tirto.id - Hampir 1,5 tahun sejak mengirimkan pemberitahuan gagal bayarnya, PT Asuransi Jiwasraya hingga kini belum mampu menemukan titik terang penyelesaian masalah mereka, utamanya terkait para pemegang polis JS Proteksi Plan.
Saat surat pemberitahuan dikirimkan, nilai tunai polis jatuh tempo 10 Oktober 2018 mencapai Rp802 miliar milik 711 polis. Enam belas bulan berlalu, nilai tunai polis jatuh tempo produk JS Proteksi Plan membengkak menjadi sebesar Rp16,13 triliun.
Rinciannya, nilai kewajiban jatuh tempo polis produk JS Proteksi Plan pada Oktober-Desember 2019 mencapai Rp12,4 triliun. Sedangkan kebutuhan likuiditas penyelesaian JS Proteksi Plan tahun 2020, diketahui senilai Rp3,7 triliun.
Dalam jumlah tersebut, terdapat pula premi pokok senilai Rp572 miliar dana milik warga negara asing asal Korea Selatan yang memercayakan investasi di produk JS Proteksi Plan besutan Jiwasraya.
Butuh Waktu Panjang
Proses pengembalian dana investasi maupun kepastian hukum di kasus asuransi Jiwasraya membutuhkan waktu yang cukup panjang. Nasabah JS Proteksi Plan harus menunggu setidaknya 15 bulan sebelum perangkat hukum di negeri ini akhirnya bergerak untuk memproses kasus penyelewengan dana investasi itu.
Kejaksaan Agung RI baru menetapkan tersangka kasus asuransi Jiwasraya pada 14 Januari 2020. Sebanyak lima orang ditetapkan sebagai tersangka. Mereka adalah Direktur Utama PT Hanson International Tbk Benny Tjokrosaputro, Direktur Utama Jiwasraya periode 2008-2018 Hendrisman Rahim, mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya Syahmirwan, Direktur Keuangan Jiwasraya periode 2008-2018 Hary Prasetyo, dan Komisaris PT Trada Alam Minera Tbk Heru Hidayat.
Direktur PT Maxima Integra Joko Hartono Tirto menyusul kemudian. Ia ditetapkan tersangka oleh Kejagung. Tidak tertutup kemungkinan adanya penambahan penetapan tersangka oleh Korps Adhyaksa.
Jaksa Agung ST Burhanuddin menyatakan saat ini pihaknya tengah mendalami tindak pidana yang dilakukan oleh masing-masing tersangka. Beberapa di antaranya diduga turut melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi Jiwasraya.
Hingga saat ini, Kejaksaan Agung telah melakukan pemeriksaan terhadap lebih dari 140 saksi terkait kasus asuransi Jiwasraya. Selain itu, lebih dari 15 tempat telah digeledah, beberapa barang disita seperti mobil mewah, sepeda motor, apartemen, serta beberapa sertifikat tanah juga sudah diblokir.
Sebelumnya, terdapat 10 nama yang dicegah bepergian ke luar negeri selama enam bulan terkait skandal Jiwasraya. Pencegahan ini dilakukan oleh pihak imigrasi atas permintaan Kejaksaan Agung sebagai pihak yang menyelidiki kasus ini. Dari 10 nama tersebut, empat di antaranya merupakan tersangka.
Kejaksaan Agung menyebut kerugian keuangan negara akibat dugaan korupsi pengelolaan dana investasi Jiwasraya sekira Rp13,7 triliun pada Agustus 2019. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap bahwa Jiwasraya melakukan rekayasa keuangan dalam menutupi kerugian perusahaan sejak 2006.
High Risk, Low Return
Jiwasraya dianggap merugikan keuangan negara karena berinvestasi pada aset-aset yang memiliki risiko tinggi atau high risk untuk mengejar keuntungan tinggi (high return). BUMN itu melakukan penempatan saham sebesar 22,4 persen senilai Rp5,7 triliun dari aset finansial. Dari jumlah tersebut, 5 persen dana ditempatkan pada saham perusahaan berkinerja baik (LQ 45), sedangkan 95 persen sisanya ditempatkan pada saham yang berkinerja buruk.
Jiwasraya juga menempatkan dana di reksa dana sebanyak 59,1 persen setara Rp14,9 triliun dari aset finansial yang dimiliki. Dari jumlah itu, dua persen di antaranya dikelola oleh manajer investasi Indonesia dengan kinerja baik atau top tier management. Sedangkan 98 persen lainnya, dikelola oleh manajer investasi berkinerja buruk.
Pengamat BUMN Toto Pranoto mengungkapkan, kasus korupsi di industri keuangan non-bank seperti asuransi sejatinya tidak hanya dimonopoli oleh perusahaan asuransi pelat merah. Kasus dugaan korupsi maupun penyelewengan dana investasi juga bisa menimpa perusahaan asuransi swasta.
Meski demikian, dalam hal kasus asuransi Jiwasraya, efek kasus ini memiliki magnitude yang besar. Terlebih, jumlah polis dan nilai investasi yang dibenamkan memiliki angka yang masif. “Total nilai polis yang diterima oleh Jiwasraya untuk produk JS Proteksi Plan dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2017 angkanya mendekati Rp50 triliun. Ini tentu angkanya besar sekali,” tutur Toto kepada Tirto.
Toto mengungkapkan, ketidaksanggupan Jiwasraya untuk mengembalikan polis jatuh tempo produk JS Proteksi Plan senilai total Rp16,1 triliun. Angka itu, menurut Toto, baru setengah dari total keseluruhan investasi yang Jiwasraya tanam. “Dari segi pembayaran polisnya saja sudah besar sekali dan inilah yang menjadi masalah,” imbuh Toto.
Mengapa hal ini bisa terjadi?
Toto mengungkapkan, terdapat beberapa hal yang menjadi akar permasalahan di industri asuransi di Indonesia. Pertama, institusi pengawas yang tidak bekerja dengan baik.
Terdapat dua sisi pengawasan pada industri keuangan non-bank, yaitu sisi internal dan eksternal. Pengawasan sisi internal, menurut Toto, terjadi pada saat produk asuransi tersebut akan dikeluarkan oleh setiap perusahaan asuransi. “Setiap produk asuransi yang dikeluarkan dan setiap investasi yang dijalankan, harus melalui mekanisme pengetahuan dan persetujuan Dewan Komisaris,” sebut Toto.
Fungsi Dewan Komisaris, lanjut Toto, adalah mengawasi jalannya kinerja para jajaran direksi. Dengan demikian, jika sama sekali tidak ada laporan-laporan yang signifikan terkait tentang pengawasan dari para dewan komisaris terkait apa saja yang dilakukan oleh jajaran direksi, artinya terdapat masalah dalam pengawasan internal perusahaan asuransi tersebut.
Kedua adalah pengawasan eksternal. Sebagai perusahaan asuransi pelat merah, pengawasan eksternal Jiwasraya dilakukan oleh Kementerian BUMN. Dalam setiap tindak tanduk kegiatan usahanya, Jiwasraya harus melaporkan kepada sang pemilik yaitu Kementerian BUMN.
"Kementerian BUMN wajib memeriksa laporan keuangan Jiwasraya secara detil dan rutin semisal satu bulanan, tiga bulanan, semesteran, dan tahunan. Jika Jiwasraya bisa menjadi kasus besar seperti ini, maka pertanyaannya adalah apakah laporan yang diserahkan oleh Jiwasraya dibaca atau tidak oleh Kementerian BUMN? Dan ada atau tidak masalah dari hasil laporan ini,” ungkap Toto.
Selain itu, dari sisi industri keuangan non-bank, PT Asuransi Jiwasraya tentu diawasi kinerjanya oleh OJK. Dengan demikian, menurut Toto, patut dipertanyakan apakah seperti apa mekanisme pengawasan yang selama ini berlangsung di OJK lantaran tidak bisa mendeteksi ada masalah di PT Asuransi Jiwasraya.
Sebagai pengawas eksternal terakhir, kata Toto, ada pula Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang bisa melakukan audit terhadap perusahaan-perusahaan milik negara. BPK memang telah menemukan beberapa hal seperti indikasi-indikasi investasi yang bermasalah.
“Tapi setelah itu, rekomendasi yang diberikan oleh BPK dijalankan atau tidak? Diberikan teguran atau tidak kepada Jiwasraya? Seharusnya hal ini harus terjadi terus secara simultan, sehingga pengawasannya menjadi lebih maksimal,” ucap Toto.
Menurut Toto, permasalahan yang membelit Jiwasraya bukan sekedar dugaan korupsi penyelewengan dana investasi yang dilakukan oleh mantan jajaran direksi Jiwasraya dengan para perusahaan manajer investasi, tetapi juga dikarenakan kualitas para otoritas pengawas.
“Mereka (para otoritas pengawas) harus melakukan berbagai perubahan ke depan, agar tidak ada lagi kasus-kasus semacam ini ke depannya. Diharapkan early warning system (sistem peringatan dini) para otoritas pengawas bisa bekerja dengan baik, kualitas pengawasnya juga harus lebih baik karena tidak ada alasan para pengawas tidak mengerti,” kata Toto.
Senada, pengamat asuransi sekaligus Arbiter Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI) Irvan Rahardjo menyebut momentum reformasi lembaga keuangan non-bank, yang sempat dikemukakan oleh Presiden Joko Widodo pada pertemuan tahunan Industri Jasa Keuangan 2020, harus disertai reformasi pada tubuh OJK. Caranya, menurut Irvan, adalah dengan revisi UU OJK.
“Diantaranya wewenang OJK untuk memungut iuran dari industri keuangan harus dihentikan karena sarat dengan konflik kepentingan antara melindungi kepentingan nasabah dengan melindungi kepentingan pelaku industri,” jelas Irvan kepada Tirto.
Selain itu, reformasi pada lembaga keuangan non-bank juga harus dilakukan dengan membentuk dewan pengawas independen. Perekrutan pengawas pelaku industri keuangan non-bank harus dilakukan dari luar kalangan birokrat.
“Reformasi lembaga keuangan non-bank juga harus dilakukan dengan mereformasi OJK dalam wadah omnibus law bersama UU BI, UU Perbankan, dan UU LPS. Sehingga ke depan, pengawasan terhadap industri keuangan non-bank bisa lebih maksimal,” imbuh Irvan.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara