tirto.id - Baru-baru ini, seorang aktivis yang kerap mengkritik pemerintah Jawa Barat berakhir mendapat serangan digital, ancaman, hingga kekerasan berbasis gender online (KBGO) pasca fotonya ditempel tanpa izin oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Pemprov Jabar). Padahal, kritik merupakan hak konstitusional warga negara.
Serangan dan ancaman ini bermula ketika unggahan Neni Nur Hayati di TikTok menyedot atensi pemerintah. Klip yang diunggah Neni bertanggal 5 Mei 2025 itu menyinggung soal pengerahan anggaran pemerintah untuk buzzer (pendengung) dan maraknya fenomena kepala daerah yang melakukan pencitraan berlebihan.
Neni menarasikan fenomena itu dengan mengutip liputan Harian Kompas. Dalam unggahannya ia sama sekali tak menyebut nama Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, secara khusus. Namun begitu, pada Selasa (15/7/2025), Dedi memberikan klarifikasi soal anggaran media dan pengerahan buzzer lewat akun Instagram pribadinya @dedimulyadi71.
Dedi menambahkan takarir “terima kasih atas kecurigaannya. Salam untuk mbak yang berkerudung”. Video Dedi itu lantas mengundang komentar warganet dan “fans” KDM, serta ada pula yang menyematkan akun Instagram Neni di kolom komentar klip tersebut.
Berselang sehari, pada Rabu (16/7/2025), foto Neni dari video aslinya terpampang di unggahan akun Instagram @diskominfojabar yang dikelola Dinas Komunikasi dan Informatika Pemprov Jabar. Unggahan itu berkolaborasi dengan akun @jabarprovgoid, @humas_jabar, dan @jabarsaberhoaks, dan turut menampilkan cuplikan Dedi.
Buntut unggahan KDM dan akun-akun resmi pemprov itu, akun Instagram dan TikTok Neni dibanjiri hujatan dengan kata-kata kasar secara bertubi-tubi. Neni juga mendapat kekerasan verbal dan ancaman disiram air keras dari warganet. Serangan masif dan kekerasan itu tak sebatas diucap lewat komentar, tapi juga diterima Neni lewat pesan langsung.
“Saya tentu sangat menyayangkan langkah Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang mem-posting foto saya tanpa seizin, menafsirkan secara sepihak, menghakimi dan disebarluaskan melalui akun resmi Diskominfo. Alih-alih memberikan ruang untuk kebebasan berpendapat, yang terjadi justru mematikan ruang kebebasan itu dengan tindakan represif, padahal kita sudah berpuluh-puluh tahun melangkah dari runtuhnya rezim Orde Baru,” kata Neni lewat keterangan yang dikutip Tirto, Selasa (29/7/2025).
Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia itu menyayangkan belum adanya klarifikasi atau permohonan maaf secara resmi dari pihak Pemprov Jabar atas penayangan foto dan identitas pribadinya di akun-akun resmi Instagram. Padahal, Neni mengaku telah melayangkan somasi terhadap penayangan tak berizin ini sejak Senin (21/7/2025).
Meskipun unggahan yang menayangkan dirinya telah diturunkan di semua akun, menurut Neni, seharusnya permohonan maaf tetap disampaikan sebagai bagian dari jawaban atas somasi yang dilayangkan.
Kepada Tirto, Kepala Dinas Kominfo Jabar, Adi Komar, menyatakan pihaknya sedang dalam proses menjawab somasi dan memastikan unggahan konten media sosial yang dimaksud sudah di-take down.
“Karena pada prinsipnya tidak ada maksud atau itikad buruk seperti yang dituduhkan. Pemda Provinsi Jabar mengedepankan proses musyawarah demi kebaikan bersama dan perbaikan yang berkelanjutan dalam proses komunikasi publik,” ujar Adi lewat keterangan tertulis, Selasa (29/7/2025).
Cerminan Watak Otoritarian
Menurunkan unggahan yang memuat doxing atau menyebarkan identitas pribadi tanpa persetujuan adalah satu keharusan. Akan tetapi, apa yang dialami Neni mencerminkan bagaimana pemerintah kini terlalu takut terhadap kritik dan menganggap kritik masyarakat sebagai ancaman.
Alih-alih menjamin terpenuhinya hak warga, pemerintah justru melakukan kekerasan dan memfasilitasi eskalasi serangan digital. Pemerintah juga seolah mematikan ruang berekspresi yang dijamin oleh UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan.
Pakar komunikasi politik Universitas Padjadjaran (Unpad) Kunto Adi Wibowo, menilai, fenomena ini melanggar privasi dan menunjukkan watak otoritarian dan antikritik dari pemerintahan di Jawa Barat.
“Kalau doxing ini kan bahayanya begini. Orang jadi tahu identitas pribadi kita walaupun mereka berargumen, kita gak nyebutin nama kok, kita gak nyebutin alamat kok. Ya wajah kita sendiri adalah bagian privasi yang sebenarnya harus dilindungi,” kata Kunto ketika dihubungi jurnalis Tirto, Selasa (29/7/2025).

Padahal, sangat sah dan wajar ketika warga mengkritik kepala daerahnya. Menurut Kunto, sangat wajar bagi seorang aktivis demokrasi untuk melihat secara kritis peruntukan anggaran besar di pemerintahan.
“Pemimpin daerah ini punya basis fandom atau fans, yang juga punya perilaku yang sangat toksik di media sosial. Akhirnya itu dimanfaatkan baik sengaja maupun tidak sengaja oleh pemimpin daerah untuk kemudian membungkam kritik, untuk kemudian menakuti warga yang tidak setuju dengan kebijakan-kebijakan mereka atau sikap-sikap mereka dan ini kan sangat berbahaya bagi demokrasi kita,” lanjutnya.
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) dalam “Laporan Situasi Hak-Hak Digital Indonesia” bahkan mencatat, pada 2024, ada sekira 146 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi dengan jumlah terlapor atau korban mencapai 170 orang. Jumlah korban itu meningkat ketimbang tahun sebelumnya sebanyak 126 orang.
Berdasarkan latar belakang korban terlapor, mayoritas adalah warganet, disusul pembuat konten, atlet, organisasi masyarakat sipil, dan aktivis. Meski ungkapan kritik Neni tak berujung dijerat hukum, kejadian ini tentu bisa menimbulkan ketakutan terhadap publik.
“Ini menunjukkan bahwa bagaimana banyak sekali pihak-pihak yang masih antikritik dan memanfaatkan situasi ini untuk melakukan gerakan ataupun reaksi yang bisa menimbulkan chilling effect atau efek jera kepada publik sehingga harapannya mungkin dengan counter dari kritik tersebut dalam bentuk misalnya serangan digital itu bisa membuat publik enggan bersuara gitu ya, melakukan self-censor, dan itu yang mereka harapkan ya, kalau saya lihat,” ungkap Direktur Eksekutif SAFEnet, Nenden Sekar Arum.
Nenden berharap, pengalaman Neni bisa membuat masyarakat tetap berani bersuara, dengan diiringi mitigasi risiko. Hal itu mengingat keselamatan digital masih menjadi tantangan bagi masyarakat sipil atau aktivis.

“Mungkin sekarang tantangannya tidak hanya keselamatan fisik ya, tapi bagaimana keselamatan digital yang sebetulnya itu juga bisa berdampak atau dieskalasi terhadap keselamatan fisik. Jadi ini merupakan risiko yang dihadapi sehari-hari sebetulnya oleh masyarakat atau masyarakat sipil atas keberanian mereka untuk mengkritik pemerintah,” lanjut Nenden.
Pasal 28E ayat (3) dan 28 F Undang-Undang Dasar 1945 sebenarnya sudah melindungi hak-hak kebebasan berekspresi terhadap warga negara, di mana setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Setiap orang juga berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
“Tapi kan yang selalu menjadi masalah itu dalam konteks implementasinya di lapangan. Regulasi mungkin ada, tapi kan sekali lagi, percuma ada regulasi, kalau misalnya implementasinya 0 besar gitu. Jadi masih sangat mungkin tidak ada perlindungan yang cukup gitu ya bagi para aktivis misalnya atau perempuan disini yang spesifik ketika mengalami serangan-serangan digital karena sebagai akibat misalnya dari vokalnya mereka ya dalam mengkritik kebijakan publik,” kata Nenden.
Pemerintah Harus Punya Kesadaran dan SOP Privasi
Sayang, pemerintah kita masih kerap mewajarkan pengungkapan identitas pribadi, yang sebenarnya merupakan pelanggaran privasi. Kunto mendorong pemerintah untuk punya punya kesadaran dan standar privasi yang harus ditegakkan. Dengan demikian, hal itu bisa memberikan contoh kepada warga.

“Dan pengelola media sosial di pemerintah juga harus punya kesadaran tinggi tentang privasi ini. Sehingga tidak menimbulkan resiko-resiko terutama bagi warga negaranya sendiri, kan pemerintah harusnya yang melindungi. Ini kok malah mengumbar dan bahkan melanggar privasi orang gitu,” katanya.
Lebih jauh, Kunto juga menekankan pemerintah untuk bisa merespons kritik dan menanggapi somasinya. Kalau salah sebaiknya mengakui kesalahan, lalu minta maaf dengan proper. Dedi Mulyadi juga disebut Kunto bisa melakukan ajakan kepada pendukungnya untuk tidak melakukan kekerasan baik itu verbal, bahkan ancaman, kekerasan, pembunuhan terhadap warga negara.
“Karena itu sebenarnya juga masuk ranah pidana kan, bisa dipidanakan. Jadi Dedi Mulyadi yang katanya tegas itu, ya harus tegas kepada pendukungnya, gitu. Jangan tebang pilih dan menurut saya somasi dari Teh Neni ini harus segera direspons,” ungkapnya.
Kasus ini harus segera ada jalan keluar dan mesti diselesaikan secara baik, sehingga tidak menjadi preseden buruk bagi pemerintahan Dedi Mulyadi kedepannya. Jangan sampai pemerintah justru mencontohkan hal buruk kepada masyarakat dan melanggengkan represi.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty
Masuk tirto.id


































