Menuju konten utama

Jerit Buruh Jogja soal UMP Rp1,7 Juta: Tak Manusiawi, Jauh dari KHL

UMP dan UMK Daerah Istimewa Yogyakarta yang telah ditentukan untuk tahun 2020 sekitar Rp1,7 juta. Para buruh menilai besaran ini tak manusiawi, jauh dari KHL.

Jerit Buruh Jogja soal UMP Rp1,7 Juta: Tak Manusiawi, Jauh dari KHL
Sejumlah buruh menggelar aksi menolak penetapan upah minimum provinsi (UMP) Yogyakarta 2019 di Nol Kilometer, Kota Yogya, Rabu (31/10/2018). tirto.id/Irwan A. Syambudi.

tirto.id -

Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah ditentukan untuk tahun 2020. Namun, para buruh menilai besarannya tidak manusiawi. Sebab jauh dari standar kebutuhan hidup layak (KHL).

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi DIY Andung Prihadi Santosa menyatakan, pada Rabu (30/10/2019) telah dilakukan rapat antar Dewan Pengupahan Daerah di Kantor Gubernur DIY. Hasilnya telah disepakati besaran UMP dan UMK 2020.

"Dalam rapat koordinasi bersepakat UMP sesuai dengan PP 78 ada kenaikan 8,51 persen dari UMP tahun 2019, yaitu besarannya menjadi Rp1.704.608,25," katanya saat ditemui usai rapat.

Selain UMP juga telah disepakati juga UMK 2020 untuk masing-masing kabupaten yakni Gunung Kidul Rp1.705.000; Kulon Progo Rp1.750.500; Bantul Rp1.790.500; Sleman Rp1.846.000; dan Kota Yogyakarta Rp2.004.000.

Besaran UMP dan UMK ini, kata Andang, akan segera disahkan dalam bentuk Surat Keputusan (SK) Gubernur. Untuk UMP, SK akan ditandatangani oleh Gubernur DIY pada 1 November 2019. Sedangkan UMK sehari setelahnya.

"Sekarang belum ada nomornya [surat keputusan]. Tapi sudah disepakati dan kelihatannya data tidak mungkin berubah karena ini sudah rapat final," kata Andang.

Dengan disepakatinya besaran kenaikan UMP dan UMK 2020 ini, upah Provinsi DIY diperkirakan menjadi paling rendah di Indonesia.

Upah Yogya Tak Manusiawi

Sekjen Aliansi Buruh Yoyakakarta (ABY) Kirnadi mengatakan, besaran UMP yang telah disepakati untuk 2020 itu, sangat mengecewakan buruh. Menurutnya, Gubernur DIY tidak peka dan responsif terhadap kondisi buruh karena hanya menaikkan UMP menjadi Rp1,7 juta.

Padahal, kata dia, berdasarkan survei yang dilakukan oleh aliansi buruh, KHL di kabupaten/kota di DIY rata-rata Rp2,5 juta sampai Rp2,7 juta. Maka dengan akan berlakunya UMP dan UMK di Yogya buruh akan mengalami defisit pendapatan.

Kirnadi menyebut upah minimum yang telah disepakati itu, merupakan hasil survei yang keliru dari Dewan Pengupahan Daerah. Sebab tidak sesuai dengan Permenakertrans Nomor 13/VII/2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak.

"Mengapa survei kami bisa segitu dan UMK segitu? Karena survei yang dilakukan oleh Dewan Pengupahan Daerah di sana ada pengusaha, pekerja, dan pemerintah. Itu surveinya adalah manipulatif," katanya.

Salah satu contoh yang dinilainya manipulatif adalah soal tempat tinggal buruh. Di dalam survei dewan pengupahan, tempat tinggal adalah indekos minimalis. Sementara sesuai dengan Permenakertrans tempat tinggal yang layak minimal adalah harus ada ruang tamu, tempat tidur, kamar mandi, dan dapur.

"Tetapi fakta di lapangan. Survei yang dilakukan oleh Dewan Pengupahan Daerah itu untuk tempat tinggal pekerja atau buruh hanya indekos ukuran 3x3 meter. Artinya surveinya itu adalah survei yang manipulatif dan itu salah," kata dia.

Sejumlah item lain yang disurvei pun, kata Kirnadi, bukan merupakan kondisi yang layak. Contoh lain, ia menyebut untuk kebutuhan sandang, survei Dewan Pengupahan Daerah menghargai Rp30.000 untuk kebutuhan pakaian buruh.

"Sangat tidak manusiawi kalau dibandingkan dengan kondisi riil di masyarakat tentang kebutuhan hidup layak," kata dia.

Sementara, kata Kirnadi, survei yang dinilainya manipulatif hingga menghasilkan angka upah yang tak manusiawi itu, telah digunakan sebagai acuan oleh pemerintah daerah sejak 2015. Oleh karena itu, selama beberapa tahun terakhir Yogyakarta tidak pernah beranjak dari predikat daerah dengan upah paling rendah se-Indonesia.

Jika melihat hasil survei yang dilakukan aliansi buruh terhadap KHL, ambil contoh untuk Kota Yogya upah layak yang seharusnya diterima buruh adalah Rp2.794.126. Survei tersebut berdasarkan harga kebutuhan sandang, pangan, papan yang terdiri dari 60 item yang ada di Pasar Kranggan Kota Yogya, pada September 2019 lalu.

Contoh survei pada kebutuhan makanan dan minuman, kebutuhan beras selama sebulan sebanyak 10 kilogram biayanya Rp120.000. Kemudian untuk kebutuhan lauk berprotein seperti daging sapi dengan kualitas baik 0,75 kilogram harganya Rp123.000, lalu daging ayam dengan berat yang sama harganya Rp32.000.

Sementara untuk kebutuhan tempat tinggal di Kota Yogya sewa kamar yang layak dan mampu menampung kebutuhan lain seperti almari, meja, kursi, dan kompor per bulan biayanya Rp1 juta.

"Belum sampai bisa memiliki rumah. Masih jauh sekali itu. Kami surveinya hanya kos-kosan tempat tinggal. Kos-kosan yang di sana ada tempat tidur, dapur yang utama ada kamar tamu, kamar mandi dan tempat untuk masak," katanya.

Perbudakan Gaya Baru

Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Konferensi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Yogyakarta Irsyad Ade Irawan mengatakan, upah minimum yang telah disepakati, akan kembali membuat buruh di Yogyakarta mengalami defisit pendapatan.

Ia bahkan menyebut upah yang ada di Yogyakarta seperti halnya kembali pada zaman perbudakan. Kata Irsyad, saat perbudakan, orang bekerja tak diberi gaji. Hanya mendapatkan makan dan tempat tinggal.

"Ini perbudakan gaya baru. Dengan upah minimum sekarang buruh itu uangnya hanya cukup untuk makan dan tempat tinggal. Bisa dibayangkan upah minimum yang sekarang ini [2019] di Kota Yogya Rp1,7 juta," kata dia.

Jika menggunakan survei KHL yang dilakukan aliansi buruh per September 2019, upah minimum yang telah disepakati untuk 2020 juga mengakibatkan defisit pendapatan bagi para buruh.

Misalnya untuk hasil survei KHL 2019 di Kota Yogya sebesar Rp2.794.123, sedangkan besaran UMK yang telah disepakati 2020 adalah Rp2.004.000. Artinya, masih terjadi defisit pendapatan sebesar Rp790.123.

Oleh karena itu, perwakilan buruh termasuk Irsyad meminta agar upah minimum ditetapkan sesuai dengan KHL. Sebelum upah minimum disepakati beberapa hari lalu pihaknya telah melakukan upaya audiensi dengan pemerintah agar penetapan upah minimum tak lagi berpatokan pada PP Nomor 78 Tahun 2015.

Menurutnya, jika pengupahan hanya berpegang pada PP 78, UMP di Yogyakarta tidak akan mengalami kenaikan signifikan dan tetap menjadi yang terendah di Indonesia.

"Kami menolak dijadikannya PP 78 sebagai dasar pengupahan 2020," kata Irsyad usai audiensi dengan anggota DPRD dan Dinas Tenaga dan Transmigrasi (Disnakertrans) di gedung DPRD Yogyakarta, Jumat (18/10/2019).

Ketua Komisi D DPRD DIY Kuswanto mengatakan seharusnya jika memang buruh ingin menuntut kenaikan UMP yang tidak sesuai dengan PP 78 tahun 2007, sebaiknya dilayangkan gugatan secara resmi.

"Upah minimum itu kan termaktub dalam PP 78. Kalau saya kalau itu memang [ingin] ada hasilnya, monggo bareng-bareng menggugat secara akademik dengan SOP yang benar secara objektif kita menggugatnya ke dewan pengupahan pusat," katanya.

Kepala Bidang Hubungan Industrial dan Perlindungan Tenaga Kerja Disnaker DIY Ariyanto Wibowo mengatakan, PP 78/2007 merupakan rujukan dalam menentukan UMP 2020.

"Kalau kita dari segi pemerintahan itu sudah ada PP 78. Kisaran tiap tahun akan berubah, kalau tahun besok itu antara kisaran 8 persen," kata Ariyanto yang turut menemui perwakilan buruh.

Perubahan kenaikan tersebut sesuai dengan angka inflasi dan produk domestik bruto (PDB) yang nantinya akan diterima Kementerian Tenaga Kerja. Setelah mendapatkan surat maka pihaknya akan langsung membahas dan menentukan UMP.

"Kita akan melakukan penghitungan dengan dewan pengupahan daerah, setelah ada angka nanti akan disampaikan ke Gubernur, lalu nanti ada penetapan," katanya.

Ariyanto mengatakan pihaknya punya waktu sekitar dua pekan lagi untuk melakukan pembahasan terkait UMP 2020. Pada tanggal 1 November 2019 UMP 2020 sudah harus ditetapkan.

Baca juga artikel terkait UMP 2020 atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Maya Saputri