tirto.id - Kalau kamu bertanya pada Lokita Pasaribu mengenai bujet terbesar untuk menggelar pernikahan, ia akan menjawab: menyewa gedung pernikahan.
Lokita mengeluarkan sekitar Rp200 juta untuk menyewa gedung. Acaranya digelar dua hari berturut-turut. Hari pertama adalah pesta adat Batak. Hari kedua giliran resepsi pernikahan yang mengundang teman-teman dan kerabat dari keluarga.
Menurut Lokita, memilih vendor pernikahan haruslah berdasarkan insting dan kenyamanan. Ia memilih tak selalu mengikuti review tentang bujet pernikahan, atau vendor mana yang memberikan servis terbaik. Jika instingnya sudah menjatuhkan pilihan, ia akan mengikutinya. Untuk gedung acara adat, misalnya. Biaya sewanya mencapai Rp85 juta, jauh di atas rencana bujet Lokita.
"Tapi kami merasa nyaman di sana. Di samping itu kedua orangtua saya sudah sepuh dan saya adalah anak perempuan terakhir yang menikah, sehingga kami sepakat memilih tempat terbaik. Uang bisa dicari,” kata Lokita yang menyelenggarakan acara adat di Maria Convention Hall Pulo Gadung, Jakarta Timur.
Resepsi Lokita diselenggarakan di Sari Pan Pacific Hotel, Jakarta Pusat. Hotel itu dipilih karena lokasi yang dianggap cukup strategis bagi para tamu yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya. Dana yang dikeluarkan untuk menyewa area pesta sekitar Rp120 juta. Angka ini disepakati setelah melalui proses tawar menawar panjang.
Ruang pesta yang dipilih ialah area restoran yang menyambung dengan area kolam renang. “Saya muak dengan konsep menikah di dalam ballroom. Saya dan suami ingin acara pernikahan yang ada ‘rasa’-nya. Kami suka dengan alam sehingga memilih tempat bernuansa outdoor dengan banyak tanaman.”
Lokita tak sendiri dalam mengalokasikan bujet besar untuk lokasi pernikahan. Menurut Laporan Hasil Industri Pernikahan 2017 yang dilansir Bridestory, sekitar 39% pasangan mengalokasikan dana terbesar untuk biaya sewa gedung dan katering pernikahan.
Sejak 2016, Bridestory, wedding marketplace pertama di Indonesia, melakukan survei terkait pernikahan. Tujuannya untuk mendapat masukan dari konsumer tentang hal yang dibutuhkan dalam mempersiapkan pernikahan. Persentase hasil penelitian yang menyangkut lokasi dan katering tampak serupa dari tahun lalu.
Hal itu berdampak pada pertambahan vendor-vendor lokasi pernikahan yang memanfaatkan Bridestory sebagai platform untuk memasarkan produknya. Ayunda Wardhani, Editor in Chief Bridestory berkata bahwa pengantin zaman sekarang semakin menginginkan hal praktis, efisien, dan cepat dalam merencanakan acara pernikahan. Menurut Ayunda, banyak pengantin yang tak lagi bergantung pada orangtua dari sisi pendanaan, sehingga mereka punya andil besar dalam mengambil keputusan.
Salah satu perubahan tampak pada pemilihan lokasi. Beberapa tahun belakangan muncul opsi lokasi pernikahan di gedung perkantoran yang menawarkan area semi terbuka dengan pemandangan kota. Lokasi ini makin pas seiring menjamurnya tren fotografi luar ruangan. Beberapa lokasi bagus ini mematok harga terjangkau.
“Restoran turut jadi pemain dalam ranah ini. Sebagian dari mereka membuat area semi terbuka agar bisa digunakan sebagai lokasi pernikahan,” kata Ayunda.
Persentase besar dalam alokasi dana ruang pesta dan makanan tak hanya terjadi di Jakarta. Makalah "The Attributes Influencing Wedding Reception Venue Selection" menyebutkan hal serupa terjadi di Amerika Serikat. Empat puluh persen calon pengantin mengalokasikan 40% dananya untuk pesta resepsi.
Dengan alokasi dana yang besar itu, wajar kalau banyak calon pengantin terkesan cerewet dan perfeksionis dalam memilih lokasi pernikahan. Beberapa pertimbangan yang hampir pasti menjadi acuan adalah: lokasi, akomodasi, kemudahan akses, hingga kenyamanan tempat parkir. Bagi tempat yang sekaligus menyediakan katering, maka kualitas makanan dan minuman pun akan jadi pertimbangan.
Faktor-faktor pemilihan lokasi ini, juga didasari oleh kepribadian, pengalaman, kebutuhan, citra diri, hingga persepsi yang hendak dimunculkan. Maka tak usah heran jika, misalkan, pasangan orang yang suka mendaki gunung akan memilih lokasi luar ruangan, lengkap dengan foto-foto bertema petualangan.
Selain lokasi, katering juga mengambil porsi bujet yang besar. Calon pengantin pasti akan dengan hati-hati dalam memilih menu makanan, dan pasti pula mempertimbangkan perihal harga. Makanan hampir selalu dipacak sebagai inti dari sebuah pesta. Ada banyak anggapan: jika makanan di pesta itu buruk, maka itu adalah pesta yang gagal. Sehingga tak perlu heran kalau bujet untuk katering termasuk salah satu yang terbesar.
“Jenis makanan di pesta pernikahan sekarang lebih bervariasi. Dulu variasi dilakukan lewat stall atau pondokan nasi yang wajib ada di pernikahan orang Indonesia. Sekarang muncul berbagai kudapan berbentuk canape. Ada pula tumpeng mini di dalam pernikahan,” kata Ayunda.
Pebisnis katering pernikahan terus melakukan inovasi untuk menarik hati konsumen. Ini salah satunya dilakukan oleh Al’s Catering. Avanda Hanafiah dan Allesandra Hanafiah, pemilik katering, bercerita setidaknya mereka meluangkan waktu sekali dalam setahun untuk berlibur dan mencari inspirasi makanan.
Tiga minggu lalu Avanda menciptakan menu Happy Meal untuk pesta pernikahan. “Saya membayangkan konsep fast food. Tamu pesta seolah sedang membeli makanan. Kami akan memberi mereka burger, kentang, dan churros dalam kemasan berwarna hitam putih,” kata Avanda. Ada klien yang akan memesan menu ini untuk acara pernikahan beberapa bulan ke depan.
Lima tahun terakhir Al’s merasakan persaingan yang cukup ketat dari sesama pebisnis katering. Taktik mereka untuk bisa tetap bertahan adalah dengan memperbanyak variasi jenis makanan, dekorasi, dan servis. Mereka mempekerjakan desainer interior pernikahan dan ahli tata bunga.
"Jadi cara penyajian makanan akan disesuaikan dengan tema pesta pernikahan," ujar Avanda.
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Nuran Wibisono