tirto.id - Sudah jadi rahasia umum bahwa kebebasan pers di Papua dibatasi oleh otoritas Indonesia. Wartawan internasional bisa saja meliput apa pun dengan bebas di pelbagai wilayah lain di Indonesia, tapi tidak di Papua. Ada berlapis perizinan yang perlu dipenuhi.
Kalaupun izin sudah dikantongi, belum tentu dipakai sebagai garansi mempelancar pekerjaan mencari informasi. Bisa saja di tengah jalan, atas penilaian karet dari otoritas terkait, wartawan ditendang keluar.
Hal inilah yang menimpa Rebecca Alice Henschke, Kepala Biro BBC Indonesia, yang meliput Kejadian Luar Biasa (KLB) gizi buruk dan campak di Kabupaten Asmat. Ia berangkat ke Papua dengan mengantongi izin, tapi kemudian dipaksa keluar hanya dari postingan di sosial media pribadi.
Rebecca, dalam cuitan di Twitter pada 1 Februari lalu (kini telah dihapus), mengunggah foto ragam makanan dan minuman yang tertumpuk di bibir Pelabuhan Feri Agats, ibu kota Asmat di pesisir selatan Papua, menghadap Laut Arafuru. Tidak ada yang janggal dari foto itu sampai kemudian kita membaca keterangan foto.
Ia menulis bahwa makanan dan minuman ini adalah bantuan untuk penderita gizi buruk di Papua. Secara tidak langsung, Rebecca mempertanyakan mengapa bantuan bagi mereka yang menderita gizi buruk sama sekali tak sesuai dengan yang dibutuhkan. Di hari yang sama, ia mengunggah foto dua personel Tentara Nasional Indonesia di sebuah hotel, yang satu bingkai dengan burung-burung.
Dua unggahan itu mengantarkan Rebecca diperiksa aparat keamanan secara maraton.
Rebecca, yang sudah dipantau media sosialnya sejak terbang dari Jakarta, diperiksa intel TNI dan polisi selama lima jam tanpa henti. Rebecca juga diperiksa imigrasi selama 24 jam, sebelum akhirnya dipulangkan ke Jakarta pada Sabtu pagi, 3 Februari, kemarin.
Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih Kolonel (Inf) Muhammad Aidi mengatakan cuitan Rebecca "telah melakukan pencemaran nama baik dan menyakiti hati kami, karena telah membuat berita bohong atau fitnah, dan sangat berpotensi merusak nama baik kami dan institusi TNI serta negara."
Mengenai foto makanan, kata Kolonel Aidi, bukanlah dari TNI.
Sebaliknya, katanya, Mabes TNI mengirim "beras, makanan tambahan, selimut, pakaian, vaksinasi, obat-obatan, perabot dapur seperti panci, piring, wajan, sendok, dan lain-lain."
Sementara untuk mengklarifikasi foto burung, Aidi mengatakan, saat itu masyarakat menawarkan anak burung ke TNI di teras hotel Sang Surya Asmat. "Namun, entah kenapa, Rebecca secara diam-diam mengambil foto kedua prajurit itu dengan penjelasan bahwa TNI membeli burung yang dipesan dari hutan," katanya dalam keterangan tertulis.
Direktorat Jenderal Imigrasi melalui Kantor Imigrasi Timika resmi menahan paspor jurnalis asal Australia ini dengan alasan yang sama dengan keberatan TNI, bahwa "cuitan beliau di dalam media sosial dapat menimbulkan persepsi dan kesan negatif terhadap pemerintah."
Bukan hanya Rebecca, orang sekelas duta besar saja pernah diprotes karena cuitan di Twitter tentang kondisi di Papua. Dubes Inggris untuk Indonesia, Moazzam Malik, dalam lawatan ke Papua pada November 2017 mengatakan: "selama perjalanan ke Papua, kami menyewa 12 mobil. Tidak ada satu pun sopirnya yang asli Papua. Apakah mereka berhak mendapatkan pekerjaan?"
Cuitan ini, meski tidak dihapus, harus membuat Moazzam mengklarifikasi dengan mengatakan: "Saya mendukung kesejahteraan WNI, termasuk warga Papua."
Apa yang dialami Rebecca pun pernah dialami rekan satu profesi yang lain. Pada Agustus 2014, misalnya, Thomas Dandois dan Valentine Bourrat, keduanya koresponden untuk televisi dwibahasa Perancis-Jerman Arte TV, ditahan oleh polisi di Wamena saat menggarap film dokumenter. Mereka menjalani masa tahanan dan menghadapi tuntutan "subversif". Keduanya dibebaskan pada Oktober 2014. Narasumber mereka, Areki Wanimbo, dipenjara 8 bulan dan keluarganya diintimidasi.
Amelia Fernandez-Grandon, juru bicara BBC, kepada Tirto menulis bahwa tim Rebecca telah kembali ke Jakarta. "Mereka sudah mendapatkan dokumentasi yang dibutuhkan dan otoritas mengetahui kerja mereka."
"BBC menghormati aturan setempat," tambahnya, yang enggan memberi keterangan lebih lanjut.
Status Quo Papua untuk Jurnalis Asing
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) merespons kasus Rebecca dengan menyatakan "mengecam" pengusiran ini. Abdul Manan, Ketua Umum AJI Indonesia, mengatakan peristiwa ini "mengesankan ada ketakutan pemerintah terhadap peliputan media asing soal kondisi Papua."
Selain itu, Manan mengatakan Rebecca dan dua rekannya sesama wartawan BBC memenuhi syarat administratif sehingga tidak ada alasan bagi ketiganya diusir dari Papua.
Kolonel (Inf) Muhammad Aidi menyanggah pernyataan AJI, menyatakan bahwa dalam pemeriksaan nomor paspor Rebecca berbeda dari nomor paspor yang tertera dalam surat Izin menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA), yang dikeluarkan Dinas Tenaga Kerja.
"Dalam pemeriksaan terungkap ada kejanggalan administrasi," kata Aidi.
Dalam keterangan tertulis, Aidi menegaskan "tidak pernah ada larangan peliputan oleh jurnalis mana pun di Asmat, termasuk di daerah lain di seluruh wilayah Indonesia, selama mengikuti prosedur yang berlaku." Ia mencontohkan Step Vaessen, koresponden Indonesia untuk Al Jazeera, yang diizinkan meliput gizi buruk di Asmat.
"Mereka sebelumnya berkoordinasi dengan kami dan mengikuti prosedur yang berlaku. Selanjutnya mereka melaksanakan peliputan dengan enjoy tanpa masalah," kata Aidi.
Ia juga menekankan kembali bahwa "banyak jurnalis asing yang mengembangkan opini bahwa Papua tertutup untuk jurnalis asing karena ada yang ditutupi oleh pihak Indonesia," sementara mereka masuk ke sana tanpa izin resmi.
Namun, sulit untuk tidak mengatakan bahwa Papua tertutup bagi wartawan asing.
Pemerintah pusat masih mempertahan mekanisme apa yang disebut "clearing house." Wartawan internasional mesti mengikuti proses di clearing house, terdiri 18 unit kerja dari 12 kementerian berbeda dengan prosedur berbelit-belit dan lama.
Pemerintah Indonesia mengklaim, sejak Mei 2015 hingga Mei 2017, telah mengizinkan 39 wartawan asing untuk meliput ke Papua. Namun AJI membantah dengan mengatakan bahwa jumlah wartawan asing yang bisa menginjakkan kaki di Papua selama dua tahun terakhir tidak lebih dari 15 orang.
Human Rights Watch, lembaga pemantau hak asasi manusia berbasis di New York, pada Mei 2017 mencatat pemerintah Indonesia memang terus membatasi akses media asing ke Papua, dan mendeportasi mereka yang ketahuan melanggar. Di antaranya wartawan Perancis Jean Frank Pierre dan Marie Basille Longchamp.
Hal sama terungkap dari data organisasi Wartawan Tanpa Batas (Reporters Sans Frontieres/ RSF). Meski sejak 2015 peringkat kebebasan pers di Indonesia menunjukkan tren meningkat (dari 180 negara, Indonesia menempati peringkat 138 pada 2015 dan 124 pada 2017), tetapi situasinya masih dalam "kategori merah." Artinya, jurnalis atau pers di Indonesia masih dalam situasi sulit. Situasi ini mencerminkan meningkatnya kasus kekerasan terhadap wartawan.
Menurut RSF, salah satu alasan mengapa Indonesia masih masuk kategori "merah" adalah minimnya akses media internasional ke Papua.
Edgardo Legaspi, direktur eksekutif Southeast Asian Press Alliance (SEAPA), dalam satu diskusi Hari Kebebasan Pers Sedunia di Jakarta, mengatakan hal sama. "Kantor kementerian luar negeri akan bertanya kepada Anda: Akan pergi tugas ke mana? Dan jika Anda lantas menyebutkan Papua, Anda akan mengalami urusan yang lebih susah," kata Legaspi kepada Tirto, 3 Mei 2017.
Ia menuturkan cara serupa mirip dengan kebijakan Indonesia di bawah rezim Soeharto. Ruang gerak media dibatasi dan kerja wartawan diawasi.
"Ini diskriminasi. Ada lebih banyak hambatan ke Papua dibanding wilayah lain bagi wartawan asing," ujarnya.
Mekanisme clearing house yang melibatkan sejumlah kementerian itu dibagi empat unit kerja di Kemenlu, yakni pengamanan diplomatik, konsuler, fasilitas diplomatik, serta informasi dan media. Di antara departemen lain yang menyaring izin akses ke Papua termasuk dari Polri, Badan Intelijen Negara, dan Badan Intelijen Strategis dari TNI. Bila urusan izin kelar, wartawan akan dipantau secara dekat oleh intelijen sepanjang bertugas.
"[Intelijen] ngikutin, dipantau, diawasi. Narasumber kita yang kasihan," kata Victor Mambor, wartawan dan pemimpin umum Tabloidjubi.com dan Koran Jubi yang mendampingi wartawan asing untuk meliput di Papua kepada Tirto tahun lalu.
Presiden Joko Widodo saat menghadiri panen raya di Kabupaten Merauke, 10 Mei 2015, mengatakan mekanisme "clearing house" sudah dicabut, tetapi tanpa disertai perintah tertulis atau menerbitkan produk hukum, sehingga pada esensinya, prosedur ini tetap berlaku.
Seperti yang dikatakan Ade Safira, kepala seksi perlindungan hak-hak sipil dan politik dari Kementerian Luar Negeri, serta Bagas Narararya dari Dirjen Mutilateral Kemenlu:
"Clearing house itu tidak hanya untuk jurnalis, tapi juga untuk penelitian," kata Safira kepada Tirto, 3 Mei lalu. Sementara Bagas mengatakan tidak ada aturan bagi pemerintah untuk memberikan alasan jika menolak izin seseorang. "Itu di negara mana pun begitu," katanya.
Keduanya tidak menjelaskan apa saja tolok ukur pengajuan izin bisa diterima atau tidak. Namun, yang jelas, kata Safira, pertimbangan utama pemberian izin ini adalah "faktor keamanan."
Natalius Pigai, saat itu Komisioner Komnas Hak Asasi Manusia dari Papua, mengatakan bahwa pemerintah sengaja melakukan ini untuk menutupi kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Papua.
"Wartawan asing atau NGO dilarang di Papua itu sebenarnya menunjukkan kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua masih berlangsung sampai sekarang. Kalau memang pemerintah tidak melakukan pelanggaran hak asasi di Papua, saya kira kebebasan pers pasti dibuka," ujarnya.
Penulis: Rio Apinino