tirto.id - Karier politik Jenderal Soeharto meroket di tengah kekacauan peristiwa G30S 1965. Ketidaksigapan Presiden Sukarno menyelesaikan masalah membuka jalan lempang baginya. Beberapa pentolan PKI terlibat dalam tragedi itu, tapi Sukarno tak mengambil tindakan apa-apa terhadap partai tersebut. Si Bung Besar justru dengan ringannya berkomentar, “Een rimpeltje in de oceaan—riak-riak kecil di tengah lautan.”
Gelombang demonstrasi mahasiswa yang tidak puas dengan kinerja Sukarno merebak selama Januari-Februari 1966. Dalam setiap aksinya, para demonstran konsisten mengajukan tiga tuntutan: bubarkan PKI beserta ormas-ormasnya, rombak Kabinet Dwikora, dan turunkan harga. Kini buku sejarah mencatat namanya sebagai Tritura atau Tri Tuntutan Rakyat.
Kekacauan politik yang dibiarkan berlarut-larut berimbas ke ranah sosial dan ekonomi. Saat itu, pemerintah tiba-tiba menerbitkan kebijakan menaikkan harga sembako hingga naik 300 sampai 500 persen. Belum lagi beban utang negara yang besarnya mencapai US$ 2,36 miliar.
“Terjadi kepanikan yang hebat dalam masyarakat, terlebih kalau diingat pada waktu itu menjelang Lebaran, Natal, dan Tahun Baru Tionghoa. Harga membumbung beratus-ratus persen dalam waktu hanya seminggu. Para pemilik uang melemparkan uangnya sekaligus ke pasar, memborong barang-barang,” tulis Soe Hok Gie dalam bunga rampai esai Zaman Peralihan (2005, hlm. 4).
Sukarno yang kian terjepit akhirnya meneken Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar). Sejak itu, kekuatan politik Soeharto kian tak terbendung. Sebagai Pengemban Supersemar, ia perlahan menggerogoti kekuatan politik Sukarno yang memang sudah babak belur.
Meski begitu, Soeharto memang memperbaiki banyak hal. Sehari setelah Supersemar diteken, PKI dan semua organisasi sayapnya dilikuidasi. Konfrontasi dengan Malaysia dihentikan dan Indonesia dibawa bergabung lagi dengan PBB. Kerja sama dengan International Monetary Fund (IMF) kembali dijalin dan pada April 1966 suatu kebijakan reformasi ekonomi diumumkan.
Pemerintah Soeharto berhasil pula menjadwal ulang pembayaran utang untuk meringankan beban keuangan negara. Undang-undang investasi baru yang lebih terbuka disahkan pada 1967 untuk menarik masuk modal asing. Langkah-langkah itu dipuji IMF dan Bank Dunia serta diganjar bantuan ekonomi dari negara-negara Barat.
“Langkah-langkah ini mendominasi kebijakan ekonomi pada tahun 1970-an. Strategi laissez-faire pintu terbuka untuk meningkatkan investasi asing dan pertumbuhan ekonomi maksimum diiringi dengan pengendalian ekonomi intern yang tegas,” tulis sejarawan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (2008, hlm. 573).
Segala perbaikan itu mendatangkan dukungan bagi Soeharto, baik dari kalangan sipil maupun militer. Soeharto lantas dianggap mampu mengemban aspirasi mereka dan membuka jalan bagi tegaknya rezim Orde Baru. Jargon revolusi berikut segala kekacauan eksospol era Demokrasi Terpimpin kini lindap, berganti mantra stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.
Namun, menurut pengamat politik Salim Said, semua itu hanyalah kesadaran palsu. Untuk memastikan stabilitas dan kelanggengan rezimnya, pada akhirnya Soeharto bertansformasi jadi otoriter. Bahkan, ia tak segan menyingkirkan rekan seiring atau pendukungnya yang dinilai mengancam kontrolnya.
“Dengan kebijakan ‘tangan besi bersarung sutra’, seperti yang sejak awal dipraktikkannya, secara perlahan Soeharto mengontrol negara dan tentara sebagai strategi menguasai Indonesia secara berkesinambungan,” tulis Salam Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016, hlm. 20).
Orde stabilitas itu ditegakkan Soeharto dengan beragam instrumen untuk menggilas oposisi. Mulai dari lembaga super bernama Kopkamtib, Litsus, hingga pemberangusan pers dan gerakan mahasiswa.
Kopkamtib dan Litsus
Gaya tangan besi dan sikap antikomunis Soeharto, sebenarnya sudah dipraktikkan pada hari-hari pertama usai G30S. Ketika diserahi tugas sebagai pemimpin sementara Angkatan Darat setelah Ahmad Yani terbunuh, Soeharto bersedia dengan syarat dia diserahi tugas "pemulihan keamanan dan ketertiban". Karena itulah ia membentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).
“Kopkamtib berasal dari kompromi yang dicapai antara Sukarno dengan Soeharto, pagi hari sesudah percobaan kudeta bulan Oktober 1965,” tulis Harold Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia (1986, hlm. 250).
Sebagaimana namanya, lembaga ini dibentuk untuk menertibkan kekacauan usai G30S. Tapi fungsi itu dengan cepat meluas, melebihi maksud semula. Kopkamtib memberangus para pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dianggap biang kerok G30S. Kopkamtib juga melakukan penyaringan dan pembersihan aparatur sipil negara dan militer yang terindikasi kiri. Sejak Juni 1966, penyaringan yang dilakukan Kopkamtib bahkan meluas sampai ke kampus-kampus.
“Aturan ini pun segera memakan korban. Hingga 1968 saja, di beberapa departemen seperti Departemen Pendidikan, Departemen Kesehatan, dan Departemen Perhubungan, dari pusat sampai daerah, terdapat 25.331 pegawai yang dipecat dan 28.963 orang dimutasi,” tulis majalah sejarah Historia (No.15/tahun II/2013).
Pada 1969 terbit Keputusan Pangkopkamtib No. Kep-010/Kopkam/3/1969 yang mengatur penyaringan dan pembersihan aparatur negara dengan lebih sistematis. Orang lazim menyebutnya Penelitian Khusus alias Litsus. Tak hanya mengawasi birokrasi, tim Litsus bahkan bisa masuk ke masyarakat luas. Lalu, sejak 1975 setiap calon pegawai negeri diharuskan memiliki “surat keterangan tidak terlibat G30S”.
Program Litsus tak hanya ditujukan bagi seseorang yang terindikasi terlibat G30S, tapi juga ke anak-cucunya. Mereka yang terjaring Litsus pada akhirnya bukan hanya hancur kariernya tapi juga mesti hidup dalam stigma. Orde Baru menjadikan komunisme dan orang-orang kiri sebagai hantu atau bahaya laten untuk membungkam potensi oposisi.
Demi keamanan dan ketertiban, Soeharto juga tak segan menggunakan teror. Itu tampak misalnya ketika penembak misterius alias petrus membunuh para kriminal di awal 1980-an. Petrus, sebagaimana diakui Soeharto, adalah “terapi kejut” bagi para kriminal.
Operasi Petrus ditengarai bermula di Yogyakarta dan diprakarsai Komandan Distrik Militer Yogyakarta Letnan Kolonel Muhammad Hasbi. Salim Said menyebut, operasi ini lalu diam-diam “dinasionalkan” oleh Kopkamtib di bawah komando Jenderal Benny Moerdani. Tapi dari sumber lainnya, Salim Said menyebut bahwa operasi pembasmian bandit ini sebenarnya sudah dilancarkan sejak Kopkamtib dipimpin oleh Laksamana Sudomo.
Salim juga menilai bahwa Petrus berdimensi politik. Konon, para bandit yang tewas adalah mantan binaan Ali Moertopo—orang kepercayaan Soeharto di masa awal Orde Baru. Para bandit itu dulunya dipakai untuk meneror oposisi, terutama dari kalangan Islam politik. Mereka dibunuh dengan alasan sudah tak bisa dikendalikan dan mulai mengganggu masyarakat.
“Karena itulah, operasi pembantaian para pelaku kriminal itu juga ditafsirkan sejumlah wartawan dan pengamat politik masa itu sebagai usaha pembersihan kaki tangan Ali Murtopo,” tulis Salim (hlm. 77).
Menekan Gerakan Mahasiswa dan Pers
Meski kerap menggunakan kekerasan dalam membungkam oposisi, Orde Baru bukannya tak pernah dapat tantangan. Di masa awal Soeharto mengonsolidasikan rezimnya, ia pernah diprotes oleh mahasiswa.
Pada 15 Januari 1974, Presiden Soeharto dan beberapa menteri bertemu dengan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka di Istana Negara, Jakarta. Pada saat bersamaan, ribuan orang yang sebagian besar terdiri dari mahasiswa dan pelajar SMA, turun ke jalan melancarkan protes. Mereka berteriak lantang menentang derasnya investasi Jepang yang masuk ke Indonesia.
Hariman Siregar adalah ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DM UI) sekaligus pimpinan aksi massa pada hari itu. Atas komandonya, para mahasiswa melakukan long march dari kampus UI, Salemba, menuju Universitas Trisakti, Jalan Kiai Tapa, Jakarta Barat. Mereka mengajukan tiga tuntutan yang dinamakan “Tritura Baru 1974”: Pertama, bubarkan lembaga Asisten Pribadi Presiden (Aspri); kedua, turunkan harga; ketiga, ganyang korupsi.
Bagi para demonstran, modal asing yang beredar di Indonesia sudah berlebihan. Menurut mereka, Tanaka berikut investasi, korporasi, dan produk-produk asal Jepang adalah bentuk imperialisme gaya baru.
Namun, di penjuru lain Jakarta, aksi massa yang tak terkendali juga berlangsung. Salah satu yang paling mencekam terjadi di Pasar Senen. Di sana massa membakar proyek kompleks pertokoan yang baru saja dibangun. Anehnya, menurut laporan jurnalis New York Times Richard Halloranjan, sebagian besar polisi dan tentara yang dikirim untuk berpatroli hanya berdiri dan menonton. Mereka hampir tidak melakukan tindakan apapun untuk menghentikan para demonstran.
Baru pada sore hari, peluru peringatan ditembakkan ke udara. Lalu, setelah malam tiba, aparat keamanan mulai bertindak kasar. Polisi mengangkut sekitar selusin demonstran ke kantor polisi. Sebagian dari mahasiswa itu juga mendapat kekerasan fisik dari tentara. Demonstrasi dan kerusuhan masih membara hingga keesokan harinya, 16 Januari 1974. Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin sampai turun tangan menemui mahasiswa ke kampus UI di Salemba.
Peristiwa yang kini disebut Malapetaka Limabelas Januari (Malari) itu mengakibatkan 807 mobil dan motor buatan Jepang hangus dibakar massa, 11 orang meninggal dunia, 300 luka-luka, 144 buah bangunan rusak berat, 160 kg emas dijarah dari toko-toko perhiasan.
Soeharto menyelesaikan kekacauan itu dengan tangan besi. Sebanyak 750 orang aktivis mahasiswa dan cendekiawan diciduk aparat. Di antaranya Hariman Siregar yang kemudian dijatuhi hukuman 6 tahun penjara, Sjahrir, Yap Thiam Hien, Mohtar Lubis, Rahman Tolleng, dan Aini Chalid.
“Para tokoh itu ditahan berdasar Undang-undang Antisubversi. Sebagian dari mereka dibebaskan setahun setelah meringkuk di penjara, karena terbukti tak terlibat. Pengadilan berdasar UU Antisubversi itu menuai kecaman,” tulis redaksi majalah Tempo dalam Soeharto: Setelah Sang Jenderal Besar Pergi (2018, hlm. 124).
Tak hanya itu, beberapa media juga jadi sasaran rezim karena dianggap memberikan proporsi berita berlebihan dan memanaskan suasana. Tercatat di antaranya Harian Abadi, Pedoman, Indonesia Raya, Harian KAMI, dan The Jakarta Times diberedel pemerintah.
Pemberangusan protes seperti itu terjadi lagi pada Maret 1978. Kala itu, sejumlah perwakilan mahasiswa dari Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya mendatangi Istana Presiden dan menyampaikan desakan agar Soeharto tak lagi mencalonkan diri jadi presiden. Saat itu, Soeharto tak ada di Istana Presiden, dan desakan mahasiswa dijawab Kepala Staf Kopkamtib Laksamana Sudomo dengan represi.
Beberapa media yang ikut menggaungkan desakan mahasiswa itu dibredel. Laksamana Sudomo juga mengerahkan sejumlah pasukan untuk menduduki sejumlah kampus dan menciduk sekira 143 mahasiswa.
“Banyak di antara mereka dikirim ke penjara setelah diadili. Dan surat kabar-surat kabar yang terberangus hanya bisa terbit kembali setelah terlebih dahulu setuju dengan syarat—kesediaan menyensor diri sendiri—yang disiapkan oleh Sudharmono, Sekretaris Negara waktu itu,” tulis Salim Said (hlm. 183).
Dengan cara-cara otoriter seperti itulah Soeharto melanggengkan rezim dan stabilitas yang dia inginkan. Pada dekade 1980-an Orde Baru benar-benar tak tergoyahkan.
Editor: Irfan Teguh