tirto.id - Karena Kivlan Zen, polisi dan tentara berhadap-hadapan di ruang sidang praperadilan. Polisi adalah pihak yang menersangkakan Kivlan atas kasus dugaan kepemilikan senjata api ilegal dan makar, sementara TNI ada di pihak Kivlan sebagai pendamping hukum.
Semula kuasa hukum Kivlan meminta bantuan ke Kostrad, tapi permintaan itu tak ditanggapi. Kemudian mereka memohon langsung ke Panglima TNI Hadi Tjahjanto dan disetujui. Panglima lantas mengutus 13 nama sebagai pendamping.
Bagi ahli militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi, meski sebetulnya tak ada aturan yang dilanggar, bantuan dari Mabes TNI tetap memunculkan kesan bahwa kuasa hukum Kivlan tengah mengupayakan jalur 'non-hukum' untuk pembebasan kliennya.
Ini mungkin terjadi karena TNI masih dianggap instansi yang superior meski sudah reformasi.
"Harus diakui ada kesan yang ingin dimunculkan bahwa Mabes TNI mendukung dan mem-backup beliau," ujar Fahmi kepada reporter Tirto, Senin (22/7/2019) kemarin. "Mestinya tidak diarahkan untuk intervensi," tambahnya.
Kivlan adalah purnawirawan TNI berpangkat terakhir Mayor Jenderal. Dia pernah menjabat sebagai Kepala Staf Kostrad.
Agar dugaan ini tak terbukti, kata Fahmi, 13 tentara yang jadi pendamping hukum Kivlan perlu benar-benar bekerja. Dalam arti, mereka mesti betul-betul mencari peluang hukum agar kliennya bebas atau setidaknya mendapat keringanan. Caranya, kata Fahmi, dengan membuktikan status tersangka untuk Kivlan tidak berdasar dan prematur.
"Selain itu, memastikan hak-hak tersangka dipenuhi, termasuk untuk menghadapi peradilan yang fair," tambah Fahmi.
Sementara untuk kuasa hukum, Fahmi berharap bantuan ini diletakkan secara proporsional. Kuasa hukum tak boleh besar kepala mengartikan bantuan ini sebagai 'beking' untuk Kivlan.
Kivlan juga sempat dibela Menteri Pertahanan Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu. Dia pernah bilang "tidak yakin" Kivlan merencanakan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh politik. "Masak sesama anak bangsa begitu? Mungkin hanya ngomong saja itu," katanya, Mei lalu.
Dibantah
Dugaan-dugaan ini dibantah baik oleh kuasa hukum Kivlan atau Mabes TNI. Kuasa Hukum Kivlan, Tonin Tachta, tegas menjawab "tidak" untuk pertanyaan apakah motif meminta tolong TNI agar Kivlan bisa bebas karena faktor 'non-hukum'. "Purnawirawan memang berhak [mendapat bantuan]," katanya.
Ia lantas merujuk Peraturan Panglima TNI Nomor 20 Tahun 2017 tentang Organisasi dan Tugas Babinkum TNI, serta Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/1447/XII/2018 tanggal 28 Desember 2018 tentang Petunjuk Teknis Bantuan Hukum Pidana di Lingkungan TNI sebagai landasan hukum.
Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen TNI Sisriadi juga merujuk dua peraturan di atas sebagai landasan hukum membantu Kivlan. Dia menegaskan tak ada upaya intervensi. Satu-satunya alasan Mabes TNI membantu Kivlan adalah karena itu "hak seluruh anggota keluarga besar TNI, termasuk purnawirawan."
Toh, kata Sisriadi, tak semua permohonan Kivlan dipenuhi. Mabes TNI, misalnya, tidak memberi penjamin untuk penangguhan penahanan meski diminta, setelah berkoordinasi dengan menteri-menteri bidang Polhukam.
Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo juga menanggapi enteng dan tak menganggap ada yang aneh dari bantuan itu. "Bagus karena itu hak konstitusional tersangka," katanya kepada reporter Tirto.
Sidang praperadilan Kivlan Zen kembali digelar hari ini (23/7/2019) pukul 10 pagi waktu Jakarta.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Jay Akbar