RI Nomor 4325/016-300/XI/2011 pada 16 November 2011 berisi keberatan WNI Tionghoa atas kebijakan tanah DIY diskriminatif. Kemudian ada surat kepada Kakanwil BPN DIY Nomor 0004/300.34/I/2015 tertanggal 2 Januari 2015.
Aduan juga sampai ke Komnas HAM Nomor 037/R/Mediasi/VIII/2014 tertanggal 11 Agustus 2014 dan Nomor 069/R/Mediasi/VII/2015 per tanggal 7 Agustus 2015.
Sayangnya, semua upaya tersebut tak membuat Instruksi 1975 terhenti.
Perlu Perda Khusus Tanah
Direktur Pusat Studi Hukum Agraria Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mukmin Zakie menyebut, persoalan tanah di DIY punya latar sejarah panjang.
Menurut dia, sebelum terbit UU Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria pada 1960, DIY atau Keraton Yogyakarta sudah mengatur tanahnya sendiri lewar UU 3/1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta yang kini telah direvisi jadi UU 9/1955.
Setelah muncul UU Pokok Agraria, kata Mukmin, muncul persoalan baru, yakni DIY jadi tidak istimewa karena budaya dan pertanahan tak diatur sendiri.
Hal ini, kata Mukmin, melahirkan Instruksi 1975 yang diteken Paku Alam VIII. Namun, aturan ini nyaris hilang setelah terbit Perda Nomor 3 Tahun 1984 yang jadi landasan implementasi UU Agraria tahun 1960, sehingga pertanahan DIY kembali ke UU Agraria.
“Dengan ada UU Keistimewaan yang terbit pada 2012, secara tak langsung DIY punya legitimasi lagi mengatur tanahnya, baik Sultan Ground, Pakualaman Ground maupun di luar itu. Tak lagi mengacu UU Pokok Agraria,” kata Mukmin saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (22/11/2019).
Mukmin menilai di DIY ada dua pemerintahan, yakni: pemerintah provinsi dan kesultanan atau kerajaan. Sehingga bisa dipahami pengaturan tanah lewat Instruksi 1975 bagian dari perlindungan kerajaan kepada warganya. Dalam istilah hukum, langkah ini disebut affirmative action.
“Di Malaysia juga demikian. Ada perlindungan ekonomi berupa pemberian hak istimewa kepada warga Melayu. Tanah di daerah tertentu tak boleh dipindahtangankan selain sesama warga Melayu,” ujar dia.
Menurut Mukmin, Instruksi 1975 dibuat tanpa batas waktu, namun tetap berpeluang hilang sesuai perkembangan zaman.
Salah satu caranya, kata Mukmin, seperti yang ditempuh oleh Felix dengan menggugat UU Keistimewaan yang merupakan hak penggugat yang dijamin UU.
Namun, kata Mukmin, pengubahan aturan tanah di DIY bukan menggugat UU Keistimewaan, melainkan membuat regulasi baru terkait pembatasan kepemilikan tanah. Terutama tanah bersifat pekarangan yang menjadi pangkal persoalan WNI non-pribumi tak bisa punya tanah di DIY.
“Pembatasan tanah pertanian atau sawah sudah ada yakni UU 56/1960. Di situ jelas, orang tak dapat punya tanah pertanian di luar kecamatan tempat tinggalnya sesuai identitas,” kata dia.
Mukmin menambahkan, “tapi pembatasan penguasaan tanah jenis lainnya, kan, belum ada. Ini seharusnya dipikirkan juga oleh DPR dan pemerintah. Buat regulasi yang baru [soal tanah di DIY].”
Dalam konteks DIY, Mukmin menilai pengaturan tanah perlu diubah, bukan karena ada desakan diskriminasi, melainkan kebutuhan proteksi perekonomian.
Ia mencontohkan warga Gunung Kidul dengan pekerjaan utama mereka sebagai petani, sedangkan kebutuhan hidup bertambah, sehingga jalan pintas untuk mencari uang adalah menjual tanah.
Bila tak diproteksi, kata Mukmin, bisa saja ‘orang yang lapar tanah’ datang ke Gunung Kidul, sehingga bisa ‘menggusur’ warga dari tanah kelahiran mereka, kata dia.
“Ini masih pro-kontra, apa benar ada diskriminasi dari Instruksi 1975, karena ada sisi baiknya untuk proteksi ekonomi warga seperti di Gunung Kidul,” imbuh Mukmin.
Ni’matul Huda, guru besar hukum tata negara UII Yogyakarta, menyebut gugatan ke MK ini merupakan upaya baru yang ditempuh terkait ‘diskriminasi’ aturan tanah di DIY.
“Penggugat berharap dengan gugat UU Keistimewaan, aturan di bawahnya itu, otomatis gugur, bila gugatan dikabulkan MK,” kata Ni’matul.
Namun, menurut Ni'matul, UU Keistimewaan, terutama Pasal 7 huruf ayat (2), tak bertentangan dengan UUD 1945. Sebab, kata dia, negara mengakui dan menghormati keistimewaan DIY.
Akan tetapi, Ni’matul menilai seharusnya ada batasan terkait kepemilikan. Ini menguatkan pendapat Mukmin terkait perlunya regulasi pertanahan baru sebagai jalan keluar atas Instruksi 1975, tapi tetap ada pembatasan penguasaan tanah.
“Harusnya ada batasan dalam bentuk regulasi. Soal tanah di DIY ini, kan, belum diatur melalui peraturan daerah istimewa. Jadi [Instruksi 1975] bentuknya masih kebijakan belum regulasi, masak kebijakan mendiskriminasi,” ungkap dia.
Lewat perda, kata dia, memungkinkan regulasi baru yang membatasi penguasaan tanah, sehingga bisa adil.
Ia mengandaikan dalam perda mengatur kepemilikan tanah non-pribumi di DIY dengan batasan tertentu seperti luasan, lokasi, dan bukan tanah milik Sultan atau Pakualaman.
“Saya dulu jadi pengacara Handoko waktu gugatan PTUN. Saya sudah bilang ke majelis hakim soal ide perda ini. Tapi nyatanya ditolak majelis hakim,” imbuh Ni'matul.
“Pemerintah harusnya mengkaji [masalah tanah di DIY] usai reformasi berjalan. Itu Kementerian Agraria seperti apa solusinya. Masak aturan seperti ini didiamkan,” kata dia.
Respons Keraton dan Doxing ke Pemohon
Ketika gugatan Felix terpublikasi, ia mengalami doxing. Lewat akun Twitternya, Roy Suryo, politikus Partai Demokrat asal DIY, mengunggah foto, asal sekolah dan alamat email Felix.
Ia beralasan twit itu untuk membela ‘keistimewaan’ DIY dengan mendeskripsikannya sebagai ‘Jogja Ora Didol’.
“Tweeps, sekali lagi saya mengecam gugatan terhadap Keistimewaan Jogja ini. Meski si Felix Juanardo Winata ini memiliki "hak hukum" untuk menggugat UU, tetapi jika dia sadar Kuliah di FH UGM seharusnya tahu diri & mau belajar menjadi warga Jogja berhati nyaman. JOGJA ORA DIDOL, lix!,” cuit Roy Surya.
Gubernur DIY, Sultan Hamengku Buwono X menyebut, terkait gugatan ini sebagai hal wajar.
"Ya enggak apa-apa. Tidak apa-apa, ya wajar saja. Dasarnya apa nanti, kan, alasannya sendiri ada," kata Sultan, Rabu (20/11/2019) seperti dilansir Antara.
Sultan mengaku belum mengetahu terkait kesiapan hukum melawan gugatan ke MK ini.
“Ya belum tahu. Kami belum tahu. Tidak ada yang menghubungi," kata Sultan.
Upaya doxing dan kecaman kepada pemohon, menurut dua pakar hukum Ni’matul dan Mukmin, seharusnya dihindari, karena gugatan ke MK merupakan langkah yang dijamin olen konstitusi.
“Apa yang dilakukan mahasiswa UGM sangat yuridis. Sangat konstitusional. Dia pakai jalur yang dibenarkan oleh UU. Jangan di-bully dan jangan diintimidasi supaya di Jogja ini orang tak takut mengeluarkan pendapat,” kata Mukmin, dosen UII Yogya.
Penulis: Zakki Amali
Editor: Abdul Aziz