tirto.id - Seorang prajurit harus mengenakan baju pelindung untuk menjaga dirinya. Pelindung agar—paling tidak—ia masih bisa bertempur untuk pertempuran-pertempuran berikutnya. Pelindung bagian-bagian vital tubuh yang kemudian dikenal dengan istilah baju zirah.
Linothorax adalah jenis baju zirah pertama yang tercatat dalam sejarah. Digunakan tentara Alexander “The Great” untuk memperluas kekuasaan dari Macedonia mencapai—hampir—memasuki teritori India saat ini. Terbuat dari kulit binatang yang tebal, linothorax hanya berfungsi untuk tebasan atau tusukan ringan. Sama sekali tidak berguna untuk tebasan atau tusukan langsung dan kuat.
Kekurangan itu setidaknya membuat gerak pasukan jadi relatif masih cepat dan lincah. Untuk melindungi tubuh yang masih rentan, maka penggunaan tameng menjadi salah satu strategi bagi satuan perang pada era itu.
Tahap berikutnya adalah zirah logam dengan mengaitkan ribuan cincin menjadi sebuah baju. Pada era Perang Salib, penggunaan baju zirah ini adalah pelengkap dari baju zirah besi yang kuat untuk melindungi daerah-daerah pergelangan tubuh, seperti ketiak, daerah leher, sampai engkel tangan.
Penggunaan baju zirah memang membuat tubuh seorang prajurit menjadi aman, namun ini membuat mereka jadi lambat bergerak. Untuk mengatasi hal itu, digunakanlah kuda. Masalahnya, prajurit yang menggunakan kuda pada era itu merupakan kaum bangsawan, tuan tanah, atau para ksatria. Kasta mereka yang tinggi malah membuat mereka justru seringkali “dilindungi” oleh infanteri (prajurit pejalan kaki) daripada sebaliknya.
Paradigma inilah yang kemudian dibalik dan dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh Jenderal Heinz Wilhelm Guderian saat merumuskan ide awal terbentuknya Blitzkrieg. Jenderal Guderian sebenarnya tidaklah sepopuler Jendral Erwin Eugen Rommel yang pandai bergaul dan merupakan lulusan akademi militer. Dalam catatan sejarah, keberhasilan Jenderal Rommel di front Afrika membuat namanya begitu masyhur.
Di sisi lain, dalam rekam jejak pendidikan militer, Guderian sejatinya bukanlah lulusan akademi militer. Kariernya moncer karena pengalamannya dalam Perang Dunia Pertama sampai menjadi Jenderal di Perang Dunia Kedua. Meski begitu harus dicatat, tanpa jasa Guderian, Adolf Hiter tidak akan mampu menguasai Eropa Daratan pada awal-awal pecah Perang Dunia Kedua (1939-1944).
Pengalamannya di Perang Dunia Pertama yang membuat Guderian mempunyai ide Blitzkrierg. Dalam perang yang dikenal sebagai “Perang Parit” ini, Guderian menyesalkan strategi perang statis. Pasukan dari kedua belah pihak seringkali terpaku berbulan-bulan lamanya dalam parit-parit perlingungan sampai akhirnya semangat tempur kedua pasukan menurun secara perlahan.
Untuk itulah Guderian mati-matian mengupayakan idenya kepada militer Nazi Jerman agar membuat mesin perang yang dinamis dan punya kekuatan yang sama bagusnya. Ide awal Guderian sebenarnya sederhana, ia menginginkan militer punya divisi sendiri yang berisikan kendaraan lapis baja. Tentu saja, saat pertama kali mengusulkan ide ini—pangkatnya masih Mayor Jenderal saat itu—kepada Kolonel von Fritsch, banyak petinggi militer Nazi Jerman yang bertanya-tanya dan menganggap ide ini adalah ide gila.
Reaksi yang bisa dimaklumi. Pada era itu, kendaraan berat lapis baja masih dipahami sebagai pendukung infanteri. Artinya, sebuah tank dianggap layaknya meriam abad ke-17 yang statis dan hanya digunakan sebagai pendukung pergerakan pasukan. Oleh karenanya, tank harus dilindungi oleh infanteri karena begitu penting dan lajunya ada di belakang sebagai penjaga garis depan. Sama seperti paradigma peperangan di zaman pertengahan.
Bagi Guderian, pandangan ini harus diubah dan—bahkan—harus dibalik. Justru kendaraan lapis baja harus jadi ujung tombak upaya penyerbuan. PK Ojong, dalam Perang Eropa Jilid I, melihat bahwa gagalnya Perancis menghambat pergerakan pasukan Nazi Jerman pada Mei 1940 sebenarnya merupakan pertarungan jenderal-jenderal tua nan konservatif Perancis melawan jenderal-jenderal muda nan revolusioner NAZI Jerman.
Dua negara Sekutu terkuat saat itu, Inggris dan Perancis (Amerika Serikat belum terlibat) saat itu, bukannya tidak pernah memikikan hal yang sama. Liddell Hart (Inggris) maupun Charles de Gaulle (Perancis) melihat bahwa peperangan di masa depan akan ditentukan bukan dari jumlah pasukan, namun ditentukan dari seberapa cepat tank dan senjata berat mampu diproduksi untuk digunakan sebagai pembobol garis depan pertahanan lawan. Bahkan ironisnya, Guderian memperoleh ide divisi panser yang mandiri ini karena mempelajari buku militer Liddell Hart.
Selain itu, kendati Perancis lebih punya banyak tank dan kendaraan lapis baja lainnya daripada Nazi Jerman, penggunaannya yang tersebar di seluruh wilayah perbatasan membuat kekuatan pertahanan Perancis begitu lemah. Penyebaran ini merupakan buah dari pemikiran bahwa tank adalah pendukung infanteri di seluruh pos-pos pertahanan.
Sebaliknya, Guderian memusatkan divisi kendaraan lapis bajanya menjadi satu kekuatan tunggal yang begitu kuat. Titik serangan yang begitu kecil membuat serbuan Nazi Jerman seperti lemparan tombak yang begitu kuat, tajam, dan di sisi lain sangat cepat. Inilah Dobrakan pertama yang diikuti dengan serbuan infanteri di belakangnya.
Pada 10 Mei 1940, pertahanan Perancis porak-poranda hanya karena satu kebocoran kecil di Pegunungan Ardennen. Inilah wilayah yang awalnya diprediksi para jenderal Perancis tidak akan dilewati pasukan Jerman. Namun serbuan kendaraan lapis baja melahirkan kebocoran di pertahanan Perancis.
Hal inilah yang kemudian membuat Perancis takluk hanya dalam hitungan lima minggu. Ide serangan cepat dan kuat ini kemudian dikombinasi dengan kekuatan udara, laut dan udara yang harus berada dalam satu komando guna menjadi satu unit militer tangguh. Ketiganya harus dimanfaatkan sebesarnya-besarnya sesuai dengan keunggulannya masing-masing untuk fokus menyerang pada satu titik target.
Dari sanalah Blitzkrieg kemudian jadi legenda. Menakutkan bagi negara-negara sekutu—bahkan namanya terus dikenal sampai sekarang. Tidak sampai empat sampai lima tahun kemudian, Sekutu menggunakan cara-cara yang relatif sama untuk balik menyerang Nazi Jerman, dan memenangkan Perang Dunia Kedua di tanah Eropa.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Ahmad Khadafi