Menuju konten utama

Degradasi Perlindungan KBB dan Kewajiban Kepala Daerah

Komnas HAM memberi penghargaan kepada kepala daerah, termasuk walikota Bandung dan Bekasi, untuk upaya mereka melindungi kebebasan beragama. Ini menjadi teladan yang baik di tengah menguatnya sentimen anti minoritas agama dan keyakinan.

Degradasi Perlindungan KBB dan Kewajiban Kepala Daerah
Komisioner Komnas HAM Nur Kholis berfoto bersama Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi dan Walikota Kupang Jonas Salean dalam penghargaan walikota pembela kebebasan beragama dan berkeyakinan. Foto/istimewa

tirto.id - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia memberikan penghargaan kepada tiga walikota atas keberaniannya melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB). Mereka adalah WaliKota Bandung Ridwan Kamil, Walikota Bekasi Rahmat Effendi, dan Walikota Manado Vicky Lumentut. Ketiganya dianggap bisa "memberikan solusi atas masalah hak KBB yang terjadi di daerahnya masing-masing."

Koordinator Desk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Komnas HAM, Jayadi Damanik, mengatakan penilaian terhadap tiga walikota itu didasarkan pada lima aspek: pandangan individu, kepemimpinan, kebijakan yang melindungi dan tidak diskriminatif, langkah-langkah hukum terhadap pelanggar KBB, pemulihan korban pelanggaran KBB.

“Masing-masing memiliki prestasi sendiri di daerahnya,” kata Jayadi sebelum menyerahkan penghargaan di Balai Kartini, Jakarta Selatan, Kamis (16/3).

Ridwan Kamil dianggap berani mengeluarkan dua izin gereja yang mendapat penolakan sebagian warga. Dua gereja itu Gereja Batak Karo Protestan Bandung Barat dan Gereja Rehoboth Berea. Selain itu, Ridwan juga dinilai tegas dalam kasus pelarangan Kebaktian Kebangkitan Rohani (KKR) di Gedung Sabuga pada Desember 2016.

“Meminta ormas yang terlibat untuk meminta maaf dan merealisasikan janji memberikan tempat pelaksanaan ulang KKR dan menjamin keamanannya,” kata Jayadi menjelaskan prestasi Ridwan Kamil.

Walikota Bekasi Rahmat Effendi meraih penghargaan itu lantaran ia menerbitkan izin untuk empat gereja yang mendapat penolakan dari ormas intoleran. Empat gereja itu: Gereja Santa Clara, Gereja Galilea, Gereja Kalamiring, dan Gereja Manseng. Rahmat dianggap tegas tidak mencabut Izin Mendirikan Bangunan empat gereja tersebut meski ada desakan dari ormas intoleran.

Sementara Walikota Manado Vicky dianggap memiliki ketegasan dan solusi adil dalam masalah pendirian Masjid Al Khariyah yang ditolak sejumlah ormas di Manado. Di daerah yang mayoritas penduduknya beragama Kristen dan Katolik, Vicky tetap berpegang pada aturan pendirian rumah ibadah.

Andreas Harsono dari Human Rights Watch, organisasi hak asasi manusia berbasis di New York, menilai pemberian penghargaan itu sudah sepantasnya. Ketiganya, dalam keterbatasan wewenang, mampu memberikan sesuatu yang baik untuk menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan.

“Mereka berusaha berbuat lebih baik daripada penguasa daerah lain. Kalau di Bandung, ya Ridwan Kamil lebih baik dari Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan,” katanya, Kamis (16/3).

Perlawanan kecil-kecilan itu, menurut Andreas, sangat berarti. Dalam konteks Jawa Barat, provinsi dengan tingkat pelanggaran HAM tertinggi, sosok seperti Ridwan Kamil dan Rahmat Effendi bisa memberikan teladan yang baik. Begitu pula terhadap Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, yang hadir sebagai salah satu pembicara saat acara penghargaan tersebut.

“Mereka memberikan contoh yang menghargai prinsip kesetaraan warga negara. Saya kira itu contoh yang baik. Bahwa mereka tidak mencabut SK gubernur soal SKB anti-Ahmadiyah di Bandung, itu memang di luar wewenang mereka,” ujar Andreas.

Infografik Penghargaan Walikota Pembela KBB

Kewajiban Kepala Daerah

Undang-Undang Dasar 1945 dengan tegas menjamin kebebasan beragama yang tertuang dalam pasal 29(2): "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Ini diperinci lewat pasal 28E: "setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”

Namun, dalam praktiknya, kebebasan beragama selama 13 tahun terakhir mengalami degradasi. Dari laporan Komnas HAM pada 2016, ada 97 pengaduan soal pelanggaran KBB, meningkat dari 87 pengaduan pada 2015. Laporan ini menyebutkan bahwa para pelaku terbanyak pelanggaran atas KBB adalah pemerintah daerah.

Kasus terbaru pada awal tahun 2016 yang menyasar komunitas Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar), organisasi sekaligus sebuah sekte Islam yang dideklarasikan pada Januari 2012 dan berkantor pusat di Jakarta. Ketiga pengikutnya, termasuk pemimpinnya Ahmad Mussaddeq, divonis penjara antara 3 dan 5 tahun, dengan dakwaan makar dan penodaan agama di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, 7 Februari lalu. (Baca: Memenjarakan Gafatar)

Dalam laporan Human Rights Watch tahun 2013, "Atas Nama Agama: Pelanggaran terhadap Minoritas Agama di Indonesia", ada sejumlah infrastruktur hukum yang membatasi kebebasan beragama. Ini termasuk Pasal penodaan agama 1965 (menjerat sejumlah individu sohor termasuk gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama), SKB 2006 tentang rumah ibadah yang membatasi pendirian gereja maupun masjid, dan SKB anti-Ahmadiyah 2008 yang mendorong persekusi hingga pembunuhan. Kasus terbaru adalah penutupan paksa sebuah masjid Ahmadiyah di Depok, Jawa Barat, pada 24 Februari lalu, yang dilakukan oleh Pemkot Depok.

Undang-Undang Pemerintahan Daerah tahun 2004 mengatur desentralisasi kewenangan yang semula terpusat, tetapi agama, bersama bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskas nasional, tetap menjadi otoritas pemerintah pusat. Pasal 27(1) dalam undang-undang ini menegaskan bahwa kepala daerah dan wakil kepala

daerah wajib "memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia."

Pendeknya, apa yang dilakukan oleh Ridwan Kamil, Rahmat Effendi, dan Vicky Lumentut sebenarnya sesuatu yang biasa. Menjamin kebebasan beragama sudah menjadi kewajiban pemimpin daerah. Mereka menjadi luar biasa, dan diberi dorongan berupa penghargaan, karena banyak kepala daerah lain yang mendegradasi batas standar perlindungan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Baca juga artikel terkait KEBEBASAN BERAGAMA atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Hukum
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam