tirto.id - Forum Komunikasi Pemegang Polis Bancassurance Jiwasraya sudah enam kali bertemu dengan Satgas Percepatan dan Efektivitas Pelaksanaan Kebijakan Ekonomi Kelompok Kerja (Pokja IV) untuk membahas nasib nasabah Jiwasraya. Namun, pertemuan-pertemuan itu tidak menghasilkan apa-apa selain janji.
Pada 12 Februari 2019 mereka bertemu Pokja IV dan Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan. Pertemuan itu tidak menghasilkan apa-apa meski Luhut sudah turun tangan.
Karena frustrasi tidak ada kejelasan, pada 5 Agustus 2019, kelompok nasabah yang terdiri dari 34 orang itu nekat menyambangi kementerian BUMN. Mereka berharap bisa bertemu Menteri Rini Soemarno, yang ketika itu menjabat sebagai Menteri BUMN. Hasilnya tentu nihil. Mereka justru terlibat cekcok dengan pihak keamanan dan hanya ditemui oleh kepala keamanan di basement Kementerian BUMN.
Masih di hari yang sama, mereka kemudian menuju Kantor OJK di Wisma Mulia 2, Jalan Gatot Subroto untuk bertemu Riswinandi, Ketua Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK. Hasilnya, sama nihilnya.
Hendra, salah satu pemegang polis dari kelompok nasabah Jiwasraya mengatakan bahwa ia memang sempat bertemu dengan pihak Jiwasraya. Saat itu Jiwasraya menjanjikan akan membayarkan premi jatuh tempo pada Juni hingga Juli 2019.
“Tapi itu untuk yang hanya jatuh tempo 6 Oktober 2018, itupun yang polisnya di bawah 1 miliar. Sementara jatuh tempo saya 7 Oktober 2018,” ujar Hendra yang tak mau menyebut angka pasti polisnya. Ia hanya bilang kisaran 500 juta hingga 1 miliar rupiah.
Hendra dan nasabah lain berusaha mencari kepastian lagi dari pihak Jiwasraya maupun bank mitra. Ia kemudian dijanjikan akan mendapatkan pengembalian dananya pada September 2019. Namun, janji itu tidak terbayar, bahkan sampai mereka bertemu kembali dengan Menteri Luhut, pada 14 September 2019, tetap tidak ada kepastian.
“Mereka hanya bilang, akan dibayarkan jika ada ketersediaan dana. Enggak bilang tanggalnya,” imbuh Hendra.
Terakhir ia bertemu dengan pihak Standard Chartered Bank, tempat ia membuka polis Jiwasraya, pada 26 Oktober 2019. Sayangnya, masih juga tidak ada perkembangan berarti. Standard Chartered hanya menginformasikan skema pembayaran yang ditawarkan Jiwasraya. Perusahaan pelat merah itu saat ini sedang menunggu investor dari lima negara.
Wakil Ketua Pokja IV, Purbaya Yudhi Sadewa sebenarnya sudah meminta Luhut Binsa Panjaitan untuk memidanakan kasus Jiwasraya sekitar sebulan lalu. Namun, hingga saat ini Luhut belum memberi lampu hijau.
“Pak Luhut hanya bilang ia harus minta izin dulu ke Presiden,” ujar Purbaya.
Ada Rp572 Miliar Dana Warga Korea di Jiwasraya
Ketua Kamar Dagang dan Industri Korea Selatan Lee Kang-hyun sempat menemui Menteri Rini Soemarno pada awal Agustus 2019. Selain sebagai salah satu nasabah yang dananya mengendap di Jiwasraya, ia juga mewakili 474 nasabah warga negara Korea Selatan lainnya yang membeli polis Jiwasraya di KEB Hana Bank dengan total premi pokok sebesar Rp572 miliar.
“Bu Rini menjanjikan ini akan diselesaikan pada September 2019,” ujar Lee.
Lee sebenarnya sudah mendesak pemerintah Korea untuk mengintervensi kasus ini. Beberapa kali, kasus Jiwasraya sempat menjadi perbincangan di parlemen Korea dan menjadi headline berita media-media negari ginseng tersebut. Diketahui KEB Hana Bank melakukan kesalahan lantaran menjual produk JS Saving Plan, yang merupakan bancassurance sebagai produk deposito.
“Untuk hal itu, KEB Hana sudah mengakui kesalahannya di parlemen Korea,” sambung Lee.
Lee, seperti halnya Hendra kepada Standard Chartered, mengusulkan KEB Hana memberikan dana talangan untuk membayarkan premi pokok nasabah yang sudah jatuh tempo terlebih dahulu.
Kami berusaha meminta konfirmasi dari Standard Chartered Bank maupun KEB Hana Bank. Pihak Standard Chartered tidak merespon komunikasi kami. Sementara KEB Hana menegaskan tidak mau menjawab pertanyaan kami.
“Mohon maaf untuk saat ini kami tidak bisa memberikan jawaban perihal kasus Jiwasraya,” tulis perwakilan Corporate Communication Development KEB Hana Bank melalui email kepada Tirto.
Di sisi lain, ide itu pun ditolak oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Opsi tersebut memang tidak sesuai dengan POJK Nomor 70 tahun 2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Reasuransi pasal 23 dan 24 yang melarang perusahaan mengembalikan pinjaman subordinasi apabila hal tersebut akan menyebabkan tidak terpenuhinya target tingkat solvabilitas internal.
Penyehatan keuangan perusahaan sudah diatur dalam pasal 50 dan 51 yakni dengan melakukan restrukturisasi aset, penambahan modal disetor, pemberian pinjaman subordinasi, peningkatan tarif premi, pengalihan sebagian atau seluruh portofolio pertanggungan, penggabungan usaha dan atau tindakan lain.
Jiwasraya memilih opsi membikin anak perusahaan Jiwasraya Putra, dengan berharap pada investor dari lima negara, yakni Hong Kong, Cina, Jepang, Korea, dan Inggris.
Kendati demikian Purbaya menyangsikan opsi itu. “Ya memangnya investor luar itu bodoh? Mereka kan, juga pasti melihat laporan keuangan, kemudian ada indikasi fraud. Tapi tidak apa-apa. Kita tunggu saja, namanya juga sedang mengusahakan,” timpal Purbaya.
Pernyataan Purbaya tersebut merespons lambannya sikap pemerintah, baik Kementerian BUMN maupun OJK dalam menindak kasus Jiwasraya. “Kalau ini swasta, pasti sudah dibawa ke pidana,” imbuhnya lagi.
Total Utang Jiwasraya Capai Rp16 triliun
Sudah lebih dari setahun sejak mengumumkan tekanan likuiditas yang dialaminya, Jiwasraya masih jauh dari pulih. Saat ini total premi yang harus dibayarkan sudah jauh berlipat hingga Rp16,13 triliun dari yang sebelumnya yang hanya Rp802 miliar yang jatuh tempo pada 6 Oktober 2018.
Rincian ini berdasarkan laporan Jiwasraya kepada DPR yang dipaparkan saat Rapat Dengar Pendapat antara Jiwasraya, OJK dan Komisi XI DPR RI, Kamis (7/11).
Angka tersebut merupakan kewajiban premi yang jatuh tempo pada Oktober hingga Desember 2019 sebesar Rp12,4 triliun dan kewajiban pada 2020 yang mencapai Rp3,7 triliun. Dua belas triliun itu merupakan gabungan antara utang klaim yang sudah jatuh tempo sebanyak Rp9,87 triliun dan Liabilitas Manfaat Polis Masa Depan (LMPMD) Oktober hingga Desember 2019 sebesar Rp2,53 triliun. Ini pun dengan asumsi tidak ada nasabah korporasi yang mengalihkan portofolio.
Seluruhnya tersebar di enam bank mitra dengan rincian: Rp3,89 triliun di Bank Rakyat Indonesia, Rp 3,2 triliun dari polis yang dihimpun Standard Chartered Bank, Rp2,7 triliun di Bank Tabungan Negara, Rp2,05 triliun di KEB Hana Bank, Rp1,66 triliun di Bank QNB Indonesia, dan Rp1,47 triliun di Bank ANZ serta sisanya Rp1,37 triliun di Bank Victoria.
Angka tersebut berasal dari dana yang dihimpun 5,5 juta peserta. Termasuk di dalamnya 100 institusi BUMN dengan 3,3 juta peserta, 308 anak BUMN dengan 208 ribu peserta polis, lembaga pemerintahan sebanyak 253 ribu peserta, 745 BUMD yang memiliki 571 peserta, 2.201 institusi swasta dengan 791 ribu peserta dan 353 ribu perseorangan.
“Kami percaya menaruh uang besar di sana karena ini BUMN. Kami merasa terjamin. Masa sih, negara mau ambil uang kita? Tapi ternyata sekarang begini,” keluh Hendra.
Untuk itu, dari Pokja IV sendiri menyarankan agar pemerintah juga memberi injeksi modal dalam upaya penyehatan Jiwasraya. “Ya mungkin sebagian saja kalau tidak bisa semua. Ini masalah serius dan harus segera, kalau tidak bahaya bagi iklim investasi kita,” tutup Purbaya.
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Mawa Kresna