tirto.id - Kementerian Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan sembilan kementerian/lembaga lainnya meluncurkan situs aduanasn.id guna mengumpulkan laporan dari masyarakat soal aparatur sipil negara (ASN) yang "terpapar radikalisme".
Tak hanya itu, kementerian/lembaga yang membuka lowongan calon pegawai negeri sipil (CPNS) pun didorong untuk memantau akun media sosial masing-masing CPNS agar tak kecolongan.
"Ya... pokoknya yang anti-NKRI, anti-Pancasila, antipemerintah, anti itulah," kata Sekretaris KemenPAN-RB Dwiwahyu Atmaji di Hotel Grand Sahid Jakarta, Selasa (12/11/2019).
Meski begitu, upaya pemerintah itu bukan tanpa masalah. Langkah itu justru berpotensi melanggengkan stigma terhadap radikalisme.
"Iya itu hanya akan menghasilkan stigma, menghadirkan saling curiga, menghadirkan salah paham, dan meresahkan ASN dan membuat mereka tidak fokus untuk kerja dan kinerjanya," kata anggota Komisi VIII DPR dari fraksi PKS Hidayat Nur Wahid saat dihubungi pada Rabu (13/11/2019).
Hidayat mengungkap pemerintah sampai saat ini tidak menyebutkan definisi radikalisme secara rinci. Persoalan definisi radikalisme yang masih belum jelas ini juga menjadi sorotan Komisi VIII DPR RI. Akibatnya, lanjut Hidayat, masing-masing menteri memiliki definisi sendiri-sendiri soal radikalisme.
Misalnya, Menteri Agama Fachrul Razi yang menilai radikalisme berhubungan dengan cara berpakaian sehingga mewacanakan pelarangan cadar dan celana cingkrang di instansi pemerintahan.
Di sisi lain, Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM Mahfud MD menyebut radikalisme tak terkait agama dan pakaian, tapi usaha mengganti dasar dan ideologi negara dengan melawan aturan.
Tak Ada Definisi & Batasan Jelas
Keresahan yang sama juga dinyatakan pembuat website aduanasn.id tersebut, Menkominfo Johnny G Plate. Politikus Nasdem itu berharap masyarakat memberikan aduan berdasarkan data yang valid, dan bukan hoaks. Namun, ia tak bisa menjelaskan soal batasan-batasan radikalisme yang bisa dilaporkan.
"Itu nanti lembaga-lembaga terkait yang spesifik menangani itu. Pasti ada batasan-batasan," kata Plate di Hotel Grand Sahid Jakarta, Selasa (12/11/2019).
Dikonfirmasi secara terpisah, Deputi Bidang Sumber Daya Manusia KemenPAN-RB Setiawan Wangsaatmaja tidak memberi tolok ukur spesifik soal radikalisme yang bisa dilaporkan. Ia hanya menjelaskan, pihaknya mengacu pada Undang-undang ASN yang mengatakan pegawai negeri sipil (PNS) harus patuh pada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Kriteria itu lantas diturunkan dalam 11 poin yang bisa diadukan di website aduanasn.id, yakni:
1. Penyampaian pendapat baik lisan maupun tertulis dalam format teks, gambar, audio, atau video melalui media sosial yang bermuatan ujaran kebencian terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah;
2. Penyampaian pendapat baik lisan maupun tertulis dalam format teks, gambar, audio, atau video melalui media sosial yang bermuatan ujaran kebencian terhadap salah satu suku, agama, ras dan antar golongan;
3. Penyebarluasan pendapat yang bermuatan ujaran kebencian sebagaimana pada angka 1) dan 2) melalui media sosial (share, broadcast, upload, retweet, repost dan sejenisnya);
4. Pemberitaan yang menyesatkan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan;
5. Penyebarluasan pemberitaan yang menyesatkan baik secara langsung maupun melalui media sosial;
6. Penyelenggaraan kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah;
7. Keikutsertaan pada kegiatan yang diyakini mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah;
8. Tanggapan atau dukungan sebagai tanda setuju pendapat sebagaimana angka 1) dan 2) dengan memberikan likes, dislike, love, retweet atau comment di media sosial;
9. Penggunaan atribut yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah;
10. Pelecehan terhadap simbol-simbol negara baik secara langsung maupun melalui media sosial;
11. Perbuatan sebagaimana dimaksud pada angka 1) sampai 10) dilakukan secara sadar oleh ASN.
Sekretaris KemenPAN-RB Wiwahyu Atmaji menjelaskan laporan yang masuk akan dikaji oleh KemenPAN-RB, Komite ASN, Badan Kepegawaian Nasional, dan Kementerian Dalam Negeri. Empat instansi ini akan mengolah laporan itu sampai pada rekomendasi.
Selanjutnya, jika pelanggaran yang dilakukan dinilai masuk ke ranah pidana, maka rekomendasi diteruskan ke penegak hukum. Namun, jika tidak masuk ranah pidana maka rekomendasi itu dilanjutkan ke instansi asal ASN tersebut untuk dijatuhi sanksi. Wiwahyu pun menjamin website ini tidak akan salah sasaran.
"Ya kami kan ada mekanisme membela diri dll, sehingga tidak semata-mata langsung kami berikan sanksi," kata Wiwahyu di Hotel Grand Sahid Jakarta, Selasa (12/11/2019).
Aduan Radikalisme Rawan Disalahgunakan
Peneliti kebijakan publik asal Universitas Indonesia Defny Holidin menilai 11 indikator itu masih belum jelas dan berpotensi menjadi aturan "karet" serta rawan disalahgunakan. Misalnya, ia mempertanyakan apa parameter dari "kebencian", "menyesatkan", atau "tidak dapat dipertanggungjawabkan".
Selain itu, ada dua hal lain yang absen dari penerapan aturan aduan PNS soal radikalisme ini. Pertama, mekanisme hak jawab dari pihak yang diadukan. Kedua, lembaga lain yang memiliki kewenangan setara demi check and balances.
"Saya khawatir, karena tiga hal di atas, aduanasn.id berpotensi memperkuat praktik extrajudicial sekaligus alat politisasi birokrasi oleh pemerintah," kata Defny saat dihubungi, Kamis (14/11/2019).
Pengawasan radikalisme di kalangan PNS ini sebenarnya tidak perlu dilakukan apabila skema pengawasan publik oleh Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) masih belum terintegrasi.
Terlebih, di sisi lain, kapasitas APIP pun dianggap belum memadai. Berdasar studi tahun 2013 bersama Setwapres dan BPKP, Defny mengatakan kapasitas APIP masih rendah, meskipun terjadi sedikit peningkatan pada tahun 2018.
Perkuat Internal
Di sisi lain, Direktur Riset SETARA Institute Halili mengapresiasi peluncuran website, menurutnya, website itu positif untuk pengawasan radikalisme di tubuh ASN dengan mekanisme eksternal alias dari masyarakat. Namun, menurutnya, pemerintah tak bisa hanya mengandalkan mekanisme laporan dari masyarakat karena justru berpotensi menimbulkan masalah baru.
"Kalau [pengawasan oleh] publik kan pasti susah. Misal bagaimana melakukan screening kemungkinan terjadinya fitnah? Stigmatisasi atau labelling? Jangan-jangan pelaporan itu lebih banyak diisi karena sentimen pilihan elektoral," kata Halili saat dihubungi pada Kamis (13/11/2019).
Karenanya, lanjut Halili, pemerintah mesti meningkatkan pengawasan internal. Sayangnya, pemerintah dianggap masih lamban dalam hal ini.
Mekanisme itu, terang Halili, harus dimulai dari sejak rekrutmen. Harus ada mekanisme baku untuk menyaring ideologi dari pelamar. Halili mengapresiasi wacana Kemen PANRB mendorong screening media sosial media CPNS.
Kedua, diperlukan audit tematik. Maksudnya, ketika ada satu orang ASN diduga terpapar radikalisme maka langsung digelar audit terhadap seluruh satuan kerja tersebut.
"Jangan-jangan yang sebenarnya ngajar pengajian itu adalah atasannya? Kan sering bawahan enggak bisa menolak kalau atasan yg suruh. Nah kita enggak punya mekanisme ini," kata dia.
Terakhir, masing-masing kementerian/lembaga harus melakukan kolaborasi dan koordinasi.
"Kalau ini tidak dibarengi dengan pengawasan internal saya kira ini tidak akan efektif. Harus ada mekanisme internal untuk memastikan ASN ini imun terhadap ideologi-ideologi kontra negara, kontra pancasila, dan kontra konstitusi," kata Halili.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Maya Saputri