Menuju konten utama

Risiko Kematian Mengintai Wartawan Politik dan Perang

Di Indonesia, sejak 1992, terjadi 11 pembunuhan terhadap wartawan.

Header Periksa Data Risiko Jurnalis dan Perlindungan Kolaboratif. tirto.id/Rangga

tirto.id - Perdana Menteri Malta Joseph Muscat mengumumkan bahwa total 10 tersangka tertangkap terkait pembunuhan wartawan Daphne Caruana Galizia melalui cuitan twitternya pada 4 Desember (@JosephMuscat_JM):

"An additional 2 persons have been apprehended in #DaphneCaruanaGalizia murder probe, bringing total to 10 arrests. Authorities have all areas of interest under control since early this morning and searches are underway."

Daphne Caruana Galizia, wartawan yang memimpin penyelidikan Panama Papers tentang korupsi di Malta, terbunuh 16 Oktober lalu karena ledakan bom dalam mobilnya. Galizia mengunggah tulisannya di Facebook yang berisi dugaan keterlibatan Joseph Muscat beserta istrinya serta seorang kepala staf pemerintahan, yang memiliki perusahaan cangkang di Panama, menerima uang dari pemerintah Azerbaijan.

Setelah unggahannya tersebut, Galizia tidak dapat mengakses akun Facebooknya. Karena unggahannya itu pula, Muscat menyatakan akan menuntut Galizia.

Selain Galizia, kasus terbaru adalah pembunuhan Sudip Dutta Bhaumik, jurnalis investigatif di India yang tewas tertembak pada 21 November 2017. Terbunuhnya Bhaumik diduga berkaitan dengan investigasi korupsi dalam kepolisian yang sedang ia selidiki. Selama hidupnya, Bhaumik mendedikasikan diri sebagai jurnalis politik dan korupsi.

Baca juga: Indonesia: 11 Wartawan Tewas, Kekerasan Naik, Papua Tertutup

Wartawan adalah salah satu profesi yang berisiko. Pembunuhan terhadap wartawan terjadi di berbagai belahan dunia. Menurut data Comittee to Protect Journalist (CPJ), sejak 1992 hingga 8 Desember 2017 terdapat 1.265 jurnalis di dunia yang terbunuh dan motif pembunuhannya telah terkonfirmasi. Selain itu, ada 496 pembunuhan wartawan yang motifnya belum terkonfirmasi.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/12/12/risiko-jurnalis-dan-pentingnya-perlindungan-kolaboratif--periksadata--rangga-1-01.jpg" width="860" alt="infografik periksa data risiko jurnalis dan perlindungan kolaboratif" /

Sumber: Committee to Project Journalist

*) Diakses per 8 Desember 2017, pukul 16.00 WIB

Pada 1992, terdapat 55 pembunuhan jurnalis dengan 44 kasus telah terkonfirmasi motifnya. Jumlah ini meningkat menjadi 75 kasus pada 2004. Kasus pembunuhan mencapai puncaknya pada 2012 dengan jumlah 104, 74 korban di antaranya telah terkonfirmasi motifnya. Adapun sejak Januari 2017 hingga 8 Desember, tercatat ada 50 kasus pembunuhan terhadap jurnalis.

Berdasarkan tempat pembunuhan, Irak merupakan negara dengan kasus pembunuhan jurnalis terbanyak. Sejak 1992, tercatat ada 186 jurnalis yang terbunuh dan kasusnya telah terkonfirmasi di Irak. Negara paling tak aman bagi jurnalis selain Irak adalah Suriah. Ada 114 kasus pembunuhan jurnalis di sana yang telah terkonfirmasi.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/12/12/risiko-jurnalis-dan-pentingnya-perlindungan-kolaboratif--periksadata--rangga-2-01.jpg" width="860" alt="infografik periksa data risiko jurnalis dan perlindungan kolaboratif" /

Sumber: Committee to Project Journalist

*) Diakses per 8 Desember 2017, pukul 16.00 WIB

Paling Berisiko: Jurnalis Politik dan Peperangan

Apabila melihat jumlah pembunuhan berdasarkan jenis peliputan yang dilakukan, jurnalis yang menangani kasus politik hampir sama berisikonya dengan peperangan. Pada 2011, tercatat ada 21 jurnalis yang meliput politik terbunuh. Jumlahnya terus meningkat hingga mencapai 50 orang pada 2015.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/12/12/risiko-jurnalis-dan-pentingnya-perlindungan-kolaboratif--periksadata--rangga-3-01.jpg" width="860" alt="infografik periksa data risiko jurnalis dan perlindungan kolaboratif" /

Sumber : Committee to Project Journalist

*) Diakses per 8 Desember 2017, pukul 16.00 WIB

Untuk jurnalis perang, tercatat ada 11 orang yang terbunuh pada 2010. Jumlah ini meningkat menjadi 40 orang pada 2012 dan 36 jurnalis di 2016. Hingga 10 Desember 2017, tercatat ada 19 jurnalis perang yang dibunuh sejak Januari.

Di Indonesia sendiri masih terjadi kasus serupa walaupun tidak separah Irak ataupun Suriah. Menurut data CPJ, terdapat 11 jurnalis di Indonesia terbunuh sejak 1992 hingga 2017. Sepuluh orang di antaranya telah diketahui motif pembunuhannya.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/12/12/risiko-jurnalis-dan-pentingnya-perlindungan-kolaboratif--periksadata--rangga-4-01.jpg" width="860" alt="infografik periksa data risiko jurnalis dan perlindungan kolaboratif" /

Sumber: Committee to Project Journalist

*) Diakses per 8 Desember 2017, pukul 16.00 WIB

Ada satu kasus kematian yang belum terungkap motifnya. Mayat Mohamad Jamal, juru kamera TVRI, ditemukan di sebuah sungai pada 17 Juni 2003 setelah diculik pada 20 Mei ia oleh orang-orang bersenjata tak dikenal di kantornya di Banda Aceh. Menurut keterangan saksi, ketika ditemukan, mata dan mulut Jamal tertutup lakban, tangannya juga terikat tali nilon. Sampai saat ini. CPJ masih terus menyelidiki kasus tersebut.

Apa lingkup liputan para wartawan yang terbunuh di Indonesia ini? Jawabannya adalah politik dan korupsi. Dari 10 kasus yang terkonfirmasi, 6 pembunuhan dilatari peliputan yang terkait kasus korupsi. Mereka adalah Ardiansyah Matra'is, Anak Agung Prabangsa, Herliyanto, Naimullah, Muhammad Sayuti Bochari, dan Fuad Muhammad Syafruddin.

Yang membikin heran, Reformasi politik tak membikin pembunuhan jurnalis di Indonesia terhenti. Anda bisa melihat data pembunuhan wartawan setelah 1998. Ada tujuh wartawan terbunuh di Era Reformasi ini. Era kebebasan berpendapat dan keterbukaan informasi tak membuat wartawan lebih aman.

Di Indonesia, jurnalisme sudah diatur dalam UU Pers, sehingga setidaknya wartawan tidak mudah dikriminalkan. Namun, untuk mencegah pembunuhan, perlindungan hukum positif saja belum cukup. Jurnalis sendiri perlu bersiasat dalam menghadapi tantangan dan ancaman. Salah satunya adalah bekerja secara kolaboratif.

Contoh kerja kolaboratif sesungguhnya telah dilakukan dalam menguak Panama Papers. Wartawan media-media di banyak negara berkolaborasi mengungkapkan data orang-orang yang punya perusahaan cangkang di negara suaka pajak.

Apa pentingnya kerja kolaboratif?

Bekerja secara kolaboratif memungkinkan Anda meliput sesuatu dengan magnituda yang lebih besar. Setidaknya dalam kerja kolaboratif, ada beberapa media yang bekerja menghadapi subyek-subyek dalam liputan, semisal korupsi, militerisme, serta liputan berisiko lain. Intinya, Anda tak bekerja sendirian dan menanggung risikonya sendirian.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Desi Purnamasari

tirto.id - Politik
Reporter: Desi Purnamasari
Penulis: Desi Purnamasari
Editor: Maulida Sri Handayani