Menuju konten utama

Betapa Bermasalah Program Mengirim ASN Bekerja di Bali

Pemerintah bilang PNS bekerja dari Bali untuk menyelamatkan ekonomi tempat itu. Tapi itu tak signifikan. Dari segi epidemiologi pun berbahaya.

Betapa Bermasalah Program Mengirim ASN Bekerja di Bali
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahudin Uno mengikuti rapat kerja dengan Komisi X DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (25/3/2021). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/foc.

tirto.id - Pemerintah berencana menerapkan kebijakan bekerja dari Bali (work from Bali/WFB) untuk para aparatur sipil negara. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno mengatakan kebijakan tersebut diambil berdasarkan hasil kesepakatan antara Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi dengan Indonesia Tourism Development Corporation atau PT Pengembangan Pariwisata Indonesia.

"Tujuannya adalah memastikan kita bisa berpihak kepada saudara-saudara kita yang sekarang sedang mengalami tekanan yang begitu luar biasa. 2 juta lebih lapangan pekerjaan di Bali terancam," Kata Sandiaga, Senin (24/5/2021).

Perekonomian Bali masih tercatat minus pada kuartal II 2021, tepatnya di angka minus 9 persen. Pariwisata, sektor andalan provinsi tersebut, pun seragam. Tingkat hunian kamat hotel berbintang misalnya, berada pada angka 8,99 persen, sementara hotel non-berbintang hanya 7,7 persen.

Persoalannya kebijakan ini sebenarnya hanya akan memberikan dampak kecil, kata peneliti dari Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira. Penurunan tajam wisatawan jelas tidak bisa digantikan lewat para PNS yang bekerja dan mungkin menggelar rapat-rapat di hotel Bali.

"Kalau mau Bali pulih kuncinya pada pengendalian COVID-19 dan pemulihan mobilitas. Bagaimana turis asing datang kalau rate vaksinasi untuk dua dosis masih di bawah 5% dari target nasional?" kata Bhima kepada reporter Tirto, Selasa (25/5/2021).

Ketimbang memobilisasi para PNS ke Bali yang tak efektif, menurutnya pemerintah sebaiknya mengalokasikan uang yang tersedia untuk menyubisidi sektor pariwisata. Saat ini dana hibah pariwisata sebesar Rp3,7 T atau 0,5 persen dari dana pemulihan ekonomi nasional (PEN), padahal menurutnya yang ideal mencapai 10 persen.

Selain itu menurutnya kebijakan ini juga tidak sejalan dengan gagasan pemangkasan perjalanan dinas--yang dialokasikan untuk penanganan pandemi. Pada kuartal I 2021, realisasi perjalanan dinas turun dari Rp4,9T menjadi Rp3,1T. Angka tersebut masih cukup besar dan Bhima menilai pemerintah gagal dalam memangkas anggaran.

"Pemerintah masih kesulitan untuk mengatur defisit APBN yang lebar sehingga perjalanan dinas selayaknya dipangkas. Dari struktur belanja perjalanan dinas juga terdapat alokasi untuk uang saku bagi ASN," katanya.

Usul ini dari sisi epidemiologi pun problematis, kata epidemolog Indonesia dari Griffith University Dicky Budiman. "Tidak realistis ketika datangkan orang ke sana. Situasi Indonesia secara keseluruhan dan Jawa-Bali meledak jadi episenter," kata Dicky kepada reporter Tirto, Selasa.

Dicky mengingatkan bahwa Bali tidak memenuhi standar WHO dalam kewajiban tes minimal 1 per 1.000 orang per minggu. Tes yang tak memenuhi standar membuat situasi pandemi tidak bisa dilihat secara utuh. Sangat mungkin ada kasus-kasus yang tak terdeteksi dan pada akhirnya menularkan virus. "Berbahaya sekali untuk melakukan skenario-skenario seperti ini di tengah belum validnya situasi Bali."

Belum lagi dengan mempertimbangkan adanya varian baru COVID-19 yang cepat menyebar seperti B117 dari Inggris dan B1617 Afrika Selatan.

Atas dasar itu semua Dicky menyarankan pemerintah fokus pada penanganan COVID-19 selama 1-3 bulan ke depan dan mitigasi ledakan kasus daripada mengedepankan pemulihan ekonomi. "Jangan berpikir pemulihan dulu karena kalau ledakan terjadi yang kita harapkan--pemulihan-pemulihan itu--enggak ada karena banyak korban," Dicky memperingati.

Epidemolog dari Universitas Udayana I Made Ady Wirawan juga menyarankan hal serupa. "Situasi pandemi di Bali belum terkendali dengan baik meskipun sektor pariwisata sudah menyiapkan diri dengan program CHSE," kata Wirawan kepada reporter Tirto, Selasa.

Wirawan mengatakan bahwa tes di Bali masih belum memenuhi standar WHO, angka taksiran masih 0,3-0,5 dengan positivity rate berada di angka 40-60 persen. Pelacakan dan isolasi pun demikian. Penelusuran kontak hanya pada 3-5 orang per kasus konfirmasi padahal target ideal adalah 1:20-30 orang.

Karena pembacaannya sama, maka solusi yang ia tawarkan pun serupa dengan Dicky: "Fokus harusnya pada penanganan pandemi dulu. Kalau pengendalian baik, kepercayaan internasional akan mengikuti secara otomatis."

Baca juga artikel terkait WORK FROM BALI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mohammad Bernie & Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Rio Apinino