tirto.id - Hari Santri yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober dimaknai dengan lebih mendalam di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Khoiriyah Hasyim Seblak, Jombang, pada peringatan Hari Santri 2025. Pada Rabu (22/10/2025), Ponpes Seblak Jombang mengusung Resolusi Jihad Pesantren Seblak Melawan Kekerasan.
Hari Santri tahun ini dijadikan momen untuk meluncurkan SOP (Standard Operational Procedure) Anti Kekerasan yang berisi pedoman pencegahan, pelaporan, penanganan, hingga pemulihan di seluruh unit Ponpes dan Madrasah Seblak. Peluncuran SOP Anti Kekerasan ini juga disertai dengan perkenalan struktur Satgas (Satuan Tugas) Anti Kekerasan beserta tugas dan kanal pelaporan yang bersifat aman serta rahasia.
"Ini adalah respons kami melihat banyaknya kasus kekerasan yang terjadi di pesantren. Ini adalah ikhtiar kami untuk menjaga marwah pesantren, yaitu dengan berusaha meminimalisir kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan," ucap Emma Rahmawati, Ketua Satgas Anti Kekerasan Ponpes Seblak, saat dihubungi tirto.id pada Kamis (23/10/2025).
Puteri ketiga almarhum KH Umar Faruq ini menceritakan bahwa keinginan untuk membuat SOP Anti Kekerasan ini sudah ada sejak lama. "Sudah sejak awal tahun ini, saya dan teman-teman di Fatayat Jombang dan teman-teman di Nawaning Nusantara menjajaki kemungkinan untuk menyusun SOP Anti Kekerasan di setiap pondok," tutur Ning Emma.
Keinginan tersebut semakin kuat setelah Nawaning Nusantara mengadakan workshop dengan tema Penggerak Pesantren Bebas Kekerasan Seksual bersama dua fasilitator, yakni Alissa Qotrunnada Wahid dan Maya Dina Rohmi Musfiroh. Dikutip dari NU Online, kegiatan workshop tersebut berlangsung selama dua hari penuh pada 9-10 Juli 2025 lalu di Yogyakarta.
Hingga akhirnya ponpes yang didirikan oleh ulama perempuan asli Jombang, Nyai Khoiriyah Hasyim, tersebut memperingati Hari Santri tahun ini dengan mengusung “Resolusi Jihad Pondok Seblak Melawan Kekerasan”. Dalam pidato peluncuran SOP Anti Kekerasan ini, Direktur Madrasah Seblak D Fardan Hamdani menyatakan bahwa jihad kali ini adalah menundukkan ego, menjaga lisan dan tangan, serta memuliakan martabat manusia.
"Kami memastikan adanya SOP Anti Kekerasan dan Satgas Anti Kekerasan yang responsif, rahasia, dan berkeadilan," ucapnya kemudian. Dia pun menekankan bahwa Ponpes Seblak nol toleransi terhadap segala bentuk kekerasan, termasuk perundungan atau bullying maupun kekerasan seksual.
Di hadapan ribuan santri, Emma menekankan bahwa pencegahan kekerasan harus dilakukan dengan cara beretika dan menjamin seluruh proses pelaporan dijaga kerahasiaan dan keamanan penuh. “Tidak ada toleransi terhadap intimidasi atau tindakan balasan (retaliasi) kepada pelapor, saksi, maupun penyintas,” tegas Emma.
Kepada tirto.id, Emma menjelaskan bahwa meskipun di Ponpes Seblak Jombang tidak pernah terjadi kasus bullying maupun kekerasan seksual, namun dia melihat dalam beberapa tahun terakhir kasus kekerasan terjadi di lingkungan pesantren. Keresahannya melihat sejumlah kasus kekerasan di lingkungan pesantren ini pun mendorongnya untuk mengkaji hingga menyusun tesis bertajuk “Kekerasan Seksual di Pondok Pesantren: Perspektif Keadilan Hakiki Perempuan Bu Nyai Nur Rofiah”.
Emma kemudian menyadari banyak pihak yang terlibat dalam pesantren dan dengan kondisi tersebut tidak bisa dipastikan bahwa semua orang memiliki perspektif gender dan keberpihakan yang sama pada pemenuhan hak santri.
“Oleh karenanya, demi menghindari terjadinya kekerasan pada santri, kami, saya dan pengurus yayasan yang lain, merasa penting untuk meluncurkan SOP dan membentuk satgas anti kekerasan,” terang perempuan yang akrab dipanggil Ning Emma itu.
Meski SOP yang diluncurkan sementara ini masih disusun oleh tim internal, Ning Emma mengaku pihaknya bakal menyempurnakan SOP tersebut bulan depan, didampingi oleh Rahima sebagai lembaga masyarakat yang berfokus pada isu penegakan hak-hak perempuan berperspektif Islam.
Ketua Gusdurian Jombang itu kemudian menekankan pentingnya pesantren untuk melindungi santrinya dari segala bentuk kekerasan.
“Pesantren haruslah memuliakan manusia, bukan melukai manusia. Oleh karenanya, adanya SOP yang diharapkan dapat mencegah terjadinya kekerasan pada dan oleh semua warga pesantren, menjadi penting dan urgen,” ucapnya.
Ponpes Seblak bukan satu-satunya. Di wilayah Jombang yang lain, yakni Pondok Pesantren As-Sa’idiyyah 2 Bahrul Ulum pun telah mengambil langkah serupa. Jelang hari santri Jumat (10/10/2025), mereka melakukan diseminasi SOP Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, yang disusun oleh para pengurus santri dengan pendampingan dari Women’s Crisis Center (WCC) Jombang.
Proses penyusunan SOP tersebut melewati berbagai tahapan, mulai dari pemetaan persoalan yang dihadapi santri di lingkungan pesantren, pembelajaran tentang regulasi nasional (seperti Undang-Undang (UU) Pesantren, UU TPKS/Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan PMA Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan di bawah Kementerian Agama), hingga lokakarya penyusunan draft bersama tim pengasuh dan mitra pendamping.
Nyai Umdatul Choirot selaku pengasuh Pondok Pesantren As-Sa’idiyyah 2 menegaskan kalau lahirnya SOP berangkat dari keprihatinan terhadap berbagai kasus kekerasan yang kerap terjadi karena anak belum memiliki pemahaman utuh tentang persoalan kekerasan dan relasi kuasa.
“Kami menyadari pentingnya kebijakan yang berpihak pada korban sekaligus memperkuat kapasitas pengurus dan infrastruktur pesantren agar lebih responsif terhadap persoalan kekerasan,” ujar Nyai Umdatul, dilansir situs WCC Jombang.
Sekecil Apapun Kekerasan adalah Kekerasan
Menteri Agama (Menag), Nasaruddin Umar pernah menyatakan kalau kasus kekerasan seksual di Ponpes terlalu dibesar-besarkan. Di Kantor Kemenko PM, ia menyebut kasus itu sebenarnya sedikit, namun media massa membesar-besarkannya lewat pemberitaan.
Tanpa merinci berapa banyak kasus dugaan kekerasan seksual di Ponpes yang dicatat Kemenag, ia mendorong agar seluruh pihak memelihara pondok pesantren. Kata Nasaruddin, jangan sampai nantinya orang alergi memasukkan anaknya ke ponpes dan pihak-pihak yang berkeringat ratusan tahun lamanya membangun ponpes terpaksa dikonotasikan sangat negatif.
Pernyataan tersebut menuai kritik dari berbagai pihak. Sebab, menurut data, kasus kekerasan di ponpes tak bisa dibilang sedikit. Catatan Tahunan Komnas Perempuan mendata, sepanjang 2015-2021 ada 67 kasus di lingkungan pendidikan yang diadukan ke lembaga tersebut dan 16 persen di antaranya terjadi di pesantren.
Satu insiden kekerasan saja rasanya sudah terlalu banyak, dan tentu tak bisa dibiarkan berlarut bergitu saja. Oleh karenanya komitmen dari setiap ponpes untuk menjaga lingkungannya bebas dari kekerasan amatlah diperlukan.
Juli lalu saja sebanyak 13 perempuan melaporkan mengalami kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh pemilik sekaligus pengurus salah satu pondok pesantren di Pulau Kangean, Sumenep, Jawa Timur. Mereka mengalami kekerasan seksual saat menjadi santri di pesantren sekitar tahun 2016-2024 dan rata-rata para korban mengalami kekerasan lebih dari satu kali.

Ning Emma dari Ponpes Seblak memandang, seperti halnya di tempat-tempat lain, ketika ada relasi kuasa yang timpang, sementara perspektif orang yang memiliki kuasa lebih tinggi masih melihat perempuan sebagai objek seksual, maka kekerasan seksual akan sangat rentan terjadi.
“Di pesantren, hal ini diperparah karena pelaku bisa menyalahgunakan posisinya sebagai tokoh agama–dan juga dapat memanipulasi agama, untuk membenarkan perilakunya, hingga membuat korban tidak bisa menolak,” terangnya.
Sebuah tesis oleh Dawiya (2024) bertajuk "Investigating Causes of the Persistent Incidents of Child Sexual Abuse in Indonesia Islamic Boarding School (Pesantren)" mengungkap temuan senada. Disebutkan dalam studinya, tingginya kasus pelecehan seksual di ponpes yang dilakukan oleh kiai, ustaz, atau pengasuh ponpes terjadi karena ketimpangan kekuasaan. Norma budaya dan struktur hierarki di dalam pesantren juga berkontribusi pada berulangnya kasus-kasus pelecehan di ponpes.
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati Tangka, menegaskan bahwa kekerasan seksual dalam bentuk apapun merupakan kekerasan dan tak ada kekerasan yang bersifat lebih sederhana maupun lebih kompleks. Menurutnya, dengan sudah adanya UU TPKS dan PMA Nomor 73 Tahun 2022, maka urusan kekerasan seksual di pesantren juga harus menjadi perhatian dan tidak boleh dianggap sepele.
"Biar bagaimana pun pesantren ini kan juga lembaga pendidikan, yang itu juga harusnya dia adalah lingkungan yang aman dari kekerasan berbasis gender ataupun seksual,” kata Mike kepada tirto.id.
Dalam Pasal 6 ayat (1) PMA 73/2022 dikatakan bahwa Satuan Pendidikan wajib melakukan Pencegahan Kekerasan Seksual melalui sosialisasi, pembelajaran, penguatan tata kelola, penguatan budaya, dan kegiatan lainnya sesuai dengan kebutuhan. Pencegahan kekerasan seksual melalui kegiatan penguatan tata kelola itu meliputi penyusunan SOP Pencegahan Kekerasan Seksual, penyediaan sarana dan prasarana sesuai kebutuhan, dan kerja sama instansi terkait (ayat 4).
Tantangan Dorong SOP Kekerasan di Ponpes
Oleh karena itulah, langkah tegas sejumlah pondok pesantren menerbitkan SOP Anti Kekerasan merupakan hal yang perlu diapresiasi dan dicontoh oleh ribuan ponpes lainnya yang ada di Indonesia.
Direktur Pesantren Kemenag, Basnang Said, mengatakan kini pihaknya melakukan pengawasan melalui pendekatan pembinaan berlapis, yakni melalui Kantor Wilayah dan Kantor Kemenag Kabupaten/Kota, yang disebut secara rutin melakukan pendataan, monitoring, dan verifikasi terhadap pesantren terutama dalam hal implementasi PMA 73/2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama.
Di samping PMA 73/2022, Kemenag sebenarnya juga sudah menerbitkan Keputusan Menteri Agama Nomor 83 Tahun 2023 tentang Pedoman Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama.

Menurut Basnang, KMA tersebut menjadi SOP dalam penanganan kekerasan seksual yang terjadi di Satuan Pendidikan pada Kemenag. Dalam ketentuan KMA itu, penyelenggara satuan pendidikan, Kepala Kantor Kemenag, dan Kepala Kantor Wilayah secara berjenjang melaporkan pelaksanaan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di satuan pendidikan pada Kemenag kepada Kemenag Pusat.
“Jika ditemukan pesantren yang belum memiliki SOP atau belum menangani kasus secara tepat, Kemenag melakukan dua langkah, pembinaan administratif dan pendampingan substantif,” ujarnya lewat keterangan tertulis, Kamis (23/10/2025).
Selain itu, Basnang menyebut Kemenag juga membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (Satgas PPKS) di tingkat pusat dan wilayah, yang berfungsi memberikan respon cepat terhadap laporan serta memastikan adanya tindak lanjut sesuai prinsip due process dan perlindungan korban.
“Kemenag secara aktif memberikan pelatihan, bimbingan teknis, dan pendampingan langsung kepada pengelola pesantren. Program ini dijalankan melalui kolaborasi antara Direktorat Pesantren, Sekretariat Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, dan berbagai mitra seperti UNICEF, KemenPPPA, PPIM UIN Jakarta, serta RMI-NU dan Lakspesdam PBNU,” kata Basnang.
Sejak tahun 2023, menurut data Kemenag, telah dilakukan beberapa pelatihan regional untuk membekali pengasuh dan pengurus pesantren agar mampu menyusun SOP pencegahan kekerasan, membentuk unit layanan perlindungan santri, dan memahami prinsip hukum perlindungan anak. Pada tahun 2024–2025, Kemenag menjalankan program percontohan 512 Pesantren Ramah Anak yang menjadi model praktik baik bagi pesantren lain.
“Maka perlu waktu untuk menanamkan pemahaman bahwa perlindungan anak dan santri adalah bagian dari nilai akhlaqiyah dan maqashid syariah, bukan semata tuntutan administratif,” ujar dia.
Tidak semua pesantren juga dikatakan memiliki sumber daya manusia yang memahami aspek hukum, psikologi, dan manajemen risiko kekerasan. Basnang mengatakan arah kebijakan Kemenag bukan semata menindak, tetapi membangun ekosistem pesantren yang aman, berkeadilan, dan ramah anak, agar fungsi pesantren sebagai rumah pendidikan dan pembentukan akhlak tetap terjaga.

Mike mengapresiasi upaya-upaya yang dilakukan dalam meneguhkan komitmen melawan segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Namun, ia mengingatkan bahwa jangan sampai terbit anggapan bahwa pembuatan SOP Anti-Kekerasan hanya sekadar sebagai mandat aturan.
Ia berharap komitmen anti kekerasan di pesantren dan di tempat lainnya sebagai hal yang perlu dijalankan, dievaluasi, dan dimonitor terus menerus. Penyusunan SOP Anti-Kekerasan pun menurutnya dapat melibatkan banyak pihak, alias bersifat partisipatif, seperti yang sudah dilakukan oleh Ponpes Seblak Jombang dan Ponpes As-Sa’idiyyah 2 Bahrul Ulum.
“Jadi mungkin perlu melibatkan psikolog, perlu melibatkan lembaga-lembaga yang selama ini concern terhadap layanan korban, melibatkan Komnas Perempuan, atau melibatkan stakeholder lainnya yang berkaitan. Terutama jangan sampai SOP itu dibuat tapi tidak punya sandaran,” ucap Mike saat dihubungi jurnalis Tirto, Kamis (23/10/2025).
Sebab, menurut Mike, dalam penyusunan SOP anti-kekerasan ini kadang kita berhadapan dengan perbedaan cara pandang terhadap kekerasan itu sendiri. Pandangan dalam melihat kekerasan harus solid, oleh karenanya dalam penyusunan SOP juga membutuhkan keterlibatan pihak lain dari pesantren itu sendiri agar konteks kekerasan bisa dipandang secara objektif.
Mike berharap mereka yang kemudian diamanahi tugas menjalankan SOP atau menjadi bagian dari satgas memiliki perspektif adil gender dan memahami bagaimana kekerasan terjadi.
“Karena menangani korban kekerasan seksual itu tidak sama ya dengan misalnya menangani pelanggaran-pelanggaran yang lainnya. Karena ada kerentanan, ada persoalan etik atau kerahasiaan, yang itu juga perlu dibangun termasuk concern dari korbannya. Maka diperlukan bukan hanya sekedar orang yang mau, tetapi tim ini juga harus diperkuat dengan penguatan kapasitas,” pungkas Mike.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Rina Nurjanah
Masuk tirto.id


































