tirto.id - Meski mengatakan kalau menjadi oposisi itu mulia, Joko Widodo pada dasarnya tetap membuka pintu koalisi bagi partai pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Di antara semua partai oposisi, yaitu Gerindra, PAN, PKS, dan Demokrat (Berkarya dikecualikan karena mereka tak lolos ambang batas parlemen), nampaknya hanya PKS yang tak bakal pindah haluan, demikian prediksi peneliti dari LSI Denny JA, Rully Akbar.
Alasannya terkait dengan basis pemilih PKS itu sendiri. Rully bilang, sebagian besar pemilih PKS adalah mereka yang tak mendukung Jokowi. Dengan masuk ke pemerintahan, PKS berisiko ditinggal para pendukungnya--pada pileg terakhir pemilih PKS sebanyak 11.493.663 orang, atau setara 8,21 persen suara.
"Ketika PKS menjilat ludah sendiri dengan masuk ke Jokowi, ya otomatis pemilih mereka kabur perlahan. Agak sulit me-recovery pemilih utama mereka," kata Rully kepada reporter Tirto, Rabu (17/7/2019).
Sejauh ini setidaknya ada dua partai oposisi yang mungkin akan pindah haluan ke kubu Jokowi: PAN dan Demokrat.
Demokrat adalah partai oposisi pertama yang tercium tengah bermanuver. Usaha Demokrat merapat ke kubu pemerintah segera dilakukan setelah pengumuman Pilpres 2019, ditandai dengan bertamunya Komandan Kogasma Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono ke Istana Negara, bertemu Joko Widodo. Yang kedua adalah PAN, ditandai dengan pernyataan Wakil Ketua PAN Bara Hasibuan yang menyebut mayoritas kader PAN ingin bergabung di Jokowi.
Sementara Gerindra, sejauh ini telah menyatakan sikap bukan oposisi, tapi juga enggan gabung ke petahana. Mereka membuka peluang untuk mendukung pemerintah pada kebijakan tertentu, tapi menentangnya pada isu lain.
Komposisi itu sebenarnya membuat oposisi jadi sekadar formalitas belaka. Tapi bagi PKS, ini menguntungkan. Ada kemungkinan basis massa yang kecewa karena partai yang mereka pilih berlabuh ke Jokowi pindah mendukung PKS.
Lagipula, kata Rully, selama ini PKS "sangat baik menjalankan peran sebagai oposisi". Mempertahankan posisi itu membuat mereka kemungkinan bisa menggandakan jumlah konstituen pada pemilu mendatang.
Prediksi Rully sedikit banyak dibenarkan fungsionaris partai yang dipimpin Shohibul Iman ini. Ketua DPP PKS, Ledia Hanifa Amalia, mengatakan meski sikap resmi partai baru diputuskan setelah musyawarah majelis syuro yang akan digelar sebelum akhir tahun ini, namun sampai sekarang PKS lebih condong jadi oposisi.
Ledia bahkan mengaku PKS kerap dirayu agar masuk ke koalisi Jokowi. Namun partainya memilih berada di luar pemerintahan.
"Sampai sekarang kami posisinya seperti itu. Bahkan di periode ini kami sudah membuktikan dan di periode yang akan datang kami konsisten akan itu," kata Ledia di Gedung DPR, Jakarta Pusat, Selasa (16/7/2019) kemarin.
Sikap Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera setelah Prabowo dan Jokowi bertemu Sabtu (113/7/2019 lalu juga menunjukkan bahwa PKS lebih suka jadi oposisi. Saat itu Mardani mendesak Prabowo mengumumkan tagar KamiOposisi. Tujuannya untuk mengobati kekecewaan pendukung atas pertemuan tersebut.
"Jika pertemuan tidak diikuti dengan deklarasi #KamiOposisi akan membuat kekecewaan pendukung. Dan PKS yakin, Pak Prabowo dan pendukungnya akan bersama #KamiOposisi. Karena oposisi itu baik dan oposisi itu mulia," demikian kata Mardani.
Dibenarkan Tim Jokowi
Pernyataan Rully bahwa PKS-lah yang paling sulit didekati juga datang dari Direktur Komunikasi Politik Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Usman Kansong. Dia mengaku bahwa tim memang pernah mengajak PKS bertemu, tapi tak berlanjut karena melihat tak ada peluang dari itu.
"Kami lihat PKS itu konsisten untuk bersikap oposan, dan saya lihat mereka juga enggak memberikan sinyal," kata Usman kepada reporter Tirto.
Sebaliknya Usman mengaku partai oposisi lain, PAN dan Demokrat, begitu kuat memberi sinyal ingin bergabung dan memperoleh jatah menteri. Meski pada akhirnya memang belum ada jawaban pasti untuk itu.
"Walaupun sudah ada pertemuan-pertemuan, tapi, ya, belum tentu bergabung," pungkas Usman.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Rio Apinino