tirto.id - Hari ini, 42 tahun silam, pemerintah Orde Baru membentuk sebuah organisasi yang beranggotakan istri para pegawai negeri sipil bernama Dharma Wanita. Pendiri organisasi perempuan tersebut adalah Amir Machmud, sementara pemrakarsa utamanya tak lain ibu negara: Tien Soeharto.
Asas yang dijunjung organisasi, sebagaimana ketentuan yang berlaku bagi organisasi lain pada waktu itu, adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Keduanya, beserta GBHN sebagai pedoman, diharapkan menjadi titik tolak para anggota dalam menjalankan organisasi maupun bertingkah laku di masyarakat.
Cita-cita Dharma Wanita yang terangkum dalam visi-misinya sederhana: mendukung tugas sang suami sebagai aparatur negara dan abdi masyarakat yang membaktikan hidupnya bagi negara dan bangsa. Dharma Wanita adalah representasi yang baik dari ungkapan “di belakang pria sukses, ada wanita hebat.”. Premis ini berangkat dari pemahaman bahwa kodrat perempuan adalah menyandang status istri sebagai pendamping sang suami.
Secara tak langsung, berdirinya Dharma Wanita merupakan tonggak awal depolitisasi perempuan di ranah politik Indonesia sekaligus melestarikan proses domestifikasinya. Saat para suami bekerja untuk partai penguasa waktu itu, Golongan Karya, sang istri sengaja diproyeksikan untuk fokus mengelola rumah tangga dan sang anak. Ini semua demi mendukung pembangunan nasional ala pemerintah Orba—baik sebagai jargon maupun realisasinya di lapangan.
Posisi kaum perempuan di rumah tangga pernah dipaparkan oleh Presiden Soeharto di Istana Negara ketika Musyawarah Nasional (Munas) Dharma Wanita III tanggal 5 April 1988. Antara lain:
“...kaum wanita adalah memberikan sumbangannya terhadap pembangunan nasional. Pembangunan masa yang akan datang akan dapat berhasil guna apabila dilaksanakan oleh manusia-manusia yang sehat jasmani dan rohani, yang cerdas dan kuat kepribadiannya serta memiliki rasa tanggung jawab yang besar dan budi pekerti yang luhur. Manusia yang demikian itu hanya bisa diwujudkan dari anak-anak yang dilahirkan oleh ibu-ibu yang menjaga perannya sebagai ibu yang baik....”
Anastasia Kiki dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jaringan Perempuan Yogyakarta melihat Dharma Wanita sebagai organisasi perempuan yang lahir di era Orba bukan hanya sukses menyuburkan praktik domestifikasi perempuan, namun juga menghantam gerakan perempuan yang visinya berbeda.
Gerwani atau Gerakan Wanita Indonesia misalnya, dipukul mundur sebab dikenal aktif memperjuangkan hak perempuan di sektor publik. Afiliasinya yang kuat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) membuat anggota-anggota Gerwani turut menjadi korban. Banyak citra buruk yang kemudian dilekatkan kepada Gerwani agar gerakan tersebut mati dengan sendirinya.
“Isu komunis dan isu seksualitas bahwa Gerwani suka pesta seks, kejam dan lain-lain yang disebarkan secara masif artinya menghadapkan aktivis perempuan kala itu dengan resiko penjara atau bahkan penghilangan nyawa dan stigmatisasi seumur hidup,” kata Anastasia.
Tanpa saingan dari gerakan perempuan lain di luar pemerintahan, Dharma Wanita eksis selama 32 tahun Orba berkuasa di Indonesia.
Saat Orba tumbang oleh gerakan reformasi di tahun 1998, Dharma Wanita sadar bahwa perlu ada perubahan untuk (setidaknya) bisa menyelaraskan diri dengan zaman. Pada Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Dharma Wanita yang diselenggarakan pada tanggal 6-7 Desember 1999, muncul keputusan untuk mengganti nama menjadi Dharma Wanita Persatuan (DWP).Tak hanya itu, spektrum pergerakan organisasinya juga ingin lebih dimantapkan di bidang pendidikan, ekonomi, dan sosial budaya.
Itu di tataran teori, tapi di ranah praktik, apakah Dharma Wanita masih relevan terutama bagi kebutuhan perempuan saat ini?
Zaman boleh berganti. Namun, rupanya ruh organisasi masih menyertai hingga kini. Ratna Ekawati yang menjabat sebagai Sekretaris DWP Universitas Negeri Yogyakarta pun mengakui bahwa ia dan anggota lainnya “hanya kelompok netral yang mendukung para suami bekerja”.
“Karena Dharma Wanita itu, dharma itu artinya berbudi luhur pekerti luhur, dan wanita itu kan perempuan. Maka kodaratnya sebagai seorang perempuan maka menurut saya kalau ibu sebagai sebuah tiang keluarga dan jika ibu bisa menjadi teladan baik untuk anak-anak, dilingkup paling kecil di keluarga, maka harapannya nanti bisa memberikan kontribusi yang lebih baik, maka insya Allah bisa menjadi lebih baik untuk bangsa dan negara Indonesia,” imbuhnya
Isu Kekerasan Terhadap Perempuan
DWP UNY memang memiliki program kerja rutin di bidang pendidikan, ekonomi, dan sosial budaya, namun karakter organisasi yang khas membuat Dharma Wanita gagap dalam menyikapi isu perempuan kekinian. Isu kekerasan terhadap perempuan misalnya, Ratna mengatakan bahwa DWP UNY tak secara eksplisit menyikapi isu tersebut. Tak ada usaha mengadvokasi, sebab bagi Ratna usaha yang demikian dilakukan oleh lembaga lain di luar Dharma Wanita seperti LBH.
Padahal isu tersebut bukan persoalan sepele. Catatan Tahunan Komnas Perempuan, angka kekerasan terhadap Perempuan (KtP) di Indonesia sejak 2010 terus meningkat tiap tahunnya. Peningkatan angka sangat tinggi terjadi antara tahun 2011 sampai tahun 2012 yang hampir mencapai 100 persen. Pada 2011 ada 119.107 kasus kekerasan terhadap perempuan, sementara pada 2012 ada 216.156 kasus. Tahun lalu, jumlah meningkat sebesar 9 persen dari tahun 2014 atau ada 321.752 kasus.
Isu tentang kesetaraan gender yang menjadi pondasi bagi aktifnya perempuan di ranah publik juga bukan persoalan yang rajin digeluti Dharma Wanita. Anastasia menilai Dharma Wanita memang secara organisasi tidak didesain untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan mulai dari visi misi lembaganya.
“Maka aktivitasnya lewat workshop dengan tema-tema yang tidak jauh dari ranah domestik, ya wajar melihat sejarah terbentuk dan maksud dan tujuan dari organisasinya,” kata Anastasia.
Workshop atau seminar dengan tema-tema yang disinggung Anastasia dinyatakan Ratna sebagai agenda yang rutin dilaksanakan tiap tahun. Tak ada tuntutan akan program khusus. Mengacu pada pola kerja organisasi pada umumnya, segala program kerja DWP di daerah tahun ini hingga beberapa tahun ke depan mesti mengacu pada Rencana Strategis (Renstra) DWP 2015-2019 yang telah dibahas dan disahkan pada forum Musyawarah Nasional (Munas) DWP pada tanggal 9-11 Desember 2014.
Dewi Candraningrum, Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan, mengatakan bahwa tugas perempuan ala Dharma Wanita di era kekinian tidak masuk akal karena ada banyak perempuan yang menjadi pemberi nafkah utama. Ia menyebut angka 14 persen untuk para perempuan Indonesia yang menjadi single mom. Buntutnya, perempuan-perempuan ini memiliki beban ganda: di luar rumah ia mesti mencari nafkah, di dalam rumah harus pontang-panting mengurus anak.
Jika Dharma Wanita memang ingin bersungguh-sungguh ingin menjadi wadah serta memiliki faedah yang konkret bagi perempuan secara luas, Dewi mengharapkan ada redefinisi terhadap DWP. Ia mencontohkan, di beberapa daerah ada yang sudah bagus sebab tak menginduk lagi pada visi-misi orde baru. Namun di banyak daerah masih banyak yang belum memiliki sikap dan orientasi yang serupa.
“Setiap konteks Dharma Wanita memiliki kebutuhannya masing-masing. Misalnya, menurut penelitian Julia Suryakusuma, perjuangan DWP untuk kalangan kebun teh di Jawa Barat cukup kuat untuk mendampingi buruh dalam mengolah kebunnya. Sikap ini bisa diterapkan DWP di lingkungan nelayan atau lingkungan lainnya,” papar Dewi.
Perlunya Reformasi Organisasi
Sejak memasuki era reformasi Dharma Wanita memang berusaha untuk tak menjadi organisasi yang eksklusif. Namun, Dharma Wanita masih belum berhasil dalam menyelaraskan kebutuhan perempuan kekinian yang meluas alias tak hanya di wilayah domestik. Padahal, dari segi potensi, Dharma Wanita jelas memiliki sumber daya yang besar, terutama dari segi kuantitas anggota maupun cabang organisasinya yang tersebar hingga ke daerah-daerah.
Sesuai AD/ART, anggota DWP meliputi seluruh istri pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN), istri pejabat negara bidang pemerintahan, istri dan janda pensiunan pegawai ASN, BUMN dan BUMD, istri dan janda pegawai dan/atau pensiunan Perguruan Tinggi Negara Badan Hukum, istri kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, istri perangkat pemerintahan desa, dan istri anggota TNI, purnawirawan TNI, Polri, dan purnawirawan Polri.
Anastasia membayangkan serta mengharapkan Dharma Wanita akan memiliki kekuatan lebih besar untuk membangun bangsa jika mau mereformasi lembaganya. “Mengganti visi misi, membongkar AD/ART, menyesuaikan dengan gerakan perempuan yg memperjuangkan hak-hak perempuan di ruang publik, di sektor kesehatan, pendidikan, hukum, politik, dan lain sebagainya. Bisa jadi dahsyat mengingat lembaga ini terstruktur dan sistematis,” imbuhnya.
Meski memiliki pilihan tersebut, Anastasia sadar bahwa merealisasikan perubahan tersebut bukan sesuatu yang mudah. Harus ada usaha ekstra keras karena otomatis akan mengubah marwah lembaga yang sudah mendarah-daging sejak puluhan tahun yang lalu itu. Harus ada pihak-pihak di dalam organisasi yang sadar akan hal ini dan mampu mempengaruhi anggota lainnya. Perubahan Dharma Wanita di tahun 1999 dinilai belum selaras dengan semangat reformasi yang idealnya merambah struktur maupun kultur organisasi.
“Kalau tidak ada reformasi, Dharma Wanita jadi lembaga yang 'aman' saja bagi perempuan atau istri-istri para pegawai negeri. Selamanya akan begitu. Jalannya ada. Mulai dari problem di sekitar mereka sendiri. Saya yakin ada kasus KDRT yang dialami oleh anggotanya. Nah, berusaha jd support group untuk korban saja itu sudah sangat membantu,” pungkasnya.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti