Menuju konten utama

Dekompresi, Momok yang Mengintai Para Penyelam

Dekompresi saat penyelaman skuba terjadi karena tubuh mendapat perubahan tekanan air atau udara yang terlalu cepat.

Dekompresi, Momok yang Mengintai Para Penyelam
Penyelam menggunakan kabel jangkar sebagai bantuan untuk kontrol kedalaman selama penghentian dekompresi. FOTO/Wikipedia

tirto.id - Di tengah pilu keluarga korban dan operasi penyelaman pencarian jatuhnya pesawat Lion Air JT610 di perairan Karawang Jawa Barat, kabar duka kembali datang. Syachrul Anto, seorang relawan penyelam penyelamat dari komunitas Indonesia Diver Rescue Team yang bergabung dengan Basarnas, meninggal dunia pada Jumat (2/11) malam.

Sebelum menghembuskan napas terakhir, Syachrul diboyong ke Dermaga JICT Tanjung Priok menggunakan kapal Pertamina Victory sekitar pukul 21.30 WIB. Di atas kapal, tim dokter langsung menangani Syachrul yang sempat sadar dan dimasukkan ke chamber (chamber decompression) karena diduga mengalami dekompresi.

Namun, kondisi Syachrul kembali tidak sadarkan diri dan diteruskan ke RSUD Koja, Jakarta Utara. Saat di RS Koja, nyawanya tak tertolong lagi. Jenazah Syachru langsung diterbangkan ke rumah duka di Surabaya, Jawa Timur.

Komandan Satuan Tugas SAR Kolonel Laut Isswarto pada Sabtu di Jakarta mengatakan, penyebabnya kematian Syachrul karena dekompresi. "Almarhum menyelam lebih lama dari seharusnya. Sesuai jadwal para penyelam naik jam 16.00 WIB, tetapi dia naik 30 menit lebih lama," kata Isswarto.

Dekompresi adalah momok bagi para penyelam. Saat operasi pencarian pesawat AirAsia QZ8501 pada Desember 2014, seluruh tim SAR dari TNI AL sempat ditarik. Penyebabnya karena 19 dari 81 penyelam TNI AL mengalami dekompresi.

Dekompresi menjadi salah satu risiko yang mengintai para penyelam. Misalnya di Honduras, dari 1970-an sampai 2013 diperkirakan ada lebih dari 2.000 penyelam terluka, dan 300 di antaranya meninggal sebagai akibat dari penyelaman yang tidak aman, dan menyebabkan dekompresi.

Mengapa Dekompresi?

Ada banyak jenis penyelaman berdasarkan alat dan tujuannya. Mulai dari yang tidak menggunakan alat suplai udara seperti snorkling dan free diving, atau scuba (Self Contained Underwater Breathing Apparatus) diving yang menggunakan tabung udara.

Penyelaman skuba dipakai untuk banyak tujuan, seperti membetulkan konstruksi di dalam laut, kepentingan penelitian ilmiah, komersil, misi penyelamatan dan lainnya. Saat melakukan penyelaman skuba, tabung udara berisi oksigen yang dibawa para penyelam umumnya punya komposisi yang sama dengan udara yang dihirup di permukaan, yaitu 79 persen nitrogen dan 21 persen oksigen.

Di permukaan, gas nitrogen yang kerap terhirup oleh manusia tak punya efek khusus ke tubuh dan bisa terbuang langsung dalam sistem pernapasan. Namun, dalam keadaan penyelaman, seiring dengan tekanan air yang makin dalam makin kuat, nitrogen akan bereaksi mempengaruhi kesadaran penyelam atau disebut dengan efek nitrogen narkosis. Selain itu, bisa menyebabkan penyakit dekompresi ketika penyelam kembali ke permukaan.

Dekompresi saat penyelaman skuba terjadi karena tubuh mendapat perubahan tekanan air atau udara yang terlalu cepat. Ini membuat nitrogen dalam darah membentuk gelembung yang menyumbat pembuluh darah dan jaringan organ yang kemudian menimbulkan dekompresi.

Dekompresi bisa beragam dan bertingkat, dari hanya kesemutan, pusing, nyeri sendi, vertigo, sesak napas sampai yang parah seperti perubahan perilaku, amnesia, pingsan, menderita kelumpuhan hingga kematian.

Untuk mengatasinya, perlu penanganan tepat. Misalnya dengan mematuhi aturan batas lama waktu menyelam dengan kedalaman tertentu. Kemudian dari kedalaman tertentu tidak diperkenankan langsung meluncur naik ke atas permukaan air laut. Perilaku seperti itu dihindari agar tidak terjadi dekompresi pada tubuh penyelam.

Infografik Penyebab Decompression Sickness

Dikutip dari International SCI-TECH Diving Assocation (ISTDA), pelepasan nitrogen perlu dilakukan secara bertahap. Penyelam harus naik perlahan serta berhenti di kedalaman tertentu. Proses seperti ini memungkinkan gas nitrogen terlepas secara perlahan dari tubuh yang biasa disebut "off-gassing".

Indra Patriasandi, salah satu instruktur menyelam yang tergabung dalam Professional Association of Diving Instructors (PADI) menjelaskan, bahwa penyelaman skuba mempunyai aturan baku yang wajib dipatuhi. Mulai dari mengenai kedalaman menyelam dan lama berhenti, titik istirahat saat perjalanan ke permukaan hingga kapan waktu ideal untuk kembali menyelam setelah dari permukaan. Aturan tersebut tercantum dalam dive table yang sudah disepakati di seluruh dunia.

Pria yang sempat ditawari bergabung dalam relawan penyelam penyelamat Basarnas ini kemudian menjelaskan bagaimana seorang penyelam skuba sangat rentan dengan yang namanya dekompresi.

"Misalnya saya menyelam sampai kedalaman tiga meter dan ada batas waktu maksimum di titik tersebut. Misal hanya boleh tiga menit tapi ternyata saya over jadi lima menit. Nah, itu sudah termasuk dekompresi," ujar Indra kepada Tirto.

"Pasti rata-rata pernah (dekompresi). Penyelam yang sudah tinggi jam selamnya. Maksudnya, dekompresi tergantung itu tadi, misal kelebihan satu dua menit di kedalaman, kan pasti pernah," paparnya.

Kelebihan waktu bisa dibayar dengan cara berhenti di kedalaman tertentu saat penyelam melakukan perjalanan naik ke permukaan. Teknik ini disebut decompression stops. Selain itu, penyelam biasanya menetralisir kadar nitrogen dalam tubuh dengan masuk ke chamber decompression sebuah ruangan penetralisir nitrogen, menghirup oksigen murni, atau tidak menyelam kurang dari 24 jam.

Naik ke permukaan air laut juga harus dilakukan secara bertahap. "Jadi tubuh kita harus menyesuaikan. Kan di bawah tekanan air berbeda-beda. Nah, naik harus pelan-pelan karena tubuh kita harus menyesuaikan keadaan sekitar untuk membuang nitrogen. Kita biasanya berhenti di akhir penyelaman di kedalaman lima sampai enam meter selama tiga sampai enam menit. Itu namanya safety drop," papar Indra.

Kini para penyelam profesional rata-rata memakai dive computer yang kadang berbentuk jam tangan. Lewat alat tersebut, penyelam bisa tahu kapan harus berhenti, menempuh waktu, dan naik ke permukaan dengan aman. Penyelaman juga memiliki jenjang tertentu

Ada beberapa tingkatan yang ditempuh oleh seorang penyelam skuba, mulai dari yang paling awal open water, kedua advance open water, ketiga rescue diver, keempat dive master dan seterusnya. Para penyelam penyelamat seperti yang tergabung dalam Basarnas minimal berada di level rescue diver.

Untuk mencapai jenjang rescue diver di level ketiga, para penyelam harus lebih dahulu menempuh sertifikasi first aid dan cardiopulmonary resuscitation (CPR).

Ricky Soerapoetra selaku Ketua Umum Masyarakat Selam Indonesia (MASI) melihat, selain seluruh penyelam skuba wajib mematuhi aturan saat menyelam, faktor kebugaran penyelam ikut andil mempengaruhi terjadinya dekompresi.

"Terkait tubuh kita sehat apa tidak. Kalau sudah lelah karena melakukan sesuatu sebelumnya, misal olahraga fitnes pagi, ya risiko dekompresi saat melakukan penyelaman lebih tinggi dibanding yang masih segar. Sungguh sangat diperlukan penyelam yang sudah mumpuni baik psikologi emosi dan fisiknya," ujar Ricky kepada Tirto.

Dalam kasus meninggalnya Syachrul Anto, baik Ricky maupun Indra belum berani menyimpulkan penyebab kematian rekannya sesama penyelam skuba itu murni karena dekompresi atau ada faktor pendorong lain. "Apapun jenis penyelamannya harus dengan perencanaan dan mengikuti perencanaan sesuai standar sertifikasi," ujar Ricky.

Baca juga artikel terkait DEKOMPRESI PENYELAM atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Tony Firman
Editor: Suhendra