tirto.id - Penanganan COVID-19 di Indonesia berkali-kali memicu kontroversi. Selain pernyataan para pejabat, beberapa kontroversi datang dari lembaga negara, termasuk Badan Intelijen Negara (BIN).
Deputi Komunikasi dan Informasi BIN Wawan Hari Purwanto mengatakan lembaga telik sandi akan ikut memastikan pariwisata di Bali menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Menurutnya, ini adalah bentuk hadirnya negara dalam mewujudkan pemulihan pariwisata dan perekonomian.
“Berdasarkan UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, BIN merupakan lini terdepan keamanan nasional. Dalam hal ini kami berkepentingan ikut menjaga dan mengamankan berbagai kebijakan nasional, termasuk pembukaan pariwisata yang aman dari penularan COVID-19, dengan menerapkan protokol kesehatan secara konsisten demi pemulihan perekonomian,” kata Wawan di Denpasar, Bali, Kamis (10/9/2020) pekan lalu, dikutip dari Antara.
Mengawasi Bali perlu dilakukan mengingat wilayah ini merupakan ikon pariwisata Indonesia yang sudah dikenal luas di dunia internasional. Jika gagal, kata Wawan, reputasi Bali dan Indonesia akan jelek.
“Dengan kembalinya denyut nadi pariwisata domestik yang aman berdasarkan protokol kesehatan, kami harap mampu menepis anggapan bahwa Bali bukanlah surga yang hilang,” tambahnya.
Melampaui Tupoksi
Keinginan BIN terlibat dalam pariwisata dikritik Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (LESPERSSI). Peneliti LESPERSSI Beni Sukadis menilai ini sudah keluar dari tugas dan fungsi badan intelijen.
Tupoksi lembaga telik sandi sudah jelas: pengumpul informasi, analisis informasi, dan kontra intelijen. Ini selaras dengan adagium terkenal dan berlaku universal tentang mata-mata: “berani tidak dikenal, mati tidak dicari, berhasil tidak dipuji, gagal tidak dicaci maki.”
“Selain fungsi intelijen yang universal itu, enggak ada yang di garda terdepan [mengacu ucapan Wawan]. Apalagi urusi pandemi COVID-19,” kata Beni saat dihubungi wartawan Tirto, Senin (14/9/2020) sore.
Badan intelijen seharusnya hanya bekerja di dalam senyap, tanpa diketahui banyak orang, dan menuai keberhasilan tanpa publikasi—seperti adagium di atas. “Saya pikir ini sudah kebablasan dari tupoksinya,” katanya.
Jika membantu wisata masih rencana, BIN telah benar-benar melampaui tupoksinya ketika menggelar rapid test di Surabaya, melakukan penyemprotan disinfektan di tempat publik, hingga membuat obat Corona bersama TNI dan Universitas Airlangga (Unair).
Beni menduga ada maksud politis dari Kepala BIN Budi Gunawan sehingga lembaganya banyak beraktivitas dan tampil di ruang publik. “Saya tidak tahu kepentingannya apa, namun kalau melihat sepak terjang saat pandemi, kelihatannya pimpinan BIN ingin mendapat pujian bahwa mereka bekerja demi bangsa. Padahal lebih pada kepentingan jangka pendek tadi: politis.”
Oleh karena itu ia mendesak agar pemerintah lebih melibatkan pihak-pihak yang lebih kompeten dalam mengurusi pertumbuhan pariwisata, seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, saintis, dan ahli kesehatan masyarakat.
Kritik serupa disampaikan Direktur Eksekutif Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi. Ia menilai kegiatan BIN di Bali bertendensi ke hal yang negatif bukan karena keikutsertaannya, melainkan karena ditampilkan atau dipublikasikan ke publik.
“Sifat kerja intelijen mestinya ya tertutup, tersamar, misterius, dan jika perlu, tak diakui keberadaannya. Apalagi memang tak memiliki alas hukum yang jelas. Maka mestinya dilakukan dengan sangat hati-hati, senyap, cepat dan dengan akurasi dan efektivitas yang sangat tinggi,” kata Fahmi saat dihubungi wartawan Tirto, Senin malam.
“Ini belum lagi jika kita kaitkan dengan isu pembentukan Deputi Kesehatan plus rumah sakit dalam naungan BIN. Tidakkah disadari bahwa ini sudah sangat berlebihan?”
Menurutnya, lembaga intelijen seharusnya diarahkan untuk memiliki kompetensi utama pembentukan sistem peringatan dini. Intelijen berperan penuh untuk mengumpulkan informasi, menelaah data, menilainya, serta memberikan alternatif-alternatif strategi penindakan kepada Presiden.
“Intelijen itu serba hadir. Dia nguping dan ngintip untuk kepentingan negara. Ibaratnya, dia harus bisa mengetahui apa pun aktivitas di negara ini, tapi secara tertutup. Cara kerjanya mestinya seperti hantu.”
Sama seperti Beni, Fahmi menduga keikutsertaan BIN yang sangat ditonjolkan dalam penanganan COVID-19 menunjukkan kebutuhan untuk diakui.
“Eksistensi dan pencitraan, ini adalah sesuatu yang tak lazim dan tak memiliki urgensi dalam dunia intelijen,” kata Fahmi. “Saya khawatir, organisasi intelijen negara ini hanya dijadikan instrumen eksistensi dan pencitraan di jajaran pimpinannya semata. Sungguh memprihatinkan.”
“Sebenarnya mereka sedang serius bekerja atau pamer kehadiran sih? Konyol enggak, sih? Yang ada orang jadi mikir, ini intel beneran? Kok ngaku?”
Wartawan Tirto telah mencoba meminta penjelasan lebih detail terkait keterlibatan BIN di ranah pariwisata dan tanggapan atas beragam kritik di atas kepada Wawan Hari Purwanto. Namun, hingga Senin malam, tak ada respons sama sekali. Pesan Whatsapp tak dibalas, telepon pun tak diangkat.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino