tirto.id -
Dia mengingatkan, surat edaran Kemenkes yang diterbitkan Senin lalu tidak mempunyai kekuatan mengikat seperti Peraturan Menteri Kesehatan atau Keputusan Menteri Kesehatan. Sebab, surat edaran hanya sebatas himbauan dan tak ada sanksinya.
Timboel menambahkan pemerintah harus memastikan bertanggung jawab kepada masyarakat miskin. Artinya pemerintah pemerintah sebaiknya menanggung biaya rapid test atau PCR yang dilakukan bagi masyarakat tidak mampu.
"Harus ada kepastian tanggung jawab pemerintah kepada orang yang tidak mampu sehingga biaya rapid dan PCR tidak memberatkan masyarakat miskin. Negara harus menanggungnya," kata Timboel.
Di sisi lain, ia mempertanyakan soal mekanimse rapid tes yang dilakukan oleh peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pasalnya, pihaknya masih kebingungan soal pembayaran rapid test, apakah peserta JKN membayar mandiri atau dibayar BPJS Kesehatan.
"Kalau mengacu pada perpres 82 tahun 2018, pasien JKN tidak boleh diminta biaya lagi. Nah harusnya soal ini disebut juga sehingga pasien JKN tidak membayar test COVID-19 lagi," kata Timboel.
Sebelumnya, Kementerian Kesehatan menerbitkan surat edaran terkait batas tertinggi tarif pelayanan rapid test. Hal itu diatur dalam Surat Edaran Nomor HK.02.02/I/2875/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Rapid Test Antibodi.
Surat tersebut ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Bambang Wibowo pada 6 Juli 2020. Dalam edaran itu dijelaskan, pemerintah perlu menetapkan tarif maksimal bagi masyarakat yang ingin melakukan rapid test lantaran tarif saat ini masih bervariasi. Hal itu menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat.
Pemerintah mematok harga tertinggi sebesar Rp150 ribu bagi masyarakat yang memeriksa secara mandiri.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Reja Hidayat