Menuju konten utama

Celah UU Pilkada: Calon Kepala Daerah Terjerat OTT Bisa Ikut Pemilu

KPU seharusnya bisa mengeluarkan Peraturan KPU (PKPU) yang spesifik mengatur pembatalan atau ketentuan soal potensi mengundurkan diri bagi kandidat yang terkena OTT KPK.

Celah UU Pilkada: Calon Kepala Daerah Terjerat OTT Bisa Ikut Pemilu
Penyidik memperlihatkan barang bukti hasil operasi tangkap tangan (OTT) dugaan suap terkait persetujuan rancangan peraturan daerah (raperda) penyertaan modal Kota Banjarmasin kepada PDAM sebesar Rp50,5 miliar di Gedung KPK, Jumat (15/9/2017). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

tirto.id - Pembuatan aturan baru tentang pergantian kandidat di pilkada akibat terjerat operasi tangkap tangan (OTT) kasus korupsi, dianggap harus dilakukan. Saat ini, aturan di Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tak mengizinkan pergantian kandidat yang terjerat OTT dan/atau menjadi tersangka kasus korupsi.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan OTT terhadap kandidat kepala daerah merupakan hal luar biasa yang luput diatur UU Pilkada. Tata cara pencalonan dan pergantian kandidat pada Pasal 53 dan 191 UU Pilkada tidak dirancang untuk peristiwa tangkap tangan oleh KPK itu.

“Pasal 53 dan 191 itu sebenarnya original intent-nya ingin melindungi calon dari praktik bongkar pasang, karena ada tarik menarik atau benturan politik. Tapi kalau situasi kena OTT KPK ya konteksnya tidak pas,” ujar Titi kepada Tirto, Sabtu (17/2/2018).

Pasal 53 UU Pilkada mengatur larangan parpol menarik kandidat yang diusung pada pilkada, jika calon terkait sudah ditetapkan KPU. “Dalam hal Partai Politik dan gabungan Partai Politik menarik pasangan calonnya dan/atau pasangan calon mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang mencalonkan tidak dapat mengusulkan pasangan calon pengganti," tulis Pasal 53 ayat (2) UU Pilkada.

Kemudian, pasal 191 UU Pilkada mengatur sanksi pidana dan denda yang bisa diberikan terhadap kandidat jika sengaja mengundurkan diri. Ancaman kurungan untuk kandidat seperti itu maksimal dua tahun dan denda antara Rp25-50 miliar.

Pasal 191 ayat (2) UU Pilkada berbunyi: “Pimpinan parpol atau gabungan pimpinan parpol yang dengan sengaja menarik pasangan calonnya dan/atau pasangan calon perseorangan yang dengan sengaja mengundurkan diri setelah ditetapkan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 bulan dan paling lama 60 bulan dan denda paling sedikit Rp25 miliar dan paling banyak Rp50 miliar.”

Kekosongan Hukum Soal Kandidat dan OTT

Menurut Titi, KPU seharusnya bisa mengeluarkan Peraturan KPU (PKPU) yang spesifik mengatur pembatalan atau peluang mengundurkan diri bagi kandidat yang terkena OTT. Selain pembuatan PKPU, opsi lain yang bisa dilakukan adalah merevisi terbatas UU Pilkada atau penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) oleh Pemerintah.

"Mestinya kalau KPU progresif bisa diatur dalam PKPU jika calon kena OTT, parpol bisa menarik atau calon bisa mundur. Justru mundur atau penarikan calon mestinya sebuah tindakan yang harus diapresiasi," ujar Titi.

Anggapan serupa juga disampaikan Sekretaris Jenderal PKS Mustafa Kamal. Menurutnya, akan lebih baik soal pengaturan soal kandidat kepala daerah yang terjaring OTT disematkan pada revisi UU Pilkada.

Dalam konteks OTT ini, dalam kasus salah satu calon Bupati Lampung Tengah (bernama Mustafa) yang menjadi calon yang diusung PKS dalam Pilkada serentak 2018. Kandidat dari PKS ini ditetapkan sebagai tersangka, setelah KPU menetapkannya sebagai calon Gubernur Lampung.

Mustafa Kamal menilai mustahil KPU menerbitkan PKPU khusus untuk mengatur kepala daerah yang terjaring OTT. Pilihan rasionalnya hanya dua: revisi UU Pilkada atau penerbitan Perppu.

“Karena tidak disediakan landasannya maka ada kekosongan hukum dalam pilkada kita. Kalau mau ditempuh harus ada perubahan UU, apakah ini ada satu kedaruratan ya tinggal dipertimbangkan saja," kata Mustafa.

Pada kesempatan terpisah, Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristianto berpendapat revisi UU Pilkada atau penerbitan Perppu mungkin dilakukan, tapi baru bisa dilakukan setelah Pilkada 2018.

“Tentu ke depan juga perlu dibuka ruang pergantian paslon sekiranya ada hal-hal terkait dengan OTT KPK. Kita juga harus melihat adanya kepentingan bersama, yaitu tahapan yang harus dilaksanakan oleh KPU,” kata Hasto.

Dalam konteks PDIP, Martinus Sae yang merupakan calon Gubernur NTT juga ikut terjerat operasi tangkap tangan KPK. Martinus terjerat operasi satu hari menjelang penetapan pasangan calon gubernur oleh KPUD NTT.

Peluang kandidat yang terjaring OTT untuk mundur dari tahapan Pilkada 2018 pun dianggap Hasto sudah tertutup untuk saat ini. Politikus PDIP itu memilih menghormati tahapan pilkada yang sudah berjalan alih-alih memperjuangkan pergantian kandidat.

“Kami juga sudah berkomunikasi dengan KPU, sudah dilakukan penetapan nomor urut, dan berdasarkan UU dan PKPU, memang tidak bisa diganti lagi [kandidatnya]," ujar Hasto.

Komisioner KPU RI Ilham Saputra menegaskan sepanjang UU Pilkada tak mengizinkan pergantian kandidat karena OTT, KPU tidak akan membuat peraturan baru.

“Itu juga jadi semacam kode agar partai memilih orang-orang yang tepat,” ujar Ilham.

Sepanjang awal 2018, sudah ada empat kandidat kepala daerah yang terjaring OTT KPK. Mereka juga terdaftar sebagai kepala daerah petahana yang hendak maju kembali di pilkada.

Para kandidat yang dimaksud adalah Bupati Jombang Nyono Suharli, Bupati Ngada Marianus Sae, Bupati Subang Imas Aryumningsih, dan Bupati Lampung Tengah Mustafa.

Nyono adalah kandidat petahana di Pilkada Jombang 2018, sementara Marianus dikenal sebagai calon Gubernur NTT. Kemudian, Imas adalah calon Bupati Subang dan Mustafa sudah menjadi kandidat pilgub Lampung.

Baca juga artikel terkait PILKADA 2018 atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Politik
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Mufti Sholih