tirto.id - DPR mengklaim larangan media menayangkan konten atau siaran eksklusif jurnalisme investigasi yang termaktub dalam Pasal 50 B Ayat 2 butir c pada draft RUU Penyiaran, untuk meminimalkan dampak dari produk jurnalistik itu.
Hal itu disampaikan Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, setelah gelombang kritik dari insan pers dan pegiat jurnalisme dialamatkan kepada DPR RI. RUU Penyiaran itu dinilai memberangus kebebasan pers.
Politikus Partai Gerindra itu menuding ada produk jurnalisme investigatif yang 'separuh benar'. Namun, Dasco tak menjelaskan produk jurnalisme investigatif yang dimaksud.
"Seharusnya nggak dilarang, tapi impact-nya gimana caranya kita pikirin. Kadang-kadang nggak semua, kan, ada juga yang sebenarnya hasil investigasinya benar, tapi ada juga yang kemarin kita lihat juga investigasinya separuh benar. Jadi, kita akan bikin aturannya, supaya sama-sama jalan dengan baik," kata Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (14/5/2024).
Dasco mengaku pihaknya akan berkonsultasi dengan sejumlah elemen masyarakat untuk menyempurnakan RUU Penyiaran. Terutama, kata dia, dengan media massa agar jurnalisme investigatif tetap berjalan dan dampaknya bisa diantisipasi.
"Mengenai investigasi-investigasi, ya, namanya juga hal yang dijamin Undang-Undang, ya mungkin kita akan konsultasi dengan kawan-kawan bagaimana caranya supaya semua bisa berjalan dengan baik, haknya tetap jalan, tetapi impact-nya juga kemudian bisa diminimalisir," tutup Dasco.
Pelarangan konten eksklusif jurnalisme investigasi dibatasi karena dianggap menggangu penyelidikan dan penyidikan aparat penegak hukum.
Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), Ade Wahyudin, memandang, alasan DPR itu sebagai hal yang lucu. Pasalnya, keduanya memiliki mandat dan fungsi masing-masing dan tidak saling berbenturan.
“Secara mandat berbeda. Polisi [diatur] berdasarkan UU Kepolisian dan pers berdasarkan UU Pers. Keduanya memiliki level setara, dan tidak seharusnya menegasikan,” kata Ade kepada reporter Tirto.
Dia juga menyatakan, RUU Penyiaran bila melarang jurnalistik investigasi, maka sama saja membatasi kebebasan pers yang dijamin UU Pers. Ade mendesak DPR melakukan evaluasi terhadap draf RUU Penyiaran dengan mencabut pasal yang bertentangan dengan UU Pers. Selain itu, harus membuka partisipasi publik untuk memberikan masukan-masukan terhadap penyusunan RUU Penyiaran.
Pembungkaman Pers
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia juga menolak RUU Penyiaran. Sebab, kehadiran Pasal 50 B ayat (2) butir c melarang media menayangkan konten atau siaran eksklusif jurnalisme investigasi. Menurut AJI, beleid yang sedang digodok DPR ini akan membungkam pers.
Ketua Umum AJI Indonesia, Nani Afrida, mengatakan, jurnalisme investigasi merupakan produk jurnalistik dengan kasta tertinggi. Pembuatan produk jurnalistik ini juga tidak mudah karena membutuhkan waktu lama.
“Pembungkaman pers. Itu sudah pasti agak aneh, ya, masa jurnalisme paling tinggi [yaitu] investigasi dilarang,” kata Nani terheran-heran saat dihubungi Tirto, Senin (13/5/2024).
Jurnalis perempuan asal Aceh itu menegaskan, pembuatan karya jurnalisme investigasi tidak sembarangan. Banyak masyarakat yang menunggu produk investigasi jurnalistik tersebut.
Sejak awal, kata dia, AJI menolak dan mempermasalahkan pasal itu. AJI memandang pasal itu harus dihapus, sebab tidak ada dasar bagi DPR untuk membungkam kebebasan pers dalam menjalankan kegiatan jurnalistik.
“Kami anggap enggak ada dasarnya, kemarin ada pernyataan anggota dewan mengganggu penyelidikan aparat keamanan, enggak ada hubungannya,” tegas Nani.
Menurut Nani, aparat penegak hukum bekerja dengan cara sendiri, pun dengan wartawan yang bekerja dengan memegang teguh dan patuh pada UU Pers. Selama ini, AJI menilai kerja-kerja wartawan justru membantu kerja penyidikan aparat penegak hukum.
“AJI melihat pasal ini jangan ada, itu mengganggu banget,” sebut Nani.
Hambat Kualitas Jurnalistik
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu menilai larangan berita investigasi bertentangan dengan mandat Pasal 4 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Menurut dia, produk jurnalisme investigasi merupakan ciri khas karya jurnalis profesional.
"Karena kita sebetulnya dengan UU 40 tidak lagi mengenal penyensoran, pembredelan, dan pelarangan-pelarangan penyiaran terhadap karya jurnalistik berkualitas," tutur Ninik di kantor Dewan Pers, Jakarta Pusat, Selasa (14/5/2024).
Ninik mengatakan, Dewan Pers menilai revisi UU Penyiaran bakal melunturkan independensi perusahaan media. Lalu, imbas revisi UU Penyiaran tersebut, perusahaan media tak akan lagi memproduksi karya jurnalistik yang berkualitas.
Menurut dia, jika independensi perusahaan media terus diintervensi, produk jurnalistik bakal semakin memburuk hingga memengaruhi para jurnalisnya.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Anggun P Situmorang