tirto.id - Tim Advokasi Novel Baswedan mengatakan banyak kejanggalan yang terjadi di persidangan dalam kasus penyiraman air keras kepada penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan yang dilakukan oleh dua orang polisi.
Salah satu perwakilan Tim Advokasi Novel Baswedan, Fatia Maulidiyanti, mengatakan pihaknya telah merinci beberapa kejanggalan persidangan tersebut jelang putusan yang akan dibacakan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis (16/7/2020).
"Kami mengecam keras proses persidangan yang ditengarai memiliki banyak kejanggalan. Bahkan proses persidangan ini dapat dikatakan sedang menuju ke arah peradilan sesat. Sejatinya proses peradilan pidana adalah untuk mencari kebenaran materiil, namun hal yang terlihat justru sebaliknya," kata Fatia lewat keterangan tertulis yang diterima redaksi Tirto, Rabu (15/7/2020).
Kata dia, persidangan yang berlangsung hanya untuk membenarkan seluruh dalil dan dalih yang disampaikan oleh para terdakwa, dengan skenario besar menyembunyikan pelaku sebenarnya atau setidaknya aktor intelektual.
Fatia menjelaskan, beberapa kejanggalan yang dimaksud, pertama, adalah saksi-saksi yang dianggap penting dalam upaya untuk mengungkap kejahatan terorganisir ini tidak dimintai keterangan di muka persidangan.
Kedua, katanya, barang bukti yang ditemukan di tempat kejadian perkara tidak ditunjukkan dalam proses persidangan.
Ketiga, jaksa yang harusnya menjadi representasi kepentingan korban terlihat berpihak pada pelaku kejahatan.
“Kesimpulan ini dapat diambil pada saat proses pemeriksaan saksi korban, Novel Baswedan. Pertanyaan yang diutarakan oleh jaksa terkesan menyudutkan Novel. Bahkan tuntutan jaksa juga mengikis rasa keadilan korban itu sendiri," kata dia.
Kejanggalan keempat, kata Fatia, kejaksaan dalam mendakwa dan menuntut tidak bertindak atas nama individu melainkan kelembagaan. Kata dia, pemilihan penuntut umum dan rencana penuntutan (rentut) merupakan tindakan kelembagaan.
"Oleh karena itu segala tindakan penuntutan di persidangan termasuk menuntut rendah dan lebih bersikap sebagai pembela terdakwa adalah perintah kelembagaan," kata dia.
Fatia menjelaskan kejanggalan kelima adalah pendampingan hukum yang dilakukan oleh Polri terhadap dua terdakwa kental dengan nuansa konflik kepentingan.
"Sebab, Ketua Tim Pendampingan Hukum para terdakwa sebelumnya merupakan pihak yang juga menyelidiki kasus ini dan tidak berhasil mengungkap kasusnya. Sehingga, publik dapat dengan mudah menerka sikap Polri tidak mungkin akan objektif dalam menangani perkara ini," katanya.
Kejanggalan keenam, pendampingan hukum langsung dari Polri menurut peraturan perundang-undangan adalah apabila menjadi tersangka karena menjalankan tugas.
"Apakah terdakwa saat menyiram Novel menjalankan tugas Polri?" tanya Fatia.
Ia melanjutkan kejanggalan ketujuh, dalam fakta persidangan terungkap kedua terdakwa berdasarkan duplik yang dibacakan, tidak pernah ditangkap melainkan menyerahkan diri, hal ini berbeda dengan pernyataan yang pernah disampaikan oleh Argo Yuwono yang menyatakan kedua terdakwa ditangkap.
Kejanggalan kedelapan, terdapat saksi yang meragukan bahwa kedua terdakwa merupakan kedua orang yang dilihat sesaat sebelum melakukan penyirman air keras.
"Sebab saat diperhatikan ketika dikonfrontir di Mabes Polri dari gestur gerak tubuhnya tidak sama atau berbeda," kata dia.
Kejanggalan kesembilan, ada indikasi keterlibatan pelaku lebih dari dua orang tampak dari kesaksian para saksi di persidangan yang mengungkapkan bahwa satu bulan hingga satu minggu sebelum kejadian terdapat orang-orang yang melakukan pengintaian di sekitar lingkungan rumah Novel Baswedan.
Kejanggalan kesepuluh, kata Fatia, setelah dua tahun lebih, pada 2020 terdapat saksi dari labfor yang memeriksa kembali cairan kimia yang terkandung di beberapa barang bukti dan hasilnya memiliki kadar yang sama pada pemeriksaan cairan kimia pada 2017.
"Namun, terdapat saksi ahli yang berpendapat adanya kejanggalan sebab sangat mungkin terjadi ada penurunan besaran konsentrasi kimia yang menempel pada barang bukti dalam jangka waktu sekitar 2 tahun lebih dan kemudian ahli juga berpendapat ada keanehan mengenai berbedanya variasi tingkat konsetrat asam sulfat di barang bukti," kata dia.
Kejanggalan kesebelas, Fatia menjelaskan bagaimana leluasanya terdakwa keluar masuk dari asrama.
"Padahal seharusnya terdakwa mendapatkan izin terlebih dahulu dari atasan hukum terdakwa, terlebih lagi hanya ada satu pintu akses di asrama Brimob Kelapa Dua," kata dia.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz