tirto.id - Tak semua orang mudah beradaptasi menghadapi new normal atau kenormalan baru akibat pandemi COVID-19 yang mengubah rutinitas sehari-hari.
Dokter spesialis kedokteran jiwa Leonardi Goenawan mengatakan, orang yang mudah tertekan bisa merasakan dampak pandemi lebih berat. Butuh usaha lebih besar untuk bisa mencapai tahap menerima kondisi yang baru.
Dokter yang praktik di RS Pondok Indah Bintaro Jaya ini berbagi kiat agar tidak stres dalam menghadapi kenormalan baru.
Pertama, istirahat sejenak dari semua informasi. Tak perlu membaca, mendengarkan, atau menonton berita, termasuk media sosial.
Kedua, jaga kesehatan tubuh. Meski tak bisa keluar rumah, olahraga ringan secara teratur bisa tetap dilakukan. Anda dapat melakukan meditasi, yoga, latihan napas hingga stretching. Barengi olahraga dengan makanan sehat dan bernutrisi.
Ketiga, luangkan waktu untuk bersantai. Cari kegiatan yang Anda sukai. Aktivitas fisik dapat mengusir stres, sebab berdasarkan penelitian ada hubungan terbalik antara stres dan aktivitas fisik.
Keempat, bersosialisasi lewat sarana virtual. Bicaralah dengan orang yang Anda percayai mengenai kekhawatiran dan perasaan Anda. Beban di hati akan berkurang dengan menceritakannya kepada orang lain.
Kelima, pahami fakta akurat mengenai COVID-19 untuk menghindari stres yang berlebihan.
Jalan-Jalan ke Alam
Tak hanya kesehatan fisik, Anda juga perlu menjaga mental tetap sehat selama pandemi COVID-19 dan salah satunya bisa dengan berjalan-jalan di alam sekitar Anda.
Sebuah studi dalam jurnal Ecological Applications menunjukkan, alam di sekitar rumah seseorang dapat membantunya mengurangi beberapa efek kesehatan mental negatif dari pandemi COVID-19.
Temuan ini didasarkan pada sebuah survei yang melibatkan 3.000 orang dewasa di Tokyo, Jepang. Peneliti mengamati hubungan antara depresi, kepuasan hidup, kebahagiaan subjektif, penghargaan diri dan kesepian dengan frekuensi penggunaan ruang hijau.
Mereka menemukan, pemanfaatan ruang hijau yang lebih sering termasuk melihat pemandangan hijau dari jendela rumah berhubungan dengan peningkatan tingkat penghargaan diri, kepuasan hidup, kebahagiaan subjektif, serta penurunan tingkat depresi dan kesepian.
"Alam sekitar bisa berfungsi sebagai penyangga untuk mengurangi dampak merugikan peristiwa yang sangat menegangkan pada manusia," kata penulis utama studi, Masashi Soga dari The University of Tokyo seperti dilansir dari Science Daily, Minggu (22/11/2020).
Pakar kesehatan di Harvard Medical School, Jason Strauss menuturkan, berinteraksi dengan alam menawarkan manfaat terapeutik yang menenangkan, menurunkan tekanan darah dan kadar hormon stres kortisol baik itu dari aspek visual maupun suara.
"Pepohonan dan tanaman hijau membantu mengalihkan pikiran Anda dari pemikiran negatif, sehingga pikiran Anda tak dipenuhi dengan kekhawatiran," tutur dia dalam laman resmi Harvard Medical School.
Jika berjalan di alam tidak memungkinkan, mendengarkan suara alam punya efek yang serupa, menurut studi dalam Scientific Reports pada Maret 2017.
Peneliti menggunakan pemindai MRI untuk mengukur aktivitas otak pada orang saat mereka mendengarkan suara alam. Mereka menemukan, kegiatan ini punya proses yang sama seperti beristirahat.
Bahkan, melihat foto pemandangan alam, tempat favorit Anda, atau tempat yang ingin Anda kunjungi juga dapat membantu.
Lalu berapa lama sebaiknya berada di alam? Strauss merekomendasikan 20-30 menit setiap tiga hari dalam seminggu. Tetapi intinya, interaksi Anda dengan alam sebagai bagian dari gaya hidup normal Anda.
Waktu Anda bersama alam bisa sesederhana berjalan-jalan setiap hari di taman atau di jalan setapak yang masih banyak pepohonannya. Anda bisa juga sembari bersepeda. Tetapi ingatlah untuk menerapkan protokol kesehatan yakni memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan.
Editor: Agung DH