Menuju konten utama

Bisakah Aturan Pemecatan Baru Tingkatkan Kinerja PNS?

PP baru membuat PNS bisa dipecat jika tidak memperbaiki kinerja buruk, yang sebelumnya hanya jika melakukan tindak kriminal.

Bisakah Aturan Pemecatan Baru Tingkatkan Kinerja PNS?
Sejumlah guru honorer yang tergabung dalam Forum Komunikasi Honorer K2 (FKH-K2) berunjuk rasa di Kudus, Jawa Tengah, Selasa (18/9/2018). ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho.

tirto.id - Nasib 13 Aparatur Sipil Negara (ASN) Kota Ambon yang melakukan tindak pidana berat, salah satunya korupsi, akhirnya ditentukan pada Kamis (2/5/2019) kemarin. Mereka dikenai sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat atau PTDH.

Senin (20/5/2019) Wali Kota Ambon Richard Louhenapessy memberikan keterangan dengan menekankan satu poin penting. Ia menegaskan kini ASN yang tidak produktif dan tidak memenuhi target penilaian kinerja juga akan dikenai sanksi administrasi sampai dengan pemberhentian.

Richard mengacu pada aturan baru yang diterbitkan Presiden Joko Widodo berupa Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja ASN.

Ia mengapresiasinya karena PP tidak hanya mengatur penghargaan seperti promosi jabatan, tapi juga sanksi jika ASN tidak memperbaiki kinerja buruknya. Pihaknya sedang mempelajari, mengkaji, dan mengevaluasi PP tersebut. Setelahnya PP akan menjadi dasar bagi proses promosi atau mutasi.

“Saya berharap setiap ASN di Ambon wajib mengikuti penilaian kinerja dengan melaksanakan setiap kewajibannya,” katanya sebagaimana dikutip Antara.

Mengutip laman Sekretaris Kabinet RI, PP bertujuan untuk menjamin objektivitas pembinaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang didasarkan pada sistem prestasi dan sistem karier.

Penilaian dilakukan berdasarkan perencanaan kinerja pada tingkat individu dan tingkat unit atau organisasi, dengan memperhatikan target, capaian, hasil, dan manfaat yang dicapai, serta perilaku PNS.

Prinsip penilaian kinerjanya ada lima: objektif, terukur, akuntabel, partisipasif, dan transparan. Salah satu tolak ukur yang dijadikan penilaian kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah perilaku kerja. Total nilai itu akan dicatat dalam dokumen penilaian kinerja.

Penilaian kinerja PNS dinyatakan dengan angka dan sebutan atau predikat yakni Sangat Baik (110-120), Baik (90-120), Cukup (70-90), Kurang (50-70), dan Sangat Kurang (di bawah 50). Penilaian dilakukan pada setiap akhir bulan Desember pada tahun berjalan dan paling lama akhir bulan Januari tahun berikutnya.

Contoh, jika selama dua tahun berturut-turut seorang PNS mendapat predikat sangat baik, maka ia akan mendapat penghargaan berupa prioritas diikutsertakan dalam program kelompok rencana suksesi pada instansi berikutnya. Penghargaan lain bisa berupa tunjangan kinerja.

Sementara itu, bagi PNS yang tidak dapat memenuhi target penilaian kinerja, sanksi yang menanti bermacam-macam. Ada yang bentuknya administratif, sedangkan yang sudah kategori berat bisa diberhentikan.

Problem Kultur Kerja

Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah mengapresiasi langkah pemerintah. Ia mengatakan selama ini pemberhentian PNS biasanya jika yang bersangkutan melakukan tindak kriminal alias melanggar hukum pidana. Ia mencontohkan korupsi, yang ancaman lebih dari lima tahun penjara.

Trubus mengharapkan terbitnya PP Nomor 30 Tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja ASN bisa menjadi inovasi untuk mengatasi kinerja para abdi negara terutama yang di daerah-daerah. Baginya good governance perlu disolidkan jika Indonesia ingin memenangkan persaingan dengan negara lain.

“Persoalannya, apakah akan efektif? Nah, perlu ada lembaga yang mengawasi itu semua. Lembaga yang selama ini ada belum memberikan dukungan sehingga para ASN ini tidak melakukan perbaikan kinerja. Korupsi, maladministrasi, pungli, masih terjadi,” katanya melalui sambungan telepon, Selasa (21/5/2019).

Trubus kemudian menyoroti akar permasalahannya adalah yakni kultur buruk para ASN selama bekerja. Contohnya rekrutmen yang politis di daerah, di mana seorang diangkat menjadi honorer hingga lama-lama diangkat sebagai PNS bukan karena kompetensi, melainkan kedekatan dengan kepala daerah.

“Ini soal kedisiplinan, soal etos kerja. Cuti lebaran, misalnya, banyak yang memanfaatkannya secara lebih panjang. Ini budaya karena menganggap ASN enggak bakal dipecat. Kalau dapat teguran paling administratif. Apalagi jika saling kongkalikong.”

Kultur buruk ASN sebenarnya persoalan klasik, imbuh Trubus, dan secara formal sudah diatur dalam PP Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Ia dan akademisi Kebijakan Publik menilainya sebagai fenomena di mana aturannya sudah bagus, tapi implementasinya masih jeblok.

“Saya berharap PP baru ini tidak mengalami nasib yang sama. PP akan efektif jika semua perangkat ASN mendukungnya” kata Trubus.

Ironisnya, lanjut Trubus, kenaikan gaji PNS sudah dilakukan berkali-kali, termasuk berbagai tambahannya dalam bentuk gaji ke-13 hingga tunjangan hari raya (THR). Jika situasinya tidak mengalami perbaikan, maka yang terjadi adalah pemborosan uang negara.

Law enforcement masih rendah. Ini juga sumber problem, terutama di daerah. Jika penegakan hukum baik, maka perilaku (PNS) akan berubah. Pemecatan berdasarkan kinerja itu perlu. Misal, studi banding tanpa hasil yang jelas atau bisa dinikmati publik. Itu contoh kecil yang menggurita.”

Kinerja di Mata Ombudsman & Bank Dunia

Ombudsman Republik Indonesia pernah mengadakan penelitian untuk melihat kepatuhan instansi pemerintahan dalam memberikan pelayanan publik. Tim Periksa Data Tirto melaporkan hasil penilaian diklasifikasikan dengan menggunakan traffic light system yang terdiri dari zona merah, zona kuning, dan zona hijau.

Pada 2015 terdapat 22 Kementerian yang menjadi sampel dalam penilaian Ombudsman. Periode penelitian ini terbagi dua, Maret hingga Mei (periode pertama) dan Agustus hingga Oktober (periode kedua).

Infogafik kinerja PNS kita

Infogafik kinerja PNS kita. tirto.id/Fuad

Pada 2015, Kementerian Kesehatan mendapatkan skor terbaik dengan angka 105,50 dan masuk dalam zona hijau. Dengan kata lain, tingkat kepatuhan Kementerian Kesehatan dalam menampilkan prosedur layanan publik pada 2015 dinilai tinggi.

Salah satu kementerian yang masuk dalam zona merah adalah Pendidikan dan Kebudayaan dengan nilai 49,50. Nilai ini menjadi indikasi bahwa kepatuhan Kemendikbud dalam memberikan informasi layanan publik kepada masyarakat pada periode tersebut sangat rendah.

Pada periode penelitian 2016 jumlah lembaga yang menjadi sampel meningkat menjadi 40 instansi (25 Kementerian dan 15 Lembaga). Di periode ini Kementerian Kesehatan mampu mempertahankan posisinya untuk tetap berada di zona hijau. Namun, nilainya berkurang menjadi 104,5.

Kemendikbud berhasil menanjak jauh dengan memasuki zona hijau pada 2016. Nilainya meningkat tajam menjadi 93,1. Ini menunjukkan Kemendikbud sudah semakin baik dan mematuhi peraturan untuk lebih transparan dalam menginformasikan prosedur layanan.

Bank Dunia adalah salah satu lembaga internasional yang bertugas memberikan penilaian terhadap tata kelola negara. Laporannya diberi judul The Worldwide Governance Indicators Reports.

The Worldwide Governance Indicators Reports mendasarkan analisisnya terhadap enam dimensi, yaitu pendapatan dan akuntabilitas, stabilitas politik dan ketiadaan kekerasan, efektivitas pemerintah, kualitas regulasi, aturan hukum dan pengendalian korupsi.

Berdasarkan data tersebut, nilai rata-rata indikator efektivitas pemerintahan (Government Effectiveness) Indonesia masuk dalam kategori rendah. Pada 2010, misalnya, skor Indonesia sebesar -0,20. Lima tahun kemudian skornya menurun menjadi -0,22.

Kinerja PNS Indonesia juga belum bersaing di tingkat ASEAN sebab skornya masih lebih rendah ketimbang skor-skor negara-negara tetangga. Pada 2015, misalnya, skor Indonesia kalah jauh dengan Singapura (2,3), Malaysia (1,0), dan Thailand (0,36).

Problem yang mengemuka ada pada penyerapan tenaga kerja dan alokasi belanja negara yang besar namun tidak memberikan dampak signifikan.

Penyebabnya adalah dua langkah tersebut tidak dibarengi dengan perencanaan strategis PNS secara nasional, validitas kebutuhan PNS per instansi berdasarkan beban kerja, dan penerapan standar kompetensi PNS.

Satu poin tambahan yang masih menjadi kendala adalah PNS belum memberikan kinerja yang optimal. Kembali mengutip pendapat Trubus, masih banyak PNS yang belum memahami bahwa pekerjaannya mesti didasari pada mental melayani, bukan sebaliknya.

Baca juga artikel terkait PNS atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Hukum
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf