Menuju konten utama

Warga Terdampak Penggusuran Gugat UU Keistimewaan Yogyakarta

Warga Yogya terdampak penggusuran menggugat undang-undang keistimewaan dan kebijakan pemerintah provinsi DIY yang secara umum terkait dengan hak milik tanah.

Warga Terdampak Penggusuran Gugat UU Keistimewaan Yogyakarta
Seorang pedagang memindahkan dagangannya saat penataan pedagang kaki lima (PKL) di Kawasan Keraton Yogyakarta, Jumat (31/7). PKL di Kawasan Keraton Yogyakarta ditata dan dipindahkan secara bertahap untuk mendukung upaya revitalisasi wilayah Keraton Yogyakarta sebagai kawasan cagar budaya sekaligus detinasi wisata. Antara Foto/Andreas Fitri Atmoko.

tirto.id - Warga Yogyakarta yang terdampak penggusuran di sejumlah proyek menggugat undang-undang keistimewaan (UUK) dan kebijakan pemerintah provinsi DIY terkait dengan hak milik tanah.

Hal itu terungkap dalam diskusi dan pemutaran film "Lemahmu udu Duwekmu, Mengurai Hak Milik Atas Tanah, Perspektif Warga DIY" yang diselenggarakan oleh Jogja Darurat Agraria, di Ruang Teatrikal Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Yogyakarta pada Selasa, (20/9/2016). Diskusi ini dihadiri oleh para perwakilan Wahana Tri Tunggal (WTT) Kulon Progo, Medi, Paguyupan Petani Lahan Pantai (PLPP) Kulonprogo, Tukijo, Parangkusumo, Kawid, dan Paguyuban Kawulo Pesisir Mataram (PKPM) Watukodok, Rudiati.

"Kami menolak digusur!" seru Rudiati perwakilan Paguyuban Kawulo Pesisir Mataram (PKPM) Watukodok mengawali sesi pemaparan dari narasumber.

Sebagai informasi, keistimewaan Yogyakarta terbentuk berdasarkan Maklumat Wakil Presiden tanggal 10 Oktober 1945 no X, sehingga terbentuk UU No 3 jo 19/1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, terdiri atas tiga BAB (Peraturan Umum, Tentang Urusan Rumahtangga Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Peraturan Penutup) dan 7 pasal yang disertai 12 ayat.

UU no 3 jo 19 tahun 1950 tersebut telah diperbaharui menjadi Undang-undang no 13 Tahun 2012, meliputi XVI BAB, 51 Pasal, dan didukung oleh tidak kurang dari 70 ayat. Berbeda dengan UU 3/1950 sebelumnya, UU 13/12 ini hubungan antara berbagai kewenangan (pemerintahan) dengan peran keraton (sebagai lembaga warisan budaya) seperti tujuan utamanya.

Paramita Iswari, Pegiat Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA) dalam pemaparannya menyampaikan bahwa pasal empat dan lima dalam UU No 13 tahun 2012 perlu dicermati. Ia memaparkan Pasal 4, huruf g berbunyi "Pengaturan keistimewaan DIY dilaksanakan berdasarkan asa pendayagunaan kearifan lokal."

Sedangkan, Pasal 5 [1] huruf e berbunyi "pengaturan keistimewaan DIY bertujuan untuk melembagakan peran dan tanggung jawab Kasultanan dan Kadipaten dalam menjaga dan mengembangkan budaya Yogyakarta yang merupakan warisan budaya bangsa."

Terkait dua pasal ini, Paramita membeberkan yang dimaksud dengan asas pendayagunaan kearifan lokal adalah menjaga integritas Indonesia sebagai suatu kesatuan sosial, politik, ekonomi, budaya, pertahanan dan keamanan, serta pengakuan dan peneguhan peran Kasultanan dan Kadipaten. Peneguhan terhadap dua pemerintahan itu tidak dilihat sebagai upaya pengembalian nilai-nilai dan praktik feodalisme, melainkan sebagai upaya menghormati, menjaga, dan mendayagunakan kearifan lokal yang telah mengakar dalam kehidupan sosial dan politik Yogyakarta dalam konteks kekinian dan masa depan.

Paramita juga menjelaskan beberapa kata kunci dan problem yang terkandung dalam pasal tersebut. Ia menjelaskan DIY sebagai daerah swatantra berhak untuk mengatur dan mengurus urusan agraria, namun masih dalam koridor pengaturan pasal 33 (3) UUD 1945.

“Pertanyaannya apakah hal ini berkorelasi langsung dengan pengaturan tanah di Yogyakarta sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pasal 32 dan Pasal 33?” tanya Paramita.

Paramita mengajak warga terdampak agar berani mengajukan moratorium untuk memperbaiki keadaan. “Adakan moratorium untuk menghentikan kegiatan, sampai ada bentuk aturan baru,” katanya.

Hal ini disepakati oleh Hari Purnomo, salah seorang warga Kulonprogo yang ikut serta dalam diskusi dengan menyatakan, “Penyelenggara kebijakan memelintir kebijakan, problem masalah tanah muncul paska UUK (undang-undang keistimewaan), harus mengajukan moratorium, supaya kita luruskan kembali,” ujarnya.

Seperti telah diketahui terjadi 20 kasus konflik agraria di Yogyakarta, antara lain konflik;

(1) pembangunan Bandara Internasional di Kulonprogo,

(2) pertambangan pasir besi dan pembangunan pabrik baja di Kulonprogo,

(3) penggusuran pemukiman warga di Parangkusumo,

(4) penggusuran tambak udang di Parangkusumo,

(5) pematokan tanah sultan ground (SG) di atas tanah negara di Parangkusumo,

(7) pematokan tanah SG di atas tanah hak milik warga di Mancingan Parangtritis,

(8) perampasan hak tanah melalui perubahan status hak guna bangunan di Jalan Solo Kotabaru,

(9) penggusuran sekelompok warga di Suryowijayan,

(10) ancaman penggusuran PKL dengan dalih tanah SG di Gondomanan,

(11) revitalisasi Kantor Kepatihan yang berdampak penggusuran di Suryawijayan,

(12) perampasan tanah desa melalui pembalikan nama sertifikat tanah desa seluruh DIY,

(13) diskriminasi rasial/etnis melalui pelarangan hak milik atas tanah di seluruh DIY,

(14) penolakan perpanjangan hak guna bangunan di Jogoyudan, Jetis,

(15) penolakan permohonan sertifikat hak milik tahan di Blunyahgede,

(16) pembangunan apartemen di kawasan padat penduduk di Jalan Kaliurang km 5,

(17) penarikan sertifikat hak milik dengan dalih pembaruan sertifikat di Mantrijeron,

(18) perampasan hak tanah melalui pembatalan hak milik atas tanah di Pundungsari,

(19) perampasan tanah negara dan warga atas nama penertiban tanah SG dan pariwisata di seluruh Gunungkidul,

(20) pengusiran dan pembongkaran paksa kios warga dengan dalih tanah SG.

Baca juga artikel terkait DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA atau tulisan lainnya dari Mutaya Saroh

tirto.id - Hukum
Reporter: Mutaya Saroh
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Mutaya Saroh