tirto.id - Setiap orang menginginkan tubuhnya sehat. Salah satu cara populer untuk menjaga kesehatan tubuh, khususnya dalam membentuk massa tubuh ideal, adalah dengan pembatasan pola makan. Belakangan, clean eating menjadi pola pembatasan makan yang tren di berbagai kalangan.
Clean eating menawarkan konsep pembatasan pola makan yang terkesan “bersih” sehingga dianggap sebagai diet yang sehat. Namun faktanya, tidak sedikit pelaku clean eating “bermetamorfosis” menjadi pelaku diet ekstrem. Batasan-batasan pola makan ala clean eating justru meluas, sehingga berbagai risiko kesehatan justru menghampiri, alih-alih meningkatkan kesehatan sebagaimana tujuan awalnya.
Batasan Tidak Pasti Clean Eating
Studi yang diterbitkan jurnal Nutrients meneliti persepsi 1.266 responden berusia 14 hingga 24 tahun di Amerika Serikat mengenai pola makan sehat. Kesimpulannya, definisi mengenai pola makan sehat sangat bervariasi, tetapi mayoritas mengklasifikasikan pola makan sehat sebagai pola konsumsi makanan “utuh” atau tidak diolah. Secara keseluruhan, 71 persen responden menggolongkan clean eating sebagai pendekatan yang sehat, sedangkan 6 persen menyebutnya tidak sehat, dan 18 persen mengidentifikasi unsur-unsur yang menyehatkan dan membahayakan.
Dalam penelitian yang sama, 41 persen responden melaporkan bahwa mereka memiliki kemungkinan mencoba clean eating. Namun, penting untuk dipahami bahwa clean eating tidak mempunyai definisi yang pasti.
Secara umum clean eating atau pembatasan makanan dapat dimaknai sebagai memilih makanan yang alami dan utuh. Ini mencakup makanan yang bebas dari berbagai bahan tambahan dan minim pengolahan.
Ketidakpastian parameter clean eating menyebabkan pembatasan pola makan ini menuai interpretasi yang tidak pasti dan luas. Akibatnya, para pelaku clean eating ataupun orang yang tertarik mencoba pola makan ini malah berisiko membatasi pola makan secara ekstrem tanpa alasan ilmiah yang kuat.
Berdasarkan Pedoman Diet untuk Amerika yang dirilis oleh Departemen Pertanian AS (USDA) dan Departemen Kesehatan dan Layanan AS (HHS), premis pola diet yang sehat mengacu pada makanan dan minuman padat nutrisi di semua kelompok makanan, dalam jumlah yang disarankan, dan dalam batasan kalori.
Batasan pada clean eating sejatinya cenderung sama dengan pola diet yang termaktub dalam pedoman diet yang diterbitkan oleh pemerintah Amerika Serikat setiap lima tahun sekali itu. Namun, dengan dalil clean eating, sebagian orang membatasi jumlah makanan dan menghindari makanan dengan aturan lebih ketat seperti makanan yang dihasilkan dari olah antibiotik, pestisida, dan hormon pertumbuhan.
Sebuah riset yang dipublikasikan di jurnal Harvard Health Publishing mengulas tentang clean eating dan meluruskan bahwa makanan tidak dapat dikategorikan secara hitam dan putih, sebagaimana konsep clean eating yang dipahami mayoritas. Pertanian organik, misalnya, juga menggunakan pestisida sekalipun sebagian besar alami, tetapi ada saja yang dihasilkan dari produk buatan pabrik..
Laporan tersebut menekankan, keadaan ekstrem yang diakibatkan batasan clean eating tidak didukung oleh penelitian. Dampaknya, penerapan pola makan ini dapat menyebabkan pola makan tidak teratur yang berujung pada kekurangan nutrisi.

Risiko Gangguan Makanan
Meski banyak orang berpikir bahwa clean eating selalu lebih bersih dan sehat, kenyataannya tidak selalu demikian. Menghindari makanan hanya karena dianggap “tidak alami” tanpa mempertimbangkan nilai gizinya merupakan keputusan yang kurang bijak.
Selain itu, penerapan batasan yang ketat tanpa anjuran ahli seperti clean eating dapat memicu gangguan makanan seperti ortoreksia. Gangguan ini ditandai dengan obsesi berlebihan terhadap makanan yang dianggap bersih atau sehat.
Dilansir dari Healthline, bagi penderita ortoreksia, melanggar aturan clean eating yang telah mereka tetapkan sendiri dapat menyebabkan tekanan emosional yang parah dan penurunan harga diri. Akibatnya terang saja, penderita ortoreksia akan mengalami berbagai penurunan kualitas hidup atas aturan ketat yang mereka yakini.
Dengan adanya potensi gangguan yang muncul lantaran menerapkan clean eating, penting untuk menyadari bahwa makanan bukan hanya untuk dikonsumsi. Makanan mempunyai tugas masing-masing dalam memenuhi kebutuhan nutrisi harian, sehingga tidak perlu dibatasi secara berlebihan.
Ahli gizi dari University Health Services (UHS) di University of Wisconsin-Madison, Courtney Blomme, mengingatkan bahwa menjaga pola makan tidak seharusnya berpatokan pada labelisasi. Blomme menekankan, mendengarkan tubuh lebih efektif dalam meningkatkan hubungan makanan dan tubuh.
“Mendengarkan tubuh Anda alih-alih pesan tentang makanan ‘baik’ dan ‘buruk’ adalah perubahan yang sulit, tetapi merupakan komponen penting dalam meningkatkan hubungan Anda dengan makanan dan tubuh Anda,” kata Blomme, dalam artikel mengenai ortoreksia.
Pernyataan di atas dikuatkan oleh ahli gizi Yayasan Jantung dan Pembuluh Darah Inggris (BHF), Victoria Taylor, yang mengatakan bahwa pembatasan pola makan dalam clean eating membentuk perfeksionisme tidak berlandaskan realitas.
“Meskipun benar bahwa ada beberapa makanan yang harus kita kurangi dan yang harus kita makan lebih banyak, (pemikiran) ini jauh dari konteks makanan bersih dan kotor. Pembatasan pola makan bersih menghadirkan gambaran kesempurnaan yang tidak realistis,” ujarnya, dikutip dari laman BHF.
Taylor menganjurkan, lebih baik untuk mempunyai fleksibilitas dalam mengatur pola makan alih-alih terpaku pada pakem yang membatasi asupan nutrisi sehingga berpotensi mengalami kekurangan nutrisi dan gangguan kesehatan mental, serta risiko lain yang berkelanjutan.
“Dalam kehidupan nyata, beberapa hari mungkin lebih baik daripada yang lain, dan memiliki fleksibilitas dalam pola makan penting untuk jangka panjang, daripada siklus kekurangan dan rasa bersalah berkelanjutan,” tambah Taylor, pelaku diet yang telah berpengalaman selama 20 tahun.
Pada akhirnya, pola clean eating mempunyai kerancuan yang tidak dapat menjadi patokan pola makan sehari-hari. Memang, apabila clean eating dimaksudkan untuk menghindari konsumsi makanan yang “tidak bersih” atau dipandang sebagai “tidak sehat”, sekilas hal itu menandakan upaya untuk hidup lebih sehat. Akan tetapi, penting untuk dipahami bahwa berbagai asupan nutrisi perlu diatur sesuai dengan proporsinya tanpa dibatasi dengan paham tidak bersih dalam premis clean eating.
Editor: Dwi Ayuningtyas
Masuk tirto.id


































