tirto.id - Selama bertahun-tahun, Olimpiade Sains Nasional (OSN) sudah menjadi ajang adu talenta bergengsi yang menjadi target siswa dari berbagai tingkatan, baik SD, SMP, hingga SMA.
Bukan hanya uang jutaan rupiah dan secarik sertifikat yang mereka incar, ajang ini juga menjanjikan reputasi dan kredibilitas bagi para siswa serta sekolah asal mereka.
Tahun 2025, antara 19-21 Agustus, kompetisi ilmu pengetahuan tingkat nasional itu masuk ke tahap penyaringan tingkat provinsi. Namun, seiring perkembangan zaman, tantangan untuk menjadikan ajang itu tetap kredibel itu menjadi tantangan tersendiri.
Integritas OSN tengah dipertanyakan belakangan. Pasalnya, sejumlah peserta OSN tingkat kabupaten/kota atau OSN-K diduga melakukan tindakan curang agar mampu meloloskan diri ke tahapan selanjutnya.
Salah seorang alumnus OSN tahun 2001, yang juga seorang pakar akal imitasi (artificial intelligence, AI), Ainun Najib, memantau dugaan kecurangan itu dan merangkumnya dalam gerakan KawalOSN.
Lewat akun media sosial X pribadinya, Ainun menyatakan rasa keprihatinan terhadap para peserta OSN-K yang tidak lolos pada tahun ini, karena diduga telah tergeser oleh para peserta yang melenggang ke babak selanjutnya dengan perilaku curang.
“Turut berduka cita untuk adik-adik yang seharusnya lolos mengikuti OSN-Provinsi minggu ini, tapi tergeser oleh [peserta] yang curang menggunakan AI,” begitu bunyi cuitan Ainun dalam akun X pribadinya pada Selasa (19/8/2025) lalu.
turut berduka cita untuk adik-adik yang seharusnya lolos mengikuti OSN-P minggu ini tapi tergeser oleh yang curang menggunakan AI
— Ainun Najib (@ainunnajib) August 19, 2025
💔
contoh ringkas: https://t.co/V4jV68JwtV
data mentah: https://t.co/J7QYyKAEozhttps://t.co/iDdgfJ25b1
Ragam dugaan kecurangan; mengerjakan soal di luar sekolah, mengerjakan bersama, dan menggunakan AI
Dalam dokumen laporan yang dirilis oleh KawalOSN, sejumlah bukti dugaan kecurangan yang dilakukan para peserta OSN-K ditampilkan.Salah satu contoh kecurangan yang ditemui KawalOSN adalah penggunaan AI dalam menjawab soal-soal yang diuji dalam pelaksanaan OSN-K. Beberapa soal yang diuji itu terbukti telah diunggah ke situs studyx.ai, sebuah platform pembantu pekerjaan rumah (PR) berbasis AI.
Terlihat di situs itu, sebuah foto dari soal ujian dari mata pelajaran kimia yang diduga diunggah oleh salah seorang peserta OSN-K. Di bawah unggahan foto itu juga telah tersedia jawaban yang dihasilkan oleh AI.
KawalOSN juga mendapatkan sebuah rekaman layar konten Instagram Story salah seorang peserta OSN-K dari tingkat SMA sederajat yang mencurigakan. Dalam video para peserta tengah berkumpul di suatu tempat untuk mengerjakan soal secara serentak sambil membuka telepon seluler (ponsel).
Selain menemukan sejumlah bukti dugaan kecurangan, KawalOSN juga menemukan anomali pada data siswa yang berhasil lolos ke tahapan selanjutnya, yakni OSN tingkat Provinsi (OSN-P). Beberapa sekolah unggulan yang secara konsisten meluluskan banyak siswa pada tahun-tahun sebelumnya, pada tahun ini justru mengalami penurunan drastis pada jumlah siswa yang berhasil lolos.

Seperti contoh di Kabupaten Toba, Sumatera Utara, SMAS Unggul DEL—sekolah yang didirikan oleh Luhut Binsar Panjaitan, pada tahun ini mengalami penurunan drastis dalam jumlah siswa yang lolos ke OSN-P. Pada tahun 2023 dan 2024, sekolah itu berhasil meloloskan 14 dan 20 siswa. Namun, pada tahun ini, SMAS Unggul DEL hanya mampu meloloskan 10 siswa saja.
Sementara SMAN 2 Balige, Toba, Sumatera Utara, yang pada tahun lalu mampu meloloskan 13 siswa, tahun ini hanya meloloskan enam siswa.
Sebaliknya, sekolah-sekolah yang sebelumnya tidak pernah atau jarang meloloskan siswa, tahun ini mendadak mengalami peningkatan. SMAN 1 Siantar Narumonda misalnya. Selama dua tahun ke belakang, mereka tidak mampu meloloskan satu siswa pun untuk melangkah ke OSN-P. Namun, pada tahun ini, jumlah siswa dari sekolah itu yang bisa lolos mencapai 12 siswa.
Kondisi serupa juga terjadi di Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB). SMAN 2 Dompu, yang pada tahun 2023 sama sekali tidak meloloskan siswa dan pada tahun 2024 hanya meloloskan satu siswa, pada tahun ini mampu meloloskan sebanyak 15 siswa.
Sedangkan di Kota Pekanbaru, Riau, SMAN 15 Pekanbaru yang dua tahun berturut-turut absen mengirimkan siswa ke OSN-P, tahun ini bisa mengirimkan 13 siswanya.
Contoh lain lagi terkait anomali di tingkat kabupaten. di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, terjadi peningkatan lebih dari dua kali lipat dalam jumlah siswa yang lolos ke tingkat provinsi. Pada tahun 2023, hanya ada 12 siswa dari kabupaten itu yang lolos. Peningkatan sempat terjadi di tahun 2024, saat 23 siswa berhasil lolos. Di tahun 2025 ini, lonjakan drastis terjadi saat jumlah siswa yang berhasil lolos mencapai 40 siswa.
Situasi ini dikhawatirkan akan menggerus kepercayaan masyarakat terhadap OSN yang selama ini dinilai sebagai ajang perlombaan bergengsi. Perlombaan yang diselenggarakan oleh Balai Pengembangan Talenta Indonesia Pusat Prestasi Nasional (BPTI Puspresnas) Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) itu diharapkan bisa melakukan pembenahan sistem agar dugaan kecurangan seperti itu tidak terulang lagi ke depannya.
“Pengawasan harus lebih diperketat dan pelaksanaan di lokasi netral, seperti penggunaan kamera dua device untuk tiap siswa dan juga pengawas dari pihak yang netral (bukan guru sekolah),” begitu tulis KawalOSN dalam dokumen laporannya, dikutip pada Kamis (21/8/2025).
Pengawasan yang Tidak Objektif
Dewan Pakar Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Suparno Sastro, menyebut inti persoalan kecurangan itu terletak pada lemahnya pengawasan silang. Ia menilai, jika peserta bisa dengan mudah mengakses AI selama ujian, maka ada implementasi aturan yang tidak konsisten di lapangan.
Menurutnya, konsep ujian berbasis daring sejak awal memang membuka celah terjadinya penyalahgunaan teknologi.
“Pengawasan silang itu kan dimaksudkan supaya memang tidak ada subjektivitas dalam proses pengawasannya,” kata Suparno saat dihubungi Tirto pada Kamis (21/8/2025).
Ia menegaskan, bila pengawasan berjalan sesuai prosedur, praktik curang mestinya tidak akan terjadi. Dalam pandangannya, OSN adalah ajang dengan reputasi tinggi. Karena sangat prestisius, sekolah-sekolah akan berusaha keras agar siswanya bisa lolos, bahkan terkadang dengan cara yang tidak sehat.
Suparno menilai pola kerja sama atau rekayasa sistem bisa muncul ketika pengawasan dilakukan oleh pihak yang tidak netral. Dia juga menekankan perlunya evaluasi menyeluruh dari pihak penyelenggara, mulai dari standar penilaian yang lebih transparan hingga pengembangan sistem deteksi khusus terhadap penggunaan AI.
“Mungkin standar penilaian yang lebih transparan. Kemudian sistem harus memulai untuk mendesain pengembangan sistem deteksi kecurangan terutama terkait penggunaan AI untuk menjaga integritas seleksi,” ujarnya.
Baginya, tantangan penyelenggaraan OSN di era digital tidak lagi sekadar soal integritas individu, melainkan juga bagaimana teknologi digunakan untuk melindungi proses seleksi dari manipulasi.
Sementara itu KawalOSN juga memberikan sejumlah rekomendasi kabijakan. Untuk jangka menengah dan panjang, disebut perlu ada peningkatan pengawasan dan lokasi pelaksanaan.
Mulai dari pengawasan menggunakan multi gawai, sampai dengan pengawas yang sebaiknya bukan guru sekolah tersebut. Selain itu KawalOSN juga menyarankan agar menyusun soal yang tidak mudah dipecahkan oleh AI. Terakhir, mereka juga mengusulkan pembangunan skema label risiko sekolah, agar bisa memantau anomali lebih baik.
Budaya Kompetisi yang Tidak Sehat
Sementara itu, Koordinator Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik (KIKA), Satria Unggul, memandang persoalan kecurangan pada seleksi OSN ini bisa terjadi karena mencerminkan budaya kompetisi yang keliru, sebab orientasinya hanya pada hasil akhir.
Satria menekankan bahwa perangkat digital seperti ponsel dan AI sejatinya hanya alat bantu belajar. Ketika digunakan dalam kompetisi, apalagi untuk mencurangi soal, maka peran alat tersebut telah disalahgunakan.
Ia turut menyoroti akar persoalan yang lebih dalam, yakni budaya kejujuran akademik di Indonesia yang masih rapuh. Menurutnya, masyarakat terlalu sering menilai capaian siswa hanya dari hasil, bukan dari proses belajar yang dijalani. Kondisi itu membuat praktik curang menjadi sesuatu yang dilazimkan dalam berbagai ajang kompetisi.
“Budaya kejujuran akademik itu merupakan satu masalah yang sebenarnya sering atau jamak kita diskusikan namun susah untuk dilaksanakan,” ungkapnya.
Bagi Satria, OSN seharusnya dimaknai sebagai pengalaman belajar yang berharga, bukan sekadar jalan meraih prestasi atau sertifikat. Ia mendorong agar penyelenggara mulai menjadikan kejujuran sebagai indikator penting dalam penentuan pemenang.
“Penyelenggara tentu harus mengedepankan prinsip-prinsip kejujuran sebagai satu skor mungkin atau satu indikator di dalam menentukan peserta yang menang,” tegasnya.
Penulis: Naufal Majid
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































