tirto.id - Para pengendara motor yang kedapatan merokok saat menyetir terancam didenda Rp750 ribu. Wacana ini muncul setelah Kemenhub menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 12 Tahun 2019 [PDF]. Aturan ini berisi soal perlindungan keselamatan bagi pengguna motor yang digunakan untuk kepentingan masyarakat seperti ojek online.
“Pengemudi dilarang merokok dan melakukan aktifitas lain yang mengganggu konsentrasi ketika sedang mengendarai sepeda motor,” demikian Pasal 6 huruf c Permenhub 12/2019.
Masalahnya, dalam regulasi yang diteken Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pada 11 Maret 2019 itu tidak menyebut secara spesifik soal besaran denda. Hal ini dikonfirmasi Direktur Antarmode Kementerian Perhubungan, Ahmad Yani.
Menurut Yani, Permenhub 12/2019 yang baru disahkan lembaganya itu memang tidak menyebut secara spesifik nominal tertentu terkait denda bagi pengendara motor yang sambil merokok. Aturan baru itu, kata dia, hanya berisi larangan.
“Enggak ada [sanksi tertulis]. Kami itu cuma melarang pengemudi merokok, tapi enggak ada denda. Itu diserahkan [kepada] yang menilang. Kan itu bisa ditangkap polisi di jalan. Kalau dia tidak konsentrasi, kan, ada aturannya," kata Yani pada Jumat, 29 Maret 2019.
Namun, Kombes Pol Drs. Baharudin dari Korps Lalu Lintas Polri mengatakan kepolisian tak bisa melakukan penegakan hukum berdasarkan aturan yang diterbitkan oleh lembaga lain.
Secara legal, kata dia, jika ketentuan dikeluarkan oleh sebuah lembaga, maka institusi itu yang wajib melakukan penegakannya.
“Jadi dalam kasus ini yang harus melaksanakannya adalah Kemenhub. Namun mereka tidak bisa menilang di jalan. Mereka hanya bisa menilang di jembatan timbang dan terminal. Kecuali dalam pemeriksaan di jalan dilakukan bersama polisi. Meskipun ditemui pelanggaran pada saat ada giat bersama polisi di jalan, pemeriksaan dan penegakan aturannya tetap oleh PPNS Kemenhub, bukan polisi,” kata Baharudin.
Sebab, kata dia, jika kepolisian yang melakukan penegakan hukum, maka tentu akan menyalahi aturan karena norma larangannya diatur dalam Permenhub, bukan UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).
Baharudin justru mempertanyakan sanksi seperti apa yang akan diberikan dalam pelarangan merokok itu, apakah sanksi administrasi atau pidana. Sebab, kata dia, sanksi pidana hanya dapat diatur dalam UU atau Perda. Ia menegaskan sanksi pidana dilarang diatur di luar kedua produk hukum tersebut.
“Jika merokok sesuai UU LLAJ, berkaitan dengan konsentrasi dan bukan dengan larangan dengan Permen. Artinya, sanksi administrasi hanya bisa ditegakkan oleh Kemenhub, tapi lagi-lagi enggak ada sanksinya. Jadi larangan merokok itu tidak perlu diatur dalam Permen, polisi akan menegakkan hukum dengan pelanggaran Pasal 106 UU 22/09,” kata dia.
Lantas, dari mana asal nominal denda sebesar Rp750 ribu yang ramai diperbincangkan usai Permenhub 12/2019 terbit?
Wacana sanksi buat pengendara merokok saat menyetir sebenarnya pernah muncul pada Maret 2018. Namun, saat itu gagal direalisasikan karena menuai kritik dari sejumlah kalangan, salah satunya Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho.
Saat itu, Hibnu mengatakan polisi berpotensi menyalahgunakan wewenang bila melakukan tilang bagi pengendara yang merokok saat berkendara. “Sepanjang tak ditentukan dalam UU, tak bisa ditilang,” kata Hibnu dalam artikel Tirto “Pasal Karet di Larangan Dengar Musik dan Merokok Saat Berkendara.”
Pasal 106 ayat (1) UU LLAJ berbunyi, “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi.”
Bagi pengendara yang melanggar, maka terancam hukuman penjara maksimal tiga bulan dan denda paling banyak Rp750 ribu sesuai Pasal 283 UU yang sama.
Berdasarkan penjelasan Pasal 106 ayat (1) perhatian (konsentrasi) pengendara bisa terganggu karena sakit, lelah, mengantuk, menggunakan telepon, menonton televisi, video yang terpasang di kendaraan, dan mengonsumsi minuman beralkohol/obat-obatan.
Hibnu menjelaskan polisi bisa menilang soal aktivitas merokok saat berkendara bila merevisi Pasal 106 pada UU LLAJ. Cara ini bisa menjadi solusi atas kekosongan hukum atas aturan yang saat itu ramai jadi pembahasan publik.
Jangan Hanya untuk Ojek Online
Sementara itu, pengamat transportasi dari Institute for Transportation and Development Policy (ITDP), Yoga Adiwinarto menilai dalam konteks kendaraan umum, seharusnya peraturan pelarangan merokok sembari berkendara tak hanya berlaku untuk ojek online. Namun, berlaku juga bagi transportasi umum lainnya.
"Jika melihat peraturan itu, berarti, kan, ojol sudah masuk konteks kendaraan umum. Saya pikir harus sama semua kendaraan umum. Termasuk kereta, bus, jadi tak hanya ojol. Karena ini untuk kepentingan penumpang, kita tahu sangat mengganggu sekali, minimal asapnya itu,” kata Yoga saat dihubungi wartawan Tirto, Sabtu (30/3/2019).
Alasannya, kata Yoga, pengendara sepeda motor yang sambil merokok berpotensi menimbulkan kecelakaan. Sebab, kata dia, hal itu bisa membuat konsentrasi pengendara terganggu.
Karena itu, kata Yoga, pelarangan merokok sembari berkendara tak hanya berlaku untuk motor, tapi juga untuk mobil.
“Kalau sembari merokok pengendara motor, bara apinya masuk ke sela-sela jaket, kan, bisa langsung panik dan oleng motornya. Begitu juga ketika pengendara mobil, baranya lepas dan jatuh ke bawa kaki, pasti panik dan enggak fokus nyetir. Kecelakaan potensinya ada,” kata dia.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz