Menuju konten utama

Bisnis Vila WNA di Bali: Celah Hukum dan Dampak bagi Warga Lokal

Bisnis vila WNA di Bali marak lewat modus kawin kontrak dan pinjam nama, memicu persaingan tak sehat serta kebocoran pajak daerah.

Bisnis Vila WNA di Bali: Celah Hukum dan Dampak bagi Warga Lokal
Sejumlah turis asing bersantai di kafe sambil menikmati panorama Pantai Suluban, Uluwatu, Bali pada Jumat (17/09/21). Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi sekaligus koordinator PPKM Jawa-Bali, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan Bali bisa dibuka kembali bagi turis asing pada Oktober apabila situasi pandemi di Indonesia tetap terkendali seperti saat ini. Luhut juga mengutarakan dalam konferensi pers virtual pada Jumat (17/09/21) akan memprioritaskan turis dari negara-negara dengan penularan Covid-19 yang terkendali seperti Selandia Baru, Singapura, Korea Selatan, dan Jepang. tirto.id/Hafitz Maulana

tirto.id - Sebagai destinasi pariwisata kelas internasional, keberadaan akomodasi menjadi hal esensial di Bali. Bukan hanya sebagai tempat menginap para turis, tetapi juga tempat penduduk lokal menggantungkan hidupnya lewat pekerjaan.

Magnet pendorong yang tampak jelas adalah jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Bali. Jumlahnya mencapai 637.868 kunjungan pada bulan Juni 2025. Wisman tersebut juga mendorong tingkat hunian kamar hotel berbintang. Periode Juni 2025 angkanya menyentuh 64,66 persen.

Tingginya animo wisatawan untuk masuk ke Bali berdampak pada penerimaan pajak pariwisata Bali. Menurut Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Provinsi Bali, hingga paruh pertama 2025, penerimaan pajak pariwisata telah menembus Rp1,24 triliun atau melonjak sekiranya 21,65 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Geliat tersebut juga menyiratkan pariwisata Bali telah pulih dari pukulan telak pandemi Covid-19. Namun nyatanya masih ada kebocoran penerimaan wisata besar akibat praktik sewa akomodasi ilegal.

Pasar properti di bidang jasa akomodasi, terutama vila, rupanya tidak hanya menarik investor dalam negeri, tetapi juga warga negara asing (WNA). Sirkulasi bisnis di sektor pariwisata yang menjanjikan memiliki daya tarik tersendiri bagi orang asing yang memiliki modal.

Lokasi-lokasi seperti Canggu, Uluwatu, dan Ubud yang padat dengan komunitas asing menjadi favorit WNA untuk menanamkan uang. Para bule tersebut tidak sekadar menyuntik dana ke akomodasi lokal, tetapi juga membuka usaha penyewaan vila dengan target sesama turis asing.

Mereka kebanyakan menggunakan sistem nominee atau perjanjian pinjam nama. Skemanya, mereka meminjam nama WNI untuk memiliki properti atau aset. Kondisi ini lantas membuat persaingan akomodasi makin ketat, terutama di wilayah-wilayah destinasi favorit.

Isu ini kembali naik ke permukaan beberapa waktu terakhir lantaran mantan anggota Israel Defence Force (IDF), disebut memiliki bisnis dan membangun vila di Bali. Dua investor tersebut diduga masuk ke Indonesia dengan menggunakan paspor Jerman, salah satunya adalah Shachar Gornen, yang merupakan pegiat perjalanan dan pembuat konten wisata.

Nama Gornen sendiri terkait dengan akun Instagram @gonenvillasbali, yang sebelumnya aktif membagikan promosi vila tropis eksklusif di Bali, tepatnya di kawasan Pererenan, Kecamatan Mengwi. Namun, setelah isu mengenai kepemilikan vila oleh eks-tentara Israel mencuat, akun tersebut berubah menjadi privat.

Sebelumnya, pada 13 September 2024, pasangan suami istri asal Jerman berinisial MAK dan BK sempat dideportasi Kantor Imigrasi Kelas II TPI Singaraja setelah tertangkap melakukan bisnis vila ilegal di Bali selama 10 tahun. Mereka menjalin kerja sama dengan pemilik vila yang merupakan WNI dan mengelola vila tersebut secara daring.

Menurut penuturan Kepala Kantor Imigrasi Singaraja saat itu, Hendra Setiawan, keduanya datang ke Indonesia dengan menggunakan visa izin tinggal kunjungan untuk berwisata. Namun izin tersebut disalahgunakan untuk melakukan pemasaran vila. Para penyewa vila akan langsung mentransfer uangnya kepada WNA tersebut, sehingga tidak diketahui berapa omzet yang mereka miliki.

Mengapa WNA Dapat Membangun Vila di Bali?

Praktik WNA yang memiliki bisnis vila di Bali—terutama yang ilegal—menimbulkan tanda tanya besar; mengapa WNA dapat membangun vila di Bali?

Permasalahan kepemilikan WNA atas sejumlah vila di Bali, sebenarnya sudah menjadi sorotan dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali, terutama setelah Wayan Koster terpilih menjadi Gubernur Bali untuk masa jabatan kedua.

Wakil Gubernur (Wagub) Bali, I Nyoman Giri Prasta, berulang kali menyoroti fenomena kawin kontrak antara WNA dengan warga lokal. Fenomena ini dinilai sebagai katalis dari permasalahan penanaman modal asing (PMA) ilegal dan keberadaan vila-vila kepemilikan WNA.

Isu tersebut sempat mencuat kembali usai pelaku industri akomodasi pariwisata lokal berbondong-bondong mengeluh tentang sepinya akomodasi mereka.

Giri melihat vila-vila ilegal milik WNA dipasarkan di luar negeri. Transaksi penyewaan juga diduga dilakukan di luar negeri atau negara asal pemilik de facto vila tersebut. Aktivitas keuangan yang tidak terendus ini menyebabkan Provinsi Bali mengalami kerugian berupa kebocoran pemasukan pajak.

“Persoalan di Bali sekarang ini ada penanaman modal asing dan sistem kawin kontrak. Ada pembangunan vila yang ketika ada orangnya (WNA) di sana, dikatakan bahwa itu pelanggan dari pemilik. Dia menggunakan WeChat, dia bisa melakukan transaksi di negaranya,” ungkap Giri di Kantor DPD PDI Perjuangan, Denpasar, Senin (21/04/2025) lalu.

Nyoman Giri Prasta

Wakil Gubernur Bali, I Nyoman Giri Prasta, ketika diwawancarai oleh wartawan, Kantor Gubernur Bali, Selasa (15/07/2025). Tirto.id/Sandra Gisela

Vila ilegal di Bali mulai menjamur

Penasihat Bali Villa Association (BVA), Gede Ricky Sukarta, mengamini salah satu cara WNA dapat berbisnis vila di Bali adalah dengan nominee atau lewat kawin kontrak dengan orang lokal.

Selain cara itu, banyak juga WNA yang menyewa rumah-rumah elite untuk ditingkatkan kualitasnya (upgrade) dan disewakan kembali ke rekan-rekan sesama orang asing. Hal tersebut menyebabkan tidak adanya atau berkurangnya uang yang masuk ke perputaran ekonomi lokal.

“Sebagai pengelola vila yang resmi, kami ingin ada tamu yang benar-benar datang sebagai turis, untuk menikmati keindahan dan pesona alam Bali, sehingga mereka menyewa, membelanjakan uangnya, dan kami orang lokal juga mendapatkan pendapatan. Pemerintah juga mendapatkan pajak,” kata Sukarta saat dihubungi Tirto pada Senin (11/08/2025).

Sukarta menjelaskan, akomodasi pariwisata yang ada di Bali, termasuk vila, harus memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) dan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KLBI), serta bersedia untuk memenuhi kewajiban pajak. Apabila hal-hal tersebut dipenuhi, legalitas dan perpajakan dari vila tersebut tidak lagi menjadi permasalahan.

Hal lainnya yang Sukarta amati adalah praktik WNA yang menjadi makelar vila, sehingga mempermainkan harga sewa vila yang ada di Bali. Vila-vila tersebut dapat ditawarkan dengan harga sewa yang lebih murah karena tidak ada beban untuk membayar pajak, serta kewajiban izin seperti Sertifikat Laik Fungsi (SLF) dan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG).

Padahal, vila yang ada di Bali juga dihadapkan dengan tanggung jawab terhadap pemeliharaan adat dan budaya. Dengan kata lain, ekosistem pariwisata yang dibangun harus sehat, berkelanjutan, serta memberikan manfaat bagi pelaku usaha dan masyarakat lokal di sekitarnya. Maka, tidak jarang vila legal memiliki harga yang cenderung mahal.

“Kami di Bali memang harus mengelola mahal dengan catatan akan masuk ke pajak hotel dan restoran, serta pengelolaan dan kesejahteraan karyawan. Bagaimana kita mengelola sampah juga termasuk. Mahalnya harga tersebut juga akan dikembalikan untuk pelanggan dari aspek lingkungan dan aspek kamar yang berkualitas,” terang Sukarta.

Pemeriksaan Keimigrasian Wisatawan Asing di Bali

Wisatawan asing sedang menjalani proses pemeriksaan keimigrasian di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali, Selasa (05/08/2025). Tirto.id/Sandra Gisela

Sistem Online Single Submission (OSS) yang memudahkan pendaftaran bisnis juga merupakan salah satu hal yang membuat maraknya praktik WNA membuka vila di Bali. Menurut Sukarta, OSS tersebut bukanlah kebijakan yang salah, tetapi perlu dilakukan tinjauan kembali atau bahkan moratorium (penundaan sementara izin usaha melalui OSS) di wilayah tertentu, sebab rawan dieksploitas.

“Walaupun memang di sisi lain pemerintah mengundang investor, undang investor yang kelas kakap. Sebaiknya minta dia berinvestasi di Karangasem, Buleleng, dan Jembrana yang sesuai dengan peruntukannya. Untuk Badung, karena sudah berkembang banyak akomodasi, itu saja dipertahankan,” imbuhnya.

Selain itu, Sukarta menilai rendahnya batas modal investasi yang ditetapkan pemerintah, sebab hanya dengan modal Rp2 miliar, orang asing sudah dapat mendirikan usaha di Bali. Peningkatan batas modal investasi tersebut dapat mengakibatkan efek pengganda (multiplier effect) yang lebih tinggi, serta melindungi usaha yang dimiliki secara lokal.

“Kalau misalnya yang orang asing ini ingin berinvestasi, harus lebih dari Rp50 miliar ke atas. Jangan yang Rp2 miliar dikasih. Itu ranahnya untuk orang kecil, penduduk lokal yang ingin membuat homestay kecil-kecilan, UMKM itu. Jangan diganggu,” tegas Sukarta.

Permasalahan Penerapan Hukum dalam Investasi

Pakar Hukum dari Universitas Udayana (Unud), Made Gde Subha Karma Resen, mengatakan konteks kepemilikan terhadap tanah telah diatur secara jelas dalam hukum agraria yang menganut asas nasionalitas.

Asas nasionalitas tersebut mengatakan bahwa hanya WNI yang dapat memiliki hubungan sepenuhnya dengan tanah, air, dan ruang angkasa di Indonesia, berhak memperoleh hak atas tanah dan manfaatnya. Dengan kata lain, hanya WNI yang dapat memiliki hak milik atas tanah, sedangkan WNA hanya diberikan hak pakai dan hak sewa atas tanah.

Sementara itu, pendirian PMA memiliki regulasi yang berbeda. Karma mengatakan bahwa PMA dapat mengajukan Hak Guna Bangunan (HGB) selama 30 tahun dengan opsi perpanjangan. Namun, dalam pendirian PMA tersebut, tentu terdapat syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu, misalnya setoran modal.

Permasalahan yang terlihat bukan lagi hukum itu sendiri, tetapi penerapannya. Karma melihat, dalam hal investasi oleh WNA, kerap terjadi pelanggaran atau penyeludupan hukum yang terus menerus terjadi, sehingga menjadi suatu kebiasaan.

“Contohnya, dalam hal penyertaan modal PMA yang seharusnya Rp10 miliar, ternyata bisa dipenuhi hanya dengan sepersepuluhnya saja. Begitu pula dalam hal IMB yang disamarkan. IMB rumah, tetapi kenyataannya dibuat vila,” terangnya ketika dihubungi Tirto, Selasa (12/08/2025).

Akibatnya, terdapat dua poin isu utama yang digarisbawahi Karma. Pertama, dengan banyaknya vila ilegal, maka secara otomatis penerimaan daerah akan tidak maksimal karena tidak adanya aliran pajak hotel dan restoran ke daerah.

“Kedua, adalah terkait dengan overtourism dan komersialisasi ruang yang mengakibatkan kehilangan sawah, degradasi lanskap, tekanan lingkungan seperti limbah dan sanitasi, serta kenaikan harga lahan hingga mengancam penduduk lokal,” kata Karma.

Permasalahan Penerapan Hukum dalam Investasi

Pemprov Bali godok perda nominee

Salah satu kebijakan yang sedang digodok oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali adalah perihal Peraturan Daerah (Perda) terkait nominee. Peraturan tersebut dinilai dapat menindak tegas vila ilegal dan praktik bisnis yang tidak sehat di Bali.

Wakil Gubernur Giri Prasta, juga mengatakan bahwa regulasi tersebut akan memastikan wisatawan tertib dan menghormati adat Bali.

“Solusi yang terbaik adalah Perda Nominee sehingga aparat penegak hukum memiliki landasan untuk melakukan penyidikan. Ini sudah dirancang oleh eksekutif Provinsi Bali tentang Perda Nominee, bahkan kita juga minta kajian ke akademisi,” terangnya.

Menurut Giri, praktik kawin kontrak memang sudah terjadi sejak dahulu. Untuk dapat berinvestasi di Bali, maka seorang WNA dapat memiliki istri orang Indonesia secara administrasi.

Sebagai gantinya, WNA tersebut akan membayar sejumlah uang, sehingga WNI yang terjaring dalam praktik kawin kontrak tersebut tidak akan berkomentar apa pun tentang kontrak tersebut.

“Ketika sudah menjadi suami, WNA tersebut akan enak memperjualbelikan miliknya [investasi yang ada di Bali]. Itulah persoalan kawin kontrak yang harus kita tangani bersama,” ungkapnya.

Di sisi lain, Karma dari Unud mengatakan sebenarnya dalam konteks hukum tidak ada yang namanya nominee, tetapi perjanjian tersebut seolah-olah diberi stigma sebagai nominee karena suatu perjanjian dilapisi dengan banyak perjanjian.

Secara hukum, nominee alias pinjam nama telah dilarang dan batal demi hukum. Namun, Karma juga melihat tujuan dari direncanakannya Perda Nominee oleh Pemprov Bali. Ketentuan tersebut dapat melidungi pemilik lahan atau pemilik aset yang disewakan.

“Perda Nominee sebetulnya menegakkan beneficiary owner, yaitu orang yang seharusnya mendapatkan manfaat dari adanya suatu hubungan hukum, misalnya sewa-menyewa. Dalam suatu perjanjian yang sifatnya nominee, maka yang mendapatkan keuntungan adalah WNA, padahal seharusnya benefit dari perjanjian itu didapatkan oleh pemilik lahan atau aset yang disewakan,” jelasnya.

Baca juga artikel terkait BALI atau tulisan lainnya dari Sandra Gisela

tirto.id - News Plus
Kontributor: Sandra Gisela
Penulis: Sandra Gisela
Editor: Alfons Yoshio Hartanto