tirto.id - “Saya menyerahkan pembayaran madu, dua dirham,” ucap seorang pembeli sembari memberikan koin dalam kotak plastik. Koin yang sama dapat dipakai menebus berbagai benda yang dijual di sana, dari mulai roti, sandal, parfum, kaus, bahkan siomai. Koin berfungsi sebagai alat pembayaran.
Koin tersebut adalah dinar dan dirham. Dinar merupakan koin emas 4,25 gram 22 karat, sementara dirham adalah koin perak murni 2,99 gram. Para penjual dan pembeli di situ mengikuti sistem perdagangan zaman Nabi. Meski begitu, dinar dan dirham tak berlaku mutlak. Penjaja masih memperbolehkan rupiah.
Aktivitas tukar menukar dengan dirham dan dinar berlangsung dua pekan sekali sejak 2016 di Pasar Muamalah yang terletak di Jalan Raya Tanah Baru, Kota Depok, Jawa Barat. Para pedagangnya diklaim tidak dipungut biaya apa pun dan bebas memilih lokasi berjualan sepanjang datang terlebih dulu.
Penukaran rupiah ke dinar dan dirham bisa melalui pedagang langsung, distributor koin yang disebut Wakala, maupun kepada koordinator pedagang Pasar Muamalah Depok bernama Catur Panggih.
Pedagang pun menjual komoditas secara daring di pasarmuamalah.net. Situs ini tak bisa dibuka dengan cara biasa karena pemerintah mengkategorikannya sebagai situs yang ‘tidak bermuatan positif’.
Dalam sebuah video, Zaim Saidi, Pelopor Dinar Dirham Indonesia, menyebut Pasar Muamalah sebagai salah satu tempat masyarakat bisa mendapatkan dinar dan dirham.
Aktivitas jual beli tidak biasa ini pernah tayang di akun Youtube Arsip Nusantara pada 27 Agustus 2019. Dua tahun kemudian, tepatnya pada 27 Januari lalu, video itu viral.
Catur Panggih menyayangkan pasar viral dan tiba-tiba diketahui publik luas dengan narasi yang menurutnya melenceng. “Bikin narasi sendiri, ‘ada pasar ala khilafah’,” ujar Catur kepada reporter Tirto, Jumat (29/1/2021). “Ada yang [menuding] HTI dan FPI. Organisasi saja kami tidak punya. Kacau itu,” tambahnya.
Dia mengklaim Pasar Muamalah serupa kegiatan sosial dan tidak terafiliasi partai atau ormas apa pun. Dia bilang dinar dan dirham dipakai untuk zakat kepada warga sekitar pasar. Zakat diberikan sebelum aktivitas pasar dimulai, dan si penerima juga dapat membelanjakannya lagi di pasar tersebut.
Mengapa bukan uang biasa yang dipakai untuk menyumbang warga sekitar? Catur bilang itu karena “zakat itu emas [dan] perak.” “Tanya ulama mana pun, kalau zakat itu emas, perak, atau [hasil] pertanian,” katanya.
Lurah Tanah Baru Zakky Fauzan mengaku baru tahu ada Pasar Muamalah di daerahnya usai video viral. Dia mengatakan aktivitas di situ tak berizin baik dari RT, RW, atau kelurahan.
Dia bilang berkoordinasi dengan aparat penegak hukum guna menindaklanjuti kegiatan tersebut. Hingga kini ia belum mengetahui inisiator pasar itu.
Zakky tak setuju dengan sistem yang diterapkan di pasar itu. “Kami prihatin. Saya juga seorang muslim, tapi kita di sini, di Indonesia, yang punya hukum. Ada alat transaksi yang sah,” ucap dia kepada reporter Tirto, Jumat.
Kapolres Metro Depok Kombes Pol Imran Edwin Siregar mengatakan saat ini polisi masih menyelidiki pasar. “Masih dalam penanganan Reskrim,” katanya.
Pasar yang tidak menggunakan rupiah ternyata tak cuma di Depok. 7 Februari nanti pukul 7 pagi hingga 11 siang, Joglo Dakwah Sakinah di Ngruki, Kabupaten Sukoharjo, akan menjadi lokasi Pasar Muamalah Solo Raya.
Panitia mengklaim kegiatan itu tanpa pajak, riba, sewa, dan sekat. “Yuk kembalikan sunnah Rosululloh, pasar amal ahlul madinah,” tertulis dalam poster acara. September dan November tahun lalu pun tempat ini disulap jadi pasar serupa.
Beberapa lokasi lain yang pernah menyelenggarakan pasar serupa di antaranya Masjid Raya Al Jihad di Perum Griya Alam Sentosa, Bogor; Gubug Cah Angon di Karanganyar; Kedai Bicik Andin di Jakarta Timur; dan Wahana Hutan Kota Wonokarto.
Regulasi Transaksi
Lurah Zakky benar ketika mengatakan ada alat transaksi yang sah di Indonesia. Rupiah adalah satu-satunya alat pembayaran yang sah dan setiap transaksi bertujuan pembayaran yang dilakukan di NKRI wajib menggunakan rupiah, demikian tertulis dalam Pasal 23B UUD 1945 juncto Pasal 1 angka 1 dan angka 2, Pasal 2 ayat (1) serta Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia Erwin Haryono mengatakan segala transaksi jual-beli tanpa menggunakan rupiah berpotensi melanggar Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Para pelanggar terancam satu tahun penjara dan denda paling banyak Rp200 juta.
Meski jelas melanggar, ia tidak mau otoritas langsung bertindak tegas. “Kami akan lihat perkembangannya. Sekarang ini akan diupayakan pendekatan yang lebih persuasif dengan cara memberikan edukasi,” ucap Erwin, ketika dihubungi reporter Tirto, Jumat. Edukasi dilakukan karena mungkin saja banyak masyarakat yang belum mengerti ihwal alat pembayaran yang sah.
“Tapi kami tentu tidak ragu bekerja sama dengan kepolisian untuk penindakan pada waktunya,” katanya.
Penulis: Adi Briantika & Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino