Menuju konten utama

Kotak Hitam Pesawat: Kian Sulit Diandalkan di Era Real Time

Kotak hitam adalah perangkat vital yang senantiasa dicari ketika sebuah pesawat mengalami kecelakaan. Namun, teknologinya yang tak kunjung diperbarui justru mempersulit penyelidikan.

Kotak Hitam Pesawat: Kian Sulit Diandalkan di Era Real Time
Ilustrasi Kotak hitam pesawat. FOTO/iStock

tirto.id - Belum sepenuhnya hilang dari ingatan tentang jatuhnya pesawat Air Asia QZ 8501 rute Surabaya-Singapura di Laut Jawa yang menelan ratusan korban jiwa pada 28 Desember 2014 lalu, dunia penerbangan Indonesia harus kembali berduka.

Senin (29/10) pagi, pesawat Lion Air JT610 tujuan Jakarta–Pangkal Pinang semestinya mendarat mulus di Bandara Depati Amir, Pangkal Pinang pukul 07.20 WIB. Namun, baru 13 menit lepas landas dari Bandara Internasional Soekarno–Hatta atau pukul 06.33 WIB, pesawat tersebut dinyatakan hilang kontak.

Pesawat Boeing 737 MAX 8 yang baru dioperasikan oleh Lion Air sejak 15 Agustus 2018 ini terakhir terlacak berada di koordinat 05 46.15 S-107 07.16 R KMA. Lokasi itu berada di wilayah Perairan Tanjungbungin, Karawang, Jawa Barat.

Basarnas memberikan kepastian bahwa pesawat benar jatuh pada pukul 10.16 pagi di hari yang sama berdasarkan data di lapangan. “Kami temukan ada puing, pelampung, handphone,” ucap Kepala Basarnas Muhammad Syaugi.

Dalam kondisi kecelakaan pesawat seperti ini, selain misi evakuasi jenazah korban, pencarian black box atau kotak hitam pesawat Lion Air JT610 menjadi penting. Di dalam kotak hitam inilah data penerbangan yang berkaitan dengan detik-detik jatuhnya pesawat ke perairan terekam, termasuk percakapan terakhir antara pilot dan ko-pilot.

Untuk memburu kotak hitam di Lion Air JT610, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dilibatkan dengan menurunkan Kapal Riset Baruna Jaya I, yang sebelumnya digunakan untuk mencari kotak hitam pesawat Air Asia QZ 8501 pada awal 2015.

Asal Usul Kotak Hitam

Usulan menaruh kotak hitam di badan pesawat komersial dicetuskan oleh David Warren, seorang ilmuwan Australia. Ayahnya meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat Bass Strait pada tahun 1934. Kehilangan sang ayah mendorong Warren untuk membuat sebuah perangkat yang bisa mengenali secara rinci penyebab kecelakaan pesawat. Pada 1950-an Warren terlibat dalam tim investigasi kecelakaan pesawat komersil pertama, Comet.

Pada 1953, saat Warren bekerja di Aeronautical Research Laboratories (ARL), Melbourne, ia menyempurnakan kotak hitam, dari yang semula hanya mampu merekam detail penerbangan menjadi alat yang bisa merekam suara di kokpit pesawat. Temuan dan gagasannya itu ia terbitkan dalam sebuah laporan berjudul "Sebuah Alat untuk Membantu Investigasi dalam Kecelakaan Pesawat".

Dilansir dari situsweb Kementerian Pertahanan Australia, kotak hitam versi Warren sempat menarik perhatian otoritas penerbangan di Inggris dan Kanada. Namun, temuan Warren tak begitu menarik minat pemerintah Australia. Baru setelah kecelakaan pesawat Fokker di Mackay, Queensland pada 1960, hakim penyelidikan merekomendasikan agar kotak hitam hasil inovasi Warren dipasang di semua pesawat terbang.

Australia menjadi negara pertama di dunia yang mewajibkan pemasangan kotak hitam yang dapat merekam suara dari kokpit. Sejak itu, kotak hitam modern menyebar dan diadopsi secara universal sebagai perangkat baku untuk menyelidiki kecelakaan pesawat.

Cikal bakal kotak hitam sendiri dapat ditelusuri hingga ke tahun 1939. Saat itu, François Hussenot dan Paul Beaudouin dari Perancis memperkenalkan "Type HB", alat perekam penerbangan (flight recorder) berbasis fotografi. Data yang direkam meliputi ketinggian, kecepatan dan lainnya. Namun, menurut Aircraft Electronics Association (PDF), kotak hitam "Type HB" ketika itu hanya diperuntukkan di lingkungan laboratorium uji terbang saja.

Setelah bertahun-tahun hanya dipakai untuk keperluan riset terkait Perang Dunia II, kotak hitam temuan Hussenot dan Beadouin mulai dikomersilkan pada 1947. Di bawah bendera perusahaan Société Française des Instruments de Mesure (SFIM), kotak hitam itu didistribusikan sebagai alat perekam data yang tak hanya digunakan di pesawat, tetapi juga di kereta api dan kendaraan lainnya. Sejak itu, kotak hitam terus mengalami penyempurnaan, termasuk di era Warren.

Minim Inovasi?

Tak seperti namanya, kotak hitam pesawat justru berwarna oranye mencolok. Sejak era Warren, kotak hitam modern terdiri dari dua bagian: perekam data penerbangan (FDR) dan perekam suara kokpit (CVR).

Bagian FDR kotak hitam mendokumentasikan kinerja mesin, kontrol kokpit, peralatan hidraulik, sistem GPS, aliran bahan bakar, dan lainnya. Semuanya dicatat dalam interval per satu detik selama 25 jam penerbangan. Sedangkan CVR bertugas merekam percakapan di kokpit antara pilot dan co-pilot termasuk latar suara kebisingan selama dua jam penerbangan.

Kotak hitam dirancang secara khusus untuk tahan banting. Bagian FDR biasanya dibungkus dengan lapis titanium atau baja tahan karat. Perangkat yang bisa menahan suhu panas sampai 1.100 derajat Celcius selama 30 menit, tahan benturan, dan kedap air sampai kedalaman 6.000 meter ini dilengkapi sensor yang memancarkan sinyal jika menyentuh air dan bisa berfungsi pada kedalaman lebih dari empat kilometer. Sinyal darurat terus dikirimkan kotak hitam selama 30 hari sampai baterainya habis.

Kotak hitam umumnya diletakkan di bagian ekor pesawat, sebuah tempat yang dianggap paling aman. Setelah berhasil ditemukan, kotak hitam dibawa ke laboratorium untuk diunduh datanya. Proses pengunduhan dan rekonstruksi data ini bisa memakan waktu berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan.

Kumpulan data penerbangan tentu sangat memudahkan para penyelidik untuk merekonstruksi kembali detik-detik terakhir ketika pesawat jatuh. Namun, inovasi teknologi kotak hitam belakangan terasa mandek. Pasalnya, di tengah pesatnya perkembangan teknologi komunikasi, kotak hitam belum mampu mengirimkan data penerbangan secara real time.

Akibatnya, pencarian penyebab kecelakaan pesawat kerap memakan waktu lama. Beberapa kasus bahkan tak pernah terungkap.

Mencari kotak hitam berarti mencari bangkai pesawat. Ketika pesawat jatuh di perairan luas atau di sebuah kawasan terpencil lainnya, biasanya yang menjadi titik acuan pencarian pertama adalah koordinat terakhir di mana pesawat kehilangan kontak. Namun, dalam beberapa kasus, sangat mungkin badan pesawat bergeser dari titik koordinat saat hilang kontak dan mempersulit pencarian kotak hitam.

Pada 1 Juni 2009, pesawat Air France 447 rute Rio de Janeiro ke Paris hilang di Samudera Atlantik. Karena yang jatuh adalah pesawat jenis baru dan tergolong canggih, spekulasi liar terus bermunculan hingga 2011 ketika bangkai pesawat Air France beserta dan kotak hitamnya ditemukan.

Pada Mei 2016, pesawat EgyptAir 804 menghujam Laut Mediterania. Butuh waktu sekitar sebulan untuk menemukan reruntuhan pesawat dan kotak hitam di kedalaman 3.000 meter, dan beberapa hari untuk memulihkan perekam data penerbangan.

Kotak hitam bahkan bisa raib, sebagaimana yang terjadi pada kasus hilangnya pesawat MH370 rute Kuala Lumpur-Beijing pada Maret 2014. Pesawat tersebut diduga jatuh di perairan Samudra Hindia. Sampai detik ini, lokasi bangkai pesawat beserta kotak hitamnya belum juga ditemukan. Gilanya lagi, belakangan diketahui bahwa baterai kotak hitam yang sedianya bisa memancarkan sinyal darurat rupanya sudah habis satu setahun sebelum pesawat jatuh.

Infografik Black Box

Keberadaan kotak hitam hari ini tampak mubazir. Beberapa ahli menyatakan, sudah saatnya metode pengumpulan data penerbangan diperbarui agar bisa berjalan secara real time.

Dilansir dari Aerotime News Hub, peneliti Cranfield University di Inggris pernah memperkenalkan sistem algoritma yang dapat mendeteksi dini situasi abnormal pesawat dan mentransmisikan data melalui satelit.

Jika nantinya catatan di kokpit dan data penerbangan bisa secara terus-menerus dikirim ke satelit, maka kotak hitam sebagai media penyimpanan konvensional bisa dipensiunkan. Di sisi lain, data rekaman penerbangan diperkirakan akan memakan bandwidth besar saat dialirkan secara real time ke pihak penerima.

BBC melaporkan, beberapa produsen dan maskapai penerbangan mulai bereksperimen dengan cara-cara perekaman baru. Pada awal 2016, Maskapai Qatar Airlines mengumumkan rencana penerapan sistem pengiriman data pesawat ketika terbang ke operator di darat. Di tahun yang sama, produsen pesawat Perancis Airbus mengumumkan akan melakukan pembicaraan dengan Badan Keselamatan Penerbangan Eropa untuk mendorong persetujuan tentang kotak hitam yang dapat terlontar secara otomatis saat pesawat jatuh sehingga lebih mudah ditemukan.

Ketika sebuah inovasi baru diperkenalkan, tentu akan ada biaya tambahan dan tenaga ekstra untuk melobi otoritas penerbangan. Namun, jika terbukti berhasil, manfaatnya akan sangat besar bagi dunia penerbangan di masa mendatang.

Baca juga artikel terkait LION AIR JATUH atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Teknologi
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf