tirto.id - Pengusutan dugaan korupsi Jiwasraya membawa kabar buruk bagi ribuan investor ritel PT Hanson International Tbk (MYRX). Apalagi, setelah Kejaksaan Agung mengumumkan adanya pemblokiran aset-aset perusahaan tersebut demi memulihkan kerugian negara dalam kasus Jiwasraya.
Hingga saat ini, 84 aset tanah milik Hanson di Kabupaten Lebak, Banten, serta 72 tanah di Parung Panjang, Kabupaten Bogor telah diblokir oleh kejaksaan—termasuk 20 hektare tanah di Milenium City dan 60 hektare di Forest Hill.
Padahal, aset itu sedianya bakal dijadikan ganti rugi atas gagal bayar Hanson terhadap para nasabahnya. Kini para nasabah tersebut diliputi kecemasan karena uang yang mereka tanam di perusahaan Benny Tjokrosaputro itu tak bisa kembali. Totalnya diperkirakan lebih dari Rp2 triliun.
Benny menjaring para investor ritel sejak 2017 lewat penjualan repurchase agreement (repo). Imbal hasil yang dijanjikan kepada para nasabah mencapai 12 persen dengan jangka waktu berkisar 3 hingga 12 bulan.
Belakangan, jual beli saham emiten berkode MYRX itu kena semprit Otoritas Jasa Keuangan (OJK) lantaran tak berizin. Penghentian kegiatan tersebut baru diumumkan Satgas Waspada Investasi pada 31 Oktober 2019 disusul dengan pemberian sanksi serta perintah pengembalian uang para nasabah.
Nyatanya, perintah itu cuma jadi semacam imbauan. Seorang nasabah Hanson yang menolak identitasnya disebut mengatakan, Benny Tjokro justru menawarkan opsi lain, yakni restrukturisasi utang dan resettlement aset.
Melalui kuasa hukumnya, Bob Hasan, Benny menyampaikan bahwa arus kas perusahaannya telah tergerus habis-habisan. Hal itu terekam dalam video pertemuan Hanson dengan para nasabahnya di Jakarta, awal Februari lalu.
Seorang nasabah Hanson yang hadir dalam pertemuan itu mengatakan, mayoritas nasabah tak setuju dengan tawaran tersebut. Mereka ngotot pengembalian dana dilakukan seusai perintah OJK dengan sejumlah alasan.
Pertama, restrukturisasi bakal menyita waktu mengingat status Benny sebagai tersangka. Kedua, aset berupa tanah yang dijanjikan tak jelas legalitasnya serta tak mencerminkan harga sebenarnya.
"Ada dugaan kalau harga tanah itu di-mark-up 30 persen. Belum lagi, tanah-tanah itu kan mau diblokir sama Kejaksaan. Kalau misalnya kami setuju, terus tiba-tiba disita, kan malah kena tipu lagi," ujar nasabah tadi.
Tak Ada Kejelasan
LN, nasabah Hanson asal Surabaya, mengaku jengah dengan sikap pemerintah yang mengabaikan para pemodal ritel Hanson dalam kasus Jiwasraya. Penyitaan aset-aset Hanson, kata dia, membuat peluang kembalinya dana nasabah makin sempit.
Padahal, mereka yakin, aset-aset yang disita Kejagung dibeli dengan uang yang mereka gelontorkan.
"Negara cuma pikirkan soal Jiwasraya, tapi kami ini ribuan nasabah, triliunan totalnya, siapa yang mau kembalikan uangnya?" ucap dia saat dihubungi reporter Tirto beberapa waktu lalu.
LN mengaku membeli saham repo Hanson lebih dari Rp1 miliar pada akhir 2018. Ditetapkannya Benny Tjokro sebagai tersangka yang disusul dengan suspensi perdagangan efek MYRX oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) membuat hatinya makin mencelos.
Repo yang ia beli tak bisa diperdagangkan kembali di pasar reguler maupun pasar negosiasi seperti yang tercantum dalam perjanjian jual beli.
"Sebelum disuspensi, saya sebenarnya bisa jual di pasar nego dan kekurangannya Pak Benny yang nambal. Tapi sebelum disuspensi, harganya sudah anjlok karena Pak Benny jadi tersangka. Jadi kami enggak bisa apa-apa," keluh dia.
Hingga saat ini, LN mengaku tak bisa berbuat banyak. Usaha para nasabah mendatangi BEI dan OJK juga tak membuahkan hasil
"Saya masih konsultasi sama lawyer, mau menentukan langkah selanjutnya. Nasabah Hanson ini banyak dan terpecah-pecah. Ada yang ke PKPU, ada yang mau ke polisi, tapi sampai saat ini belum ada kejelasan dan pemerintah belum turun tangan," ucap LN.
Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal II OJK Fahri Hilmi enggan menjawab pertanyaan Tirto saat ditanya mengenai hal ini. Fahri pun melempar masalah ini kepada Juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot.
Ketika ditanya mengenai hal ini, Sekar juga enggan memberi jawaban. Sekar hanya berkata, ”Untuk Hanson, investasi ilegal dengan Satgas Waspada Investasi (SWI). Sewaktu itu kasus penghimpunan dana investasi ilegal di Hanson yang menangani SWI.”
Pemerintah Jangan Tutup Mata
Analis Saham dan Pasar Modal, Satrio Utomo menilai perkara gagal bayar nasabah Hanson menjadi tanggung jawab pemerintah lantaran OJK dan BEI gagal mendeteksi penghimpunan dana ilegal itu sejak awal. Sama seperti nasabah Jiwasraya, mereka adalah korban dari lemahnya sistem pengawasan pasar modal.
Meski OJK dan BEI tak bisa mendesak Hanson untuk mengembalikan uang para nasabahnya, pemerintah tak boleh tutup mata. “Memang jadi agak berat ya, seperti tunggu antrean,” ucapnya kepada Tirto, Rabu (12/2/2020).
Ia juga mengingatkan bahwa dua lembaga tersebut kini punya banyak pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan yakni memperketat regulasi pasar modal, terutama aturan terkait repo yang bolong di sana-sini.
“Kalau enggak diubah, kan, kebangetan ya meskipun kondisi (pasar modal) awut-awutan,” ucap dia.
Analis saham sekaligus Direktur PT Anugrah Mega Investama Hans Kwee menyarankan korban gagal bayar Hanson untuk segera melapor ke polisi agar perkara tersebut bisa diproses.
Meskipun penegak hukum seperti kejaksaan sedang memberi perhatian penuh bagi kasus Jiwasraya, ia yakin penegak hukum dapat bekerja profesional dan tidak pilah-pilih.
Belum lagi setahu dia masih ada banyak gagal bayar lain seperti PT Emco Aset Management yang juga mengoleksi saham Hanson. “Tentu sekarang masalah ngadu atau enggak. Kita juga perlu kasih waktu buat otoritas. Jangan sampai menghukum orang yang enggak bersalah,” ucap Hans.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz