tirto.id - Suatu hari, putri pertama dari Tumi Minarni (41 tahun), Sasha (8 tahun) mendapat kado pakaian dari kakeknya ketika berulang tahun baru-baru ini.
Ketika ditanya sang ibu apakah Sasha suka dengan kadonya atau tidak, dengan lantang anak perempuan itu menjawab, "Aku nggak suka baju model begini. Ini, sih, kayak model baju yang suka dipakai Mama."
Mendengar jawaban anak perempuannya tersebut, Tumi marah dan melarang Sasha untuk berkata seperti itu. Ia bahkan menyebut bahwa Sasha seharusnya berterima kasih karena sudah diberi kado oleh kakeknya.
Sasha pun bingung, karena ia hanya bermaksud mengutarakan pendapatnya dengan jujur. Yang ia tahu, berbohong itu salah. Lalu, haruskah ia berbohong untuk menyenangkan kakeknya?
Reaksi marah orang tua seperti Tumi saat putrinya dengan jujur mengatakan tidak suka dengan kado dari kakeknya cukup manusiawi. Tumi takut, kejujuran putrinya itu menyakiti hati sang kakek yang sudah membelikan kado. Tumi juga meyakini, bahwa kita harus selalu berterima kasih pada siapa pun yang telah memberi hadiah kepada kita, bahkan meski hadiah tersebut tidak kita sukai.
Contoh lain yang mungkin paling sering dialami oleh para orang tua, misalnya, ketika anak berpapasan dengan perempuan yang sangat gemuk, dan berkata, "Mama, lihat, tante itu gede banget sampai nggak muat duduk di satu kursi."
Dalam situasi di atas, rasanya sebagian besar orang tua akan bereaksi serupa, yaitu menyuruh anaknya diam.
Temuan yang dipublikasikan di Journal of Moral Education menyebut bahwa semakin banyak orang tua yang memarahi saat anak-anaknya berkata terlalu jujur.
Kebanyakan orang tua lebih suka jika anak-anak mereka sedikit berbohong agar terdengar lebih sopan dan tidak menyakiti hati orang lain.
Dr. Laure Brimbal dari School of Criminal Justice & Criminology di Texas State University, juga mengatakan bahwa kebanyakan orang tua akan merasa malu atau marah ketika anak-anaknya terlalu jujur.
Dan pada akhirnya, sikap ini menimbulkan persepsi bahwa belajar berbohong adalah bagian normal dari perkembangan sosial anak-anak.
"Anak-anak diajari bahwa berbohong itu salah, namun secara bersamaan mereka juga mengalami bahwa berbohong adalah hal biasa, dan akhirnya mereka memiliki kemampuan untuk berbohong sejak usia dini," kata Dr Laure Brimbal.
Pada akhirnya, berbohong agar sesuai dengan harapan orang lain pun menjadi sebuah "keterampilan sosial" yang penting untuk dikuasai oleh anak.
Yang lebih menyedihkan, tidak sedikit pula orang tua yang dengan sengaja mengajarkan "keterampilan sosial" yang satu ini kepada anaknya. Kebohongan inilah yang dikenal dengan istilah "white lies" yaitu berbohong agar tidak menyakiti hati orang lain.
“Kalau nanti ditanya sama Tante X yang kemarin kasih kita kue, bilang saja kamu suka kuenya dan sekarang kuenya sudah habis, ya,” begitu salah satu white lie yang mungkin cukup sering diajarkan orang tua kepada anaknya,
Cara Menyikapi
Orang tua pasti akan merasa serba salah ketika anak terlalu jujur, karena pada dasarnya orang tua pun tidak ingin mengajari anak berbohong. Namun seringkali kejujuran anak sering membuat orang tua merasa malu.
Salah satu tips terbaik dari Raising Children untuk para orang tua yang ingin menegur anak ketika ia berkata terlalu jujur adalah dengan tidak memarahinya.
Hal ini karena memarahi anak dapat membuat ia jadi enggan dan takut untuk berkata jujur di kemudian hari, dalam konteks apa pun. Terlebih bila anak merasa bahwa kejujurannya akan dianggap salah dan merugikan, ia malah akan memilih berbohong untuk menyelamatkan dirinya sendiri di lain waktu.
Irma Gustiana Andriani M. Psi, seorang psikolog sekaligus Self Growth dan Parenting Coach di Klinik Psikologi Ruang Tumbuh, menyarankan para orang tua agar jangan terburu emosi.
"Tahan napas, buang rasa marah jauh-jauh dulu. Coba pahami bahwa kemampuan berpikir anak masih sangat terbatas. Karena anak-anak juga masih egosentris atau berpikir dengan cara pandanganya sendiri," katanya.
Saran selanjutnya yang bisa dilakukan orang tua adalah dengan mengajarkan kepada anak mengenai konsep bahwa tidak semuanya harus diungkapkan.
Orang tua harus mulai mengajarkan kepada anak untuk tidak selalu mengungkapkan semua pendapatnya secara frontal atau terang-terangan.
Dan sebagai gantinya, minta anak untuk membisikkan pendapat dan perasaan mereka kepada Anda, orang tuanya.
Dengan begitu, anak pun bisa memilah mana hal yang perlu diucapkan dengan lantang dan mana yang tidak. Jadikan orang tua sebagai filter bagi anak, mana hal yang bisa ia ucapkan dengan lantang dan mana yang tidak.
Kemudian, orang tua juga tidak boleh lupa untuk mengajarkan kepada anak cara yang lebih sopan dalam menyampaikan kritik. Misalnya, anak bisa bilang, "Maaf, ya Kakek. Terima kasih sebelumnya atas kadonya ini. Tapi, aku sebenarnya tidak terlalu suka dengan baju model ini."
Meski terdengar frontal dan berpotensi menyakiti hati orang lain, orang tua tidak perlu takut kalau anak suka berkata jujur. Justru, anak seharusnya diberi apresiasi karena ia telah berkata jujur.
“Mama suka kamu selalu berkata jujur,” mungkin seperti itu kata-kata apresiasi yang bisa diucapkan orang tua kepada anaknya.
Di saat banyak orang dewasa yang berbohong demi sopan santun atau menyelamatkan diri sendiri alias cari aman, tetaplah memuji anak karena telah berani bersikap jujur.
Dengan begitu, anak akan yakin bahwa bersikap jujur itu tetap dan akan selalu penting sampai kapan pun.
Hanya saja, apresiasi harus tetap dibarengi dengan upaya orang tua agar anak belajar memilah-milah mana yang sebaiknya memang perlu diucapkan dan mana yang tidak.
Kejujuran adalah hal yang sangat baik, namun akan lebih baik lagi bila disampaikan dengan santun sehingga tidak menyakiti siapa pun yang mendengarnya.
Penulis: Petty Mahdi
Editor: Lilin Rosa Santi