tirto.id - Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Junimart Girsang menjelaskan bahwa pihaknya telah menerima surat presiden untuk menindaklanjuti pembahasan 3 Rancangan Undang-Undang (RUU) Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua. Rancangan DOB meliputi 3 wilayah yaitu Papua Tengah, Papua Selatan dan Papua Kepulauan Tengah.
“Info terbaru, surat presiden untuk pembahasan RUU DOB di Papua diterima DPR RI pada 12 April 2022. Komisi II menunggu penugasan dari Badan Musyawarah (Bamus) DPR untuk memulai pembahasan," kata Junimart dalam rilis tertulis pada Kamis (19/5/5/2022).
Politikus PDI Perjuangan itu mengungkapkan, Komisi II telah menyusun Panitia Kerja (Panja) yang bertugas dalam proses pembahasan ketiga RUU itu. Panja akan dibagi menjadi 3 berbasis pada masing-masing wilayah, yaitu: Panja RUU Papua Tengah, Panja RUU Papua Selatan, dan Panja RUU Papua Kepulauan Tengah.
Oleh karena itu, menurut Junimart, jika sewaktu-waktu penugasan dari Bamus DPR RI diterima, pihaknya segera memulai pembahasan.
"Persiapan sudah. Sambil menunggu penugasan dari Bamus, kami sudah membentuk panja. Tinggal sekarang ini menunggu penugasan dari Bamus saja," jelasnya.
Majelis Rakyat Papua mengingatkan pemerintah dan DPR agar tidak tergesa-gesa membahas 3 RUU pembentukan DOB di Provinsi Papua. Hal itu dikarenakan imbas sosial pada masyarakat di ujung timur Indonesia itu.
"MRP mendesak pimpinan DPR RI agar tidak tergesa dalam membahas tiga RUU Pembentukan DOB di Provinsi Papua," ucap Ketua MRP Timotius Murib, via keterangan tertulis, Rabu, 18 Mei 2022.
Ketergesaan pembahasan juga bisa menimbulkan memburuknya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah pusat maupun daerah.
MRP berharap DPR dan presiden tidak mengabaikan aspirasi masyarakat Papua. MRP khawatir bila pendapat ini tidak direspons oleh pengambil kebijakan maka benturan sosial di tingkat bawah dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap negara akan terus meningkat.
Sejak 2014, pemerintah masih melaksanakan moratorium DOB hingga hari ini. Khusus untuk Papua, tiga tahun belakangan ini pemerintah pusat mewacanakan pemekaran dan rakyat cenderung tidak menerima ide tersebut.
Penolakan itu sejalan dengan penerapan moratorium. Rencana pemekaran di sana diawali dengan revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua –kini menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021--, revisi tersebut tidak berkonsultasi dengan rakyat Papua melalui Majelis Rakyat Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua.
Revisi ini telah melanggar Pasal 77 UU Otsus lama. Kemudian, selain menyertakan suara rakyat Papua, Pasal 76 ayat (2) UU Otsus baru menegaskan “Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dapat melakukan pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi daerah otonom untuk mempercepat pemerataan pembangunan peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat, serta mengangkat harkat dan martabat Orang Asli Papua.”
Lalu “kewenangan” pemerintah pusat diperkuat lagi pada ayat (3), yang berbunyi “Pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tanpa dilakukan melalui tahapan daerah persiapan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai pemerintahan daerah.”
Berkaitan dengan revisi UU Otsus, Wakil Ketua I Majelis Rakyat Papua Yoel Luiz Mulait menuturkan pemerintah turut mengabaikan Pasal 18A dan Pasal 18B Undang-Undang Dasar 1945.
“Artinya aspirasi rakyat melalui MRP tidak diakomodasi, pemerintah secara sepihak menetapkan perubahan tersebut,” kata dia dalam diskusi daring, Kamis, 24 Maret 2022.
Sementara, soal DOB, rakyat Papua tak menyambut dengan sukacita, malah ‘merayakannya’ dengan demonstrasi penolakan. “Untuk DOB, kami minta supaya (pemerintah) menunggu putusan Mahkamah Konstitusi karena kami ajukan judicial review terhadap perubahan UU Otsus yang (diputus) secara sepihak.”
Penulis: Irfan Amin
Editor: Fahreza Rizky