tirto.id - Jajaran direksi Jiwasraya seperti sedang disidang dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Gedung DPR, 7 November 2019. Sang direktur utama, Hexana tri Sasongko memaparkan laporan kondisi perusahaan asuransi plat merah itu di depan para anggota Komisi XI.
Tidak ada media yang mengetahui langsung apa yang disampai oleh Hexana. Namun dari dokumen dengan label strictly confidential yang dipaparkan Hexana, terlihat gambaran apa saja yang disampaikannya saat itu: perusahaan limbung, merugi hingga Rp13,74 triliun dan perlu diselamatkan.
Sayangnya, setelah pertemuan itu Hexana memilih bungkam. Jajaran direksi Jiwasraya justru menghindari kejaran awak media yang meminta konfirmasi. Seperti main kucing-kucingan dengan awak media, para direksi meninggalkan ruang Komisi XI dan gedung DPR tanpa diketahui.
Memang, sejak lama Jiwasraya dibelit masalah. Sejak setahun lalu, mereka rugi besar. Periode sembilan bulan pertama 2019, kerugian setelah pajak yang dicatatkan Jiwasraya menyentuh angka Rp13,74 triliun. Sementara itu, hingga tutup buku 2018, rugi setelah pajak yang dibukukan Jiwasraya mencapai Rp15,89 triliun.
Keuntungan sempat direguk perseroan ini periode 2009-2017. Pada tahun 2017, Jiwasraya hanya mampu mengantongi duit Rp430 miliar setelah audit.
Sebelum melaporkan nilai keuntungan itu, Jiwasraya sempat mengklaim mencatat laba bersih sebesar Rp2,4 triliun. Angka ini lebih tinggi dari laba 2016 yang sebesar Rp2,14 triliun.
Namun, angka-angka keuntungan itu ternyata tidak benar-benar ada. Saat Asmawi menjabat sebagai Direktur Utama Jiwasraya medio 2018, PriceWaterHouseCoopers (PWC) melakukan audit ulang. Hasilnya, laba perseroan anjlok menjadi hanya Rp328,44 miliar untuk kinerja keuangan Jiwasraya periode 2017.
“Ada mismanagement dari manajemen lama,” ungkap Asmawi saat itu kepada Tirto.
Likuiditas Jiwasraya per 2017 pun mulai terganggu lantaran berkurang 8,9 persen menjadi 147,5 persen dibanding 2016 yang mencapai 156,29 persen. Perseroan juga mengalami penurunan rasio perimbangan hasil investasi dengan pendapatan premi neto dari yang sebelumnya sebesar 17,57 persen menjadi hanya 15,65 persen.
Nilai aset yang dimiliki perseroan juga terus tergerus. Jiwasraya mengklaim, aset yang dimiliki pada 2017 mencapai Rp45,69 triliun. Angka ini kemudian terus menyusut, karena berdasarkan laporan keuangan perseroan unaudited, aset yang dimiliki tergerus hingga Rp36,23 triliun. Per 30 September 2019, aset Jiwasraya kembali susut dan menyisakan Rp25,68 triliun.
Angka itu tidak sebanding dengan kewajiban yang harus dilunasi oleh perusahaan. Catatan liabilitas perseroan membengkak hingga Rp49,6 triliun per September 2019. Posisi ini naik Rp2,57 triliun dibanding akhir 2018 yang senilai Rp47,03 triliun.
Angka liabilitas Jiwasraya terus bertambah dibanding 2017 yang sebesar Rp40,11 triliun.
Alhasil, ekuitas perseroan turun dan berada dalam tren negatif sejak 2018. Berdasarkan salinan catatan evaluasi kinerja Jiwasraya yang disampaikan kepada Komisi XI DPR, ekuitas perseroan berada di angka minus Rp23,92 triliun pada September 2019.
Melanggar Aturan OJK
Realisasi ekuitas itu memburuk dibanding ekuitas perseroan per akhir 2018 yang senilai negatif Rp10,2 triliun. Padahal, realisasi 2017 mencatat ekuitas perusahaan masih berada di level positif sebesar Rp5,57 triliun. Ekuitas merupakan hak yang dimiliki perusahaan setelah dikurangi seluruh kewajiban. Ekuitas terdiri dari modal disetor, laba ditahan, cadangan, laba, saham, dan modal lainnya.
Dalam peraturan OJK Nomor 71/POJK.05/2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi (PDF) diamanatkan bahwa perusahaan asuransi wajib memiliki ekuitas paling sedikit sebesar Rp100 miliar. Ketentuan Pasal 33 dalam POJK ini saja tidak sanggup dipenuhi oleh Jiwasraya.
Kondisi ini juga diperparah dengan potensi penurunan aset atau impairment senilai Rp6,21 triliun. Dengan demikian, total ekuitas diperkirakan memburuk hingga negatif Rp30,13 triliun.
Berbagai torehan negatif itu membuat rasio kecukupan modal (solvabilitas) atau risk based capital (RBC) perusahaan asuransi BUMN ini terjun bebas hingga minus 805 persen. Realisasi ini memburuk dibanding catatan akhir tahun 2018 yang sudah menyentuh angka negatif 282 persen.
Padahal, Pasal 3 POJK Nomor 71/POJK.05/2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi (PDF) menyebut bahwa tingkat solvabilitas perusahaan asuransi ditetapkan paling rendah sebesar 120 persen dari Modal Minimum Berbasis Risiko (MMBR).
Aturan ini terakhir kali dipenuhi oleh Jiwasraya pada 2017 lalu, di mana tingkat solvabilitas perseroan hanya lebih tipis di atas ketentuan yaitu sebesar 123 persen. Untuk menormalkan kembali rasio solvabilitas hingga ke level yang ditentukan yaitu 120 persen, Jiwasraya mengaku membutuhkan dana segar hingga Rp32,89 triliun.
Terkait bobroknya kinerja keuangan dan permintaan suntikan dana segar ini, jajaran direksi Jiwasraya belum memberikan tanggapan apapun. Pertanyaan yang Tirto ajukan kepada Direktur Utama Jiwasraya, Hexana Tri Sasongko dan juga kepada Rianto Ahmadi, Direktur Teknik Jiwasraya, tak berbalas.
Setali tiga uang, wasit lembaga keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga masih irit bicara terkait polemik Jiwasraya. Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Riswinandi saat ditemui selepas acara peluncuran Fintech Data Centre (FDC) di Hotel JS Luwansa pada Senin (11/11/2019) pun enggan memberikan tanggapan berarti atas permasalahan dan upaya penyehatan Jiwasraya.
Riswinandi mengaku masih harus melihat dan mempelajari terlebih dahulu permintaan kebutuhan likuiditas sampai dengan Rp32,89 triliun yang dimohonkan oleh Jiwasraya.
“Nanti kita lihat. Belum final [permintaan likuiditas], makanya lihat datanya. Saya juga mesti lihat dan pelajari. Kita lihat dulu,” jawab Riswinandi.
Juru Bicara OJK, Sekar Putih Djarot menambahkan, OJK masih terus melakukan koordinasi dan komunikasi dengan pemegang saham terkait skema penguatan kondisi perusahaan asuransi Jiwasraya.
“Saat ini, atas persetujuan pemegang saham Jiwasraya sedang melakukan program penyehatan menyeluruh termasuk telah mendirikan anak perusahaan Jiwasraya Putra dan OJK akan terus memantau prosesnya,” tulis Sekar melalui aplikasi pesan instan kepada Tirto.
Saving Plan, Pangkal Permasalahan Likuiditas Jiwasraya
Dalam paparan rapat kerja dengan Komisi XI DPR itu, Jiwasraya menjelaskan pangkal permasalahan terkait terbitnya produk saving plan tahun 2013-2018. Kesalahan pertama yang dilakukan manajemen lama terkait pembentukan harga produk alias mispricing.
Produk saving plan yang ditawarkan melalui bancassurance dengan garasi imbal hasil atau return sebesar 9 persen-13 persen, selama periode 2013-2018 dengan metode pencairan dilakukan setiap tahun.
“Dengan garansi return yang ditawarkan dan saat ini lebih tinggi dari pertumbuhan IHSG dan yield obligasi serta dapat dicairkan setiap tahun, Jiwasraya terus terkena risiko pasar,” tulis Jiwasraya dalam laporan Evaluasi Kerja 2019 dan Rencana Kerja 2020 yang diserahkan kepada Komisi XI DPR.
Demi mengejar return itu, Jiwasraya banyak melakukan investasi sembrono di saham dan reksadana yang memiliki tingkat risiko tinggi alias high risk asset. Celakanya, investasi sembarangan ini diduga rekayasa.
Ini seperti paparan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2016 atas pengelolaan bisnis asuransi, investasi, pendapatan dan biaya operasional Jiwasraya tahun 2014-2015. Salah satu potensi risiko gagal bayar investasi yang dialami Jiwasraya adalah atas transaksi investasi pembelian surat utang jangka menengah atau medium term note (MTN) milik PT Hanson International Tbk (MYRX).
Jiwasraya memborong obligasi yang diterbitkan MYRX dengan peringkat BBB, senilai total Rp680 miliar dengan kurang memperhitungkan aspek legal. Sebab dalam prospektus PT HI Tbk, penjualan MTN tidak didaftarkan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan tidak dicatatkan pada bursa efek manapun.
Lantaran tidak tercatat di BEI, informasi harga MTN PT HI Tbk ini juga tidak tersedia sehingga akan sulit menentukan harga wajar atas MTN tersebut saat Jiwasraya ingin melepas kepemilikan. LHP BPK juga menyebut bahwa PT HI Tbk sebagai penerbit MTN tidak memiliki kinerja keuangan yang cukup baik.
Periode 2013, Hanson mengempit rugi komprehensif sampai dengan Rp119,32 miliar. Sedangkan 2014-2015, perusahaan menorehkan laba komprehensif hanya senilai Rp1,04 miliar dan Rp8,33 miliar. Meski demikian, pendapatan perusahaan mengalami penurunan signifikan pada 2015 menjadi Rp54,8 miliar dibanding 2014 yang mencapai Rp266,36 miliar.
“Dengan penurunan pendapatan usaha dan laba yang tidak terlalu besar di tahun 2015, seharusnya menjadi pertimbangan Jiwasraya dalam melakukan investasi pada MTN PT HI Tbk,” begitu petikan dalam LHP tersebut.
Nama Benny Tjokrosaputro tercatat sebagai Direktur Utama PT HI Tbk tahun 2016 dan pemegang saham dan Komisaris Utama PT HI Tbk hingga saat ini (PDF). Benny adalah orang yang dekat dengan direksi Jiwasraya periode 2008-2018 yakni Hendrisman Rahim Direktur Utama dan Hary Prasetyo Direktur Keuangan.
Nama Benny Tjokrosaputro bahkan saat ini mendapat sanksi administratif dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) lantaran terbukti melakukan pelanggaran Pasal 107 UUPM dan bertanggung jawab atas kesalahan penyajian laporan keuangan tahunan (LKT) PT HI Tbk per 31 Desember 2016.
“Benny Tjokrosaputro dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp5 miliar,” tulis OJK dalam keterangan resmi.
LHP BPK juga menyoroti masalah investasi Jiwasraya pada saham PT Trikomsel Oke Tbk (TRIO), PT Sugih Energy Tbk (SUGI), PT Eureka Prima Jakarta Tbk (LCGP), dan PT Inti Agri Resource Tbk (IIKP). Jiwasraya berinvestasi di 14 reksadana yang dimiliki oleh IIKP, di mana kepemilikan secara tidak langsung pada saham perusahaan swasta itu melebihi batas maksimal penempatan pada satu saham.
Hasil pemeriksaan BPK terhadap 14 portofolio reksadana IIKP juga berpotensi menyumbang kerugian bagi Jiwasraya minimal sebesar Rp601,88 miliar.
Di perusahaan yang bergerak di bidang perikanan, perdagangan, industri dan perkebunan itu, Jiwasraya menggenggam saham IIKP sampai dengan Rp6,04 triliun. Padahal nilai aset IIKP hanya sejumlah Rp332 miliar dan sebagian besar setara Rp182,78 miliar merupakan persediaan ikan indukan.
BPK memberikan catatan “Investasi ini berpotensi merugikan Jiwasraya karena tidak berimbangnya jumlah investasi dengan nilai aset IIKP.”
Laporan keuangan audit IIKP per 31 Desember 2015 dan 2014 juga menunjukkan kerugian, masing-masing senilai Rp16,31 miliar dan Rp11,95 miliar. LHP BPK menyebut terakhir kali IIKP mencetak cuan adalah pada 2008.
Perlu menjadi catatan Komisaris Utama IIKP adalah Heru Hidayat yang juga orang dekat Hendrisman Rahim dan Hary Prasetyo, Direktur Utama dan Direktur Keuangan Jiwasraya periode 2008-2018.
Jiwasraya juga menghamburkan dana investasi dengan membeli saham lapis tiga lainnya (sering disebut sebagai junk stocks atau small-cap stocks), salah satunya saham PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM). Jiwasraya memiliki 5,87 persen saham TRAM pada 29 Mei 2013. Saat itu, harga saham TRAM mencapai Rp1.300-an per lembar. Total investasi Jiwasraya di TRAM saat itu sekitar Rp760 miliar.
Pada 28 November 2014, saham TRAM terjun bebas ke angka Rp319,8 per lembar. Sejak saat itu harga saham TRAM tidak pernah di atas Rp500 per lembar. Bahkan saham TRAM terus terjun bebas ke level gocap, pada perdagangan Senin (11/11/2019) di posisi Rp55 per saham.
Tergerusnya dana investasi produk saving plan ini diakui jajaran direksi Jiwasraya lantaran lemahnya prinsip kehati-hatian dalam investasi yang dilakukan.
“Tidak adanya portofolio guideline yang mengatur nilai investasi maksimum pada high risk asset, sehingga dengan kondisi pasar saat ini, mayoritas aset investasi tidak dapat diperjualbelikan alias illiquid,” ungkap jajaran direksi Jiwasraya di hadapan anggota Komisi XI DPR.
Utang klaim dari produk saving plan yang sudah jatuh tempo mencapai Rp9,87 triliun. Jika digabung dengan utang klaim produk investasi lain yang dijual oleh Jiwasraya, perseroan memiliki klaim utang mencapai Rp9,9 triliun.
Penulis: Dea Chadiza Syafina
Editor: Mawa Kresna