Menuju konten utama

Desakan Sesat DPR: Tuntaskan Kasus HAM Berat Tanpa Jalur Hukum

DPR mau kasus HAM berat masa lalu diselesaikan secara non-yudisial. Usul ini mendapat penolakan keras dari korban dan aktivis.

Desakan Sesat DPR: Tuntaskan Kasus HAM Berat Tanpa Jalur Hukum
Foto-foto korban Tragedi 1998 dipamerkan pada Aksi Kamisan ke-501, Jakarta, Kamis (3/8). tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Pernyataan Komisi III DPR RI tentang kasus pelanggaran HAM berat masa lalu baru-baru ini dinilai tak akan memberikan keadilan bagi korban jika terealisasi. Mereka mendesak Komisi Nasional Perlindungan Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyelesaikan kasus secara non-yudisial atau di luar pengadilan. Alasannya, karena banyak terduga pelaku yang telah meninggal dan saling lempar bola berkepanjangan antara Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung.

"Kenapa Komnas HAM tidak juga menyampaikan usulan alternatif penyelesaian, yang non-yudisial? Yang penting ada penyelesaian karena saya tidak bisa membayangkan penyelesaian yudisial terhadap perkara yang terjadi sebelum tahun, katakanlah 1990, seperti kasus '65, petrus, dan Talangsari," kata anggota DPR dari Fraksi PPP Arsul Sani dalam rapat dengar pendapat dengan Komnas HAM, Selasa (6/4/2021).

Suara serupa disampaikan anggota DPR dari fraksi Gerindra Habiburokhman. Menurutnya, pembuktian pelanggaran HAM masa lalu di pengadilan akan sangat berat. Ia berkaca pada pengadilan HAM Abepura--yang bagi LSM HAM Elsam sekadar "pengadilan pura-pura" --yang membebaskan para terdakwa dan gagal memberikan keadilan bagi korban.

Anggota DPR dari fraksi Partai Demokrat Santoso juga berpendapat sama, dan dia membawa-bawa sentimen nasionalisme. Menurutnya Komnas HAM harus memperhatikan budaya Indonesia sehingga pendekatan non-yudisial harus dilaksanakan alih-alih yudisial yang menurutnya merupakan desakan luar negeri.

"Kalau bicara HAM, kita jangan takut dengan negara lain. Komnas HAM harus membela merah putih, membela NKRI. Meskipun Komnas HAM adalah lembaga independen, tapi di sisi lain harus menjaga keutuhan negara ini," kata Santoso.

Anggota DPR dari fraksi PKS Adang Daradjatun pun menyuarakan ini.

Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menyebut desakan para legislator sebetulnya senada dengan rekomendasi Komnas HAM tahun 2018. Undang-Undang 26 Tahun 2000 juga telah membuka peluang dibuatnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang menurut Beka bertugas mengungkap kebenaran, menggelar rekonsiliasi, dan memberikan kompensasi kepada korban.

Namun, tidak semua harus diselesaikan secara non-yudisial, katanya. "Tentu saja ini mekanisme yang ada dalam instrumen HAM internasional juga. Sepanjang kita bersandar pada tiga hal yang saya bilang itu bisa membawa keadilan," kata Beka kepada reporter Tirto, Rabu (7/4/2021).

Ditolak Korban

Maria Catarina Sumarsih, ibu dari mahasiswa korban Tragedi Semanggi I Benardinus Realino Norma Irawan, menentang keras usul DPR. Keadilan baru bisa tercapai jika orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan anaknya dan pelanggaran HAM berat lain, katanya tegas, mendapatkan hukuman yang setimpal dari pengadilan.

Menurutnya, keadilan tak bisa diperoleh hanya dengan ganti rugi apalagi sekadar maaf-maafan.

Dia pun tak setuju dengan argumen nasionalisme sempit ala Santoso. Satu-satunya budaya Indonesia yang akan dilestarikan dengan penyelesaian non-yudisial, menurut Sumarsih, adalah budaya impunitas.

"Jaminan tidak terjadinya pelanggaran HAM berat itu tidak bisa hanya berupa selembar kertas yang ditandatangani presiden. Harus ada bukti nyata. Bukti nyatanya apa? Ya orang bersalah harus dihukum supaya jera," kata Sumarsih.

UUD 1945 tegas menggariskan Indonesia adalah negara hukum. Mekanisme penyelesaian secara hukum pun telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, katanya.

Sementara eks tahanan politik 1965 Bedjo Untung mendukung penyelesaian non-yudisial sepanjang itu hanya pintu masuk pemenuhan keadilan bagi korban keganasan Orde Baru tahun 1965-1966, dan dilanjutkan dengan penyelesaian di pengadilan HAM. "Saya minta dengan sangat, mekanisme non-yudisial ini adalah pintu masuk untuk menuju penyelesaian secara yudisial," kata Bedjo.

Dia berpendapat demikian dengan pertimbangan bahwa saat ini banyak warga eks-tahanan politik 1965 yang sudah renta. Dengan pendekatan non-yudisial diharapkan mereka bisa segera mendapatkan rehabilitasi.

Menurut Bedjo, pendekatan yudisial penting untuk memberikan ganjaran bagi para pelaku dan untuk membersihkan nama eks-tapol yang selama ini telah tercemar. "Kalau non-yudisial dipaksakan, LPSK tidak akan bisa mengeksekusi ganti rugi untuk para korban karena belum ada kepastian hukum. Kepastian hukum itu baru bisa didapat kalau digelar pengadilan HAM," kata Bedjo.

Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menjelaskan penyelesaian secara non-yudisial adalah pendekatan yang mencoba menjawab problem keadilan yang tidak terjawab hanya dengan pendekatan yudisial. Pendekatan itu dilakukan bukan karena pelaku tidak dapat dihukum, justru karena penghukuman saja tidak cukup memberikan keadilan atas kejahatan dan kerusakan yang dilakukannya.

Artinya, pendekatan non-yudisial dipakai untuk melengkapi bukan malah menjadi dalih untuk menutup jalan keadilan.

Tap MPR Nomor V Tahun 2000 telah mengamanatkan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang bertugas mengungkap penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM pada masa lampau dan melaksanakan rekonsiliasi. Setelah pengungkapan kebenaran dapat dilakukan pengakuan kesalahan, permintaan maaf, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi guna membangun moral kolektif baru bagi bangsa.

Namun Usman menilai, pemerintah condong pada memaksakan aspek rekonsiliasi tapi tak pernah membicarakan tentang pengungkapan kebenaran.

"Rekonsiliasi tanpa pengungkapan kebenaran, tanpa pengakuan kesalahan, tanpa pertanggungjawaban pelaku, bukanlah rekonsiliasi," kata Usman.

Baca juga artikel terkait PELANGGARAN HAM atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino