tirto.id - Musik Dream Theater, bagi saya, adalah tentang presisi. Komposisi mereka mengandalkan ketepatan dan kecermatan dengan tingkat nyaris sempurna. Malam itu (10/8), di tengah udara Solo yang sedang gerah, band yang dibentuk di Boston itu memperlihatkan mengapa mereka disebut sebagai salah satu raksasa rock progresif.
Mereka naik panggung tepat pukul delapan malam, sesuai jadwal. Penonton yang sudah masuk dan menunggu selepas adzan Maghrib usai berkumandang, menyambut mereka dengan teriakan kencang-kencang dan devil horn teracung di udara.
“The Alien” langsung digeber. Dengan intro drum rumit, terutama kencang di bagian simbal dan tom, ini lagu yang tegas memperlihatkan betapa vital permainan Mike Mangini di Dream Theater kiwari. Rasanya, lewat lagu ini, Mangini mungkin sudah perlahan lepas dari bayang-bayang pendahulunya, Mike Portnoy.
Lagu sepanjang lebih dari sembilan menit ini terdengar megah. Meski, bagi saya, lagu yang bercerita tentang pencarian planet bagi umat manusia di masa depan ini adalah karpet merah bagi Mangini, semua kebagian porsi pas. Dan ketika dimainkan di atas panggung, lagi-lagi, mereka nyaris tak memberi ruang bagi kesalahan sekecil apa pun. Saya jadi paham kenapa akhirnya Dream Theater mendapatkan Grammy Award pertama mereka lewat lagu ini.
Malam itu, Dream Theater tak banyak berkomunikasi dengan penonton —seperti yang sudah-sudah. Usai “The Alien” tuntas, mereka langsung memainkan “6:00” dari album ketiga mereka, Awake (1994). Setelah sempat menyapa penonton sejenak, tak sampai lima menit, mereka langsung tancap gas lagi lewat “Awaken the Master”
Total ada 10 lagu yang dimainkan oleh John Petrucci (gitar), James LaBrie (vokal), John Myung (bass), Jordan Rudess (keyboard) dan Mangini. Semua personel Dream Theater, lagi-lagi bermain nyaris tanpa cela. Tak ada not yang terlewat. Atau kalaupun ada yang begitu, rasa-rasanya tak ada yang ngeh mengingat betapa rapat dan rumitnya musik mereka.
Meski semua personel Dream Theater punya kharisma sama besar, tapi selama konser perhatian saya khusus tertuju pada dua personel: Myung dan Mangini.
Myung, the cool and silent man, nyaris seperti penjaga pos perbatasan yang tabah. Ia jarang beranjak dari posisinya di sayap kiri panggung. Sesekali memang ia pergi ke tengah, untuk berjumpa dengan Petrucci dan LaBrie, lantas kembali lagi ke posisinya. Tak seperti Petrucci yang lebih atraktif dan berkali-kali menggoda penonton untuk berteriak melalui gestur dan teknik permainannya, Myung memilih untuk menunduk dan fokus dengan musik serta menghayati kesunyian dunianya.
Sedangkan Mangini menunjukkan betapa staminanya gila betul. Dua jam penuh dia menggebuk drum dengan dua pedal. Tangannya hampir tak berhenti bergerak, naik turun, menjelajah set drum di kanan kiri. Sepanjang 120 menit itu pula, energinya tetap terjaga dan seperti tak kehabisan bensin.
Monster!
Solo Menjadi Kota Rock Lagi?
Sesaat usai Rajawali Indonesia mengumumkan tanggal konser Dream Theater di Solo, saya melihat mereka melakukansetidaknya dua pertaruhan.
Pertama, soal konser yang diadakan pada hari Rabu. Itu hari kerja, dan sungguh bikin dilema bagi para penonton cum pekerja yang berasal dari luar kota. Saya sempat menduga jumlah penonton akan ada di kisaran 5.000 sampai 7.000 saja, mengingat ada banyak orang yang mungkin tak bisa ambil cuti di hari yang nanggung ini.
Namun ketika melihat setidaknya ada dua kawan datang dari luar kota —satu adalah pengusaha bakmi dari Jember, satu lagi adalah PNS di Jakarta— dugaan saya sepertinya salah. Apalagi setelah ngobrol dengan beberapa penonton ketika mereka menunggu pintu menuju venue dibuka. Banyak dari mereka adalah pekerja luar kota, dan memilih untuk sejenak meninggalkan pekerjaan demi band yang sempat merencanakan konser di Jakarta pada 2020 ini.
“Cuti ada 12 hari setahun, tapi belum tentu Dream Theater bisa ke sini lagi dalam waktu dekat,” ujar salah satu penonton yang saya ajak ngobrol.
Di sini, Rajawali Indonesia memenangkan perjudian pertama. Apalagi setelah saya dengar selentingan dari mereka, bahwa jumlah penonton mencapai 10.000 orang. Ini jelas menang besar.
Pertaruhan kedua: lokasi.
Sebenarnya sejak dulu kota Solo punya akar musik rock yang kuat, turut menjadi salah satu episentrum musik rock di Jawa. Dari generasi peletak batu pondasi seperti Ternchem dan Destroyer, diikuti oleh Kaisar yang menelurkan “Kerangka Langit” di era festival Log Zhelebour, hingga band dari era yang lebih muda seperti Down for Life, Paranoid Despire, Sworn, dan Eden Advesary.
Kota Solo juga pernah punya festival rock tahunan skala internasional, Rock in Solo, yang dimulai sejak 2004, tapi karena satu dan lain hal berhenti di 2015 silam. Padahal festival ini termasuk salah satu event tahunan yang ditunggu banyak pecinta musik rock dan metal.
Setelah vakumnya Rock in Solo, bisa dibilang kota ini nyaris sepi dari konser rock dan metal berskala besar. Karena itu pemilihan lokasi di Solo bagi sebuah band sebesar Dream Theater adalah bentuk perjudian. Apakah konser rock skala besar berhasil diadakan di Solo?
Namun, mengingat penyelenggara acara ini adalah Rajawali Indonesia, yang pernah memboyong Europe dari Swedia menuju Boyolali, saya tak heran lagi. Promotor asal Yogyakarta ini memang dikenal punya ide-ide unik tapi terbukti berhasil. Ini termasuk pemilihan lokasi yang beragam, mulai dari kompleks candi, hingga tebing batu raksasa.
Lalu, apakah pertaruhan kedua soal lokasi ini berhasil?
Saya berani bilang iya. Ada beberapa indikasi yang menunjukkannya.
Hari itu, saya melihat Solo penuh lautan orang berbaju hitam dan juga kaos Dream Theater. Siang hari, saya sempat makan di salah satu warung sate kambing masyhur. Isinya, ya para penonton konser ini. Lewat jam 12 malam, usai konser, saya datang ke penjual nasi liwet langganan, dan kondisinya sama: penuh oleh para penonton konser yang tampak lelah tapi mukanya berbinar.
Ini adalah efek domino pariwisata musik: semua ikut kecipratan datangnya penonton konser. Ini belum menghitung serius berapa tingkat okupansi hotel, pemasukan dari pajak, hingga pendapatan para tukang parkir hingga penjual merchandise yang menggelar lapak di depan stadion.
Dream Theater juga tampak terkesan dengan berjalannya konser mereka di Solo yang lancar dan nyaris tanpa aral apa pun. Usai konser, mereka mengunggah beberapa foto di akun Instagram mereka, dengan takarir, “A magical night in Indonesia”.
Pertaruhan kedua ini juga mungkin akan membawa efek lain bagi Solo. Setelah terbukti mampu jadi lokasi konser internasional lagi, Solo bisa jadi akan mulai perlahan membentuk citra sebagai salah satu kota event musik di Indonesia.
Sebagai sebuah kota, Solo punya aksesibilitas bagus. Menuju kota ini bisa dicapai dengan naik pesawat, kereta, maupun bus dengan berbagai kelas.Amenitas seperti hotel, tempat makan, rumah sakit, hingga tempat oleh-oleh, juga terjamin, mengingat Solo juga sering mengadakan event-event berskala besar dan internasional.
Untuk tempat konser, terutama sekelas festival dan konser internasional, Solo juga punya Stadion Manahandengan kapasitas seating sebanyak 20 ribu kursi, dan bisa jadi lebih besar jika lapangan turut dipakai. Untuk izin penggunaan stadion untuk konser juga sudah dipersilakan untuk dipakai oleh Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka.
“Kemarin kan yang dipakai untuk konser itu di parkirannya. Kalau mau pakai bagian dalam, silakan saja, asal jadwalnya tidak bentrok,” ujarnya.
Upaya untuk membentuk kembali citra Solo sebagai kota event musik rock dan metal juga akan semakin menemukan momentumnya lewat gelaran Rock In Solo yang akan diadakan pada 30 Oktober 2022. Ini festival yang ditunggu oleh banyak orang. Lewat namanya, festival ini sejak awal juga punya keterikatan erat dengan kota Solo.
Di luar konser Dream Theater dan Rock In Solo, saya juga sempat dengan kabar bahwa akan ada satu band rock legendaris dunia yang konser di Solo dalam waktu dekat.
Solo akan menjadi kota rock (lagi)? Mari kita tunggu dengan sabar.
Editor: Rio Apinino